REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak dulu, umat Islam sudah memperdebatkan masalah hukum Islam. Mulai dari masalah ibadah, sampai pa da muamalat. Tapi, jika ti dak proporsional dalam me nyikapinya, akan dapat memicu rusaknya persatuan umat Islam di Indonesia.
Dengan adanya perbedaan dalam paham keagamaan, umat Islam makin hari jus tru kerap bersikap saling menyindir, meng hujat, bahkan mengafirkan antar sesama. Keadaan ini menjadi salah satu gejala yang melemahkan kekuatan umat Islam.
Masalah perbedaan pendapat dalam fikih terkadang juga menjurus pada perpecahan dengan saling menuduh sebagai ahli bid'ah lantaran cara shalatnya ber beda. Akibatnya, perbenturan masalah fi kih ikhtilaf tersebut tidak terhindarkan lagi.
Berselisihan pendapat tersebut pada umumnya berangkat dari kelemahan konsep dalam memahami syariat Islam secara lengkap. Serta hanya belajar agama lewat satu versi seorang ustaz atau kiai. Sehingga, pa da saat perbedaan dalam hukum fikih mun cul, internal umat Islam pun menjadi gaduh.
Sayangnya, terkadang perbedaan itu masih ditambahi dengan sikap-sikap yang kurang elegan serta terkesan mau menang sendiri. Karena itu, pengetahuan tentang fikih ikhtilaf penting untuk ditularkan di tengah kondisi bangsa saat ini sebagai solusi untuk menjaga persatuan umat.
Makna
Kata ikhtilaf berasal dari kata bahasa Arab yang artinya perselisihan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ikhtilaf diartikan sebagai perbedaaan pendapat atau perselisihan pikiran. Sementara, secara istilah, ikhtilaf adalah perbedaan yang terjadi di kalangan para ulama atau mujtahid dalam memahami sebuah teks Alquran dan hadis.
Ikhtilaf adalah salah satu tanda-tanda kebesaran Allah. Karena, sejatinya segala kemakmuran di dunia ini tidak akan ter wujud jika manusia diciptakan dalam ke adaan yang sama dalam segala hal, mulai dari proses penciptaan sampai pada metode berpikir hasil ciptaan Allah. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam surah Hud ayat 118-119.
Dalam kitab Al-Mu'jam Al-Islami, Asyraf Thah Abu Dahab menjelaskan, fikih ikhtilaf adalah adab dalam menyikapi perbedaan. Yang paling baik menyikapi hal ter sebut adalah umat Islam yang hidup pada masa sahabat, tabiin, dan orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Sebab, perbedaan itu tiada sama sekali memberikan mudharat bagi mereka.
Sementara itu, Ketua Komisi Dakwah Ma jelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis mengatakan, fikih ikhtilaf merupakan ilmu yang mempelajari perbedaan pendapat ulama dan cara menyikapinya. Watak fikih Islam selalu membuka ruang dialog dan kajian, sehingga umat Islam dapat terhindar dari perpecahan.
Bagaimana cara memahami perbedaan ulama, bagaimana cara menyikapi dan sekaligus yang mana yang wajib di amalkan? Itulah yang disebut fikih ikhtilaf, kata Kiai Cholil kepada Republika.
Pengasuh Pondok Pesantren Cendikia Amanah ini menjelaskan, fikih ikhtilaf adalah ilmu untuk memahami agama Islam, khu susnya di bidang furu'iyah atau tentang per bedaan ulama dalam memutuskan hukum. Dengan fikih ikhtilaf, menurut dia, umat akan dapat memahami perbedaan ibadah dan perbedaan dalam muamalah, ta pi tidak berbeda di dalam masalah akidah.
"Karena, itu kita bisa memahami mana batasan toleransi dan mana batasan yang diamputasi. Artinya, kita memahami bahwa perbedaan dalam memahami Islam adalah sebuah keniscayaan dan kita tahu batasan perbedaan dan mana batasan perpecahan," jelasnya.
Perbedaan dalam Islam tidak dapat ditoleransi ketika menimbulkan perpe cahan umat. Jadi, menurut Kiai Cholil, fikih ikhtilaf itu pada pokoknya adalah bagaimana memahami Islam dan memahami perbedaan ulama di dalam memahami Islam pada batas-batas toleransi.
Namun, dia juga mengakui bahwa umat Islam kini cenderung larut dalam memperdebatkan hukum Islam yang sebenarnya tidak perlu disikapi berlebihan. Seperti halnya hukum membaca qunut saat shalat subuh, jumlah rakaat shalat tarawih, hukum memakai celana di bawah mata kaki, atau pun memperdebatkan hukum transaksi keuangan di lembaga keuangan.
Karena itu, Kiai Cholil merasa penting untuk menyebarkan fikih ikhtilaf kepada masyarakat Muslim. Dia pun telah menyiapkan kursus kilat yang akan membahas masalah fikih Ikhtilaf. Program tersebut akan digelar di Pondok Pesantren Cendikia Amanah Depok pada Ramadhan mendatang, tepatnya pada 13-19 Mei 2019.
"Ini sangat penting untuk memahami fikih ikhtilaf, sehingga masyarakat Muslim tidak berdebat menghabiskan energi dalam hal-hal yang memang seduatu yang niscaya berbeda, sesuatu yang ditoleransi," kata Kiai Cholil.
Keniscayaan
Ikhtilaf atau perbedaan diharapkan tidak menimbulkan permusuhan dan konflik di tengah-tengah umat Islam. Karena, perbedaan itu sesuatu yang niscaya dalam Islam. "Contoh umpamanya berkenaan dengan qunut pada saat shalat Subuh. Itu sesuatu yang niscaya perbedaan ulama dalam memahami shalat Nabi," ujarnya.
Nabi suatu waktu pernah pernah berqunut, tapi di waktu yang lain nabi juga tidak berqunut. Karena itu, bagi sahabat yang melihat nabi berqunut berpandangan bahwa qunut hukumnya sunah. Namun, bagi sahabat yang tidak pernah melihat nabi berqunut menganggapnya sebagai bid'ah. "Nah, berbeda dalam memahami seperti itu kan batas toleransi karena masing-masing punya dalil dan masih dalam pemahaman kegamaan," jelas Kiai Cholil.
Sama halnya juga dengan masalah jumlah rakaat shalat Tarawih. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa Nabi melak sanakan shalat Tarawih dengan delapan ra kaat, sedangkan ulama lainnya mengata kan na bi melaksanakan Tarawih dengan 20 rakaat. "Itu sama halnya dengan perbedaanya apakah kita memelihara jenggot atau tidak, celana cingkrang atau tidak, itu sesuatu yang menjadi perbedaan ulama di dalam memahami agama," katanya.
Menurut dia, banyak hal yang dapat dibahas dalam fikih ikhtilaf, termasuk soal ibadah keseharian umat Islam. Dalam pembahasan fikih ikhtilaf, kata Kiai Cholil, umat Islam akan memahami pendapat yang lebih diunggulkan. "Banyak hal yang bisa kita kupas, sehingga fikih ikhtilaf ini penting untuk mendewasakan kita beragama," ucapnya. Dengan memahami fikih ikhtilaf ini, diharapkan, umat Islam bisa lebih fleksibel dalam beragama.
Selain itu, tambah dia, umat Islam yang memahami fikih ikhtilaf juga akan lebih merekatkan persatuan dan meluaskan wawasannya, sehingga tidak mudah mengkalim seseorang telah keluar dari Islam. "Oleh karena itu, penting untuk menyam paikan hal ini kepada generasi muda, kepada generasi masyarakat yang hidup di te ngah kita," pungkasnya.