REPUBLIKA.CO.ID, Islam memiliki sifat syamil atau menyeluruh memang tidak bisa hanya dipandang sebagai agama privat. Islam bukan hanya mengatur ritual peribadahan, seperti shalat dan puasa. Islam pun mengajarkan kaidah dan adab banyak hal dalam hubungan sesama manusia. Jual beli dan pernikahan merupakan dua contohnya, tak terkecuali poligami. Upaya meletakkan wacana poligami di ruang nonteologis pun dinilai hanya cara untuk menghindari ekses penolakan umat.
Dalil untuk berpoligami ada pada Alquran, khususnya QS an- Nisa ayat 3. "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahi nya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."
Tentang bilangan dua, tiga, atau empat, Imam Ibnu Katsir menjelaskan, ayat ini merupakan pembatasan bagi kaum lelaki untuk menikahi maksimal empat wanita. Inilah yang dikatakan Ibnu Abbas dan jumhur ulama, mengingat makna ayat mengandung pengertian dibolehkan dan pemberian keringanan.
Imam Syafii pun menjelaskan, sesungguhnya sunah Rasulullah SAW menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah SAW tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat wanita. Apa yang di katakan Imam Syafii ini sudah disepakati oleh kalangan ulama, kecuali segolongan ulama Syiah yang mengatakan seorang lelaki boleh memiliki istri lebih dari empat sampai sembilan orang.
Kita pun bisa menyaksikan jika para sahabat yang sebelum Islam memiliki istri lebih dari empat harus memilih empat dan menceraikan sisanya. Ini menunjukkan jika Islam memang meng atur poligami terbatas bagi umat nya. "Dari Qais ibn al-Harits RA, ia berkata: Saya masuk Islam, sedang saya telah memiliki istri delapan. Lantas, saya menghadap Nabi Muhammad SAW (mena nya kan ihwal masalah ini) dan beliau bersabda: "Pilih dari mereka empat." (HR Abu Dawud).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya, "Beristri lebih dari empat dalam waktu bersamaan," memutuskan jika pernikahan dengan istri hingga empat dilaksanakan sesuai syarat dan rukunnya, maka ia sah sebagai istri dan memiliki akibat hukum pernikahan. Sedangkan, wanita kelima dan seterusnya, meski secara faktual sudah digauli, statusnya bukan menjadi istri yang sah.
Kisah Ali
Meski demikian, beberapa pihak yang masih berkeras untuk melarang poligami bersandar pada hadis penolakan rencana poligami Ali bin Abi Thalib. Dilansir dari Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang mengutip sahih Muslim, dari Ali bin Husain bahwa Miswar bin Makhramah pernah mengabarkan tentang Ali bin Abi Thalib yang melamar anak perempuan Abu Jahal, padahal statusnya sebagai suami dari sayidah Fatimah anak perempuan Rasulullah SAW.
Mendengar rencana Ali bin Abi Thalib, Fatimah mengadukan hal tersebut kepada ayahanda nya. Ia mengatakan, orang-orang mengira bahwa Rasulullah SAW tidak akan marah kepada anak nya, sedangkan Ali bin Abi Thalib hendak menikahi anak perempuan Abu Jahal.
Mendengar apa yang dikemukan anak perempuannya, Rasulullah SAW segera bangkit. Beliau meminta kesaksian, kemudian mengatakan beberapa hal. Di antara ucapan yang terlontar dari beliau adalah, "Sungguh, demi Allah, selamanya anak perempuan Rasulullah tidak boleh berkumpul dengan anak perempuan musuh Allah di samping satu laki-laki". Lantas Ali bin Abi Thalib pun membatalkan pertunangan tersebut.
Bahtsul Masail PBNU pun berpendapat, kisah di atas mengandung hikmah bahwa Rasulullah SAW tidak rela anak perempuannya dipoligami karena yang menjadi calon istri kedua Ali bin Abi Thalib adalah anak perempuan Abu Jahal. Sementara Abu Jahal, meskipun adalah paman beliau sendiri, ia termasuk orang yang sangat memusuhi Islam.
Selain itu, sandaran dari pelarangan poligami pun kerap menyitir QS an-Nisa ayat 129. "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". Menurut Ibnu Abbas, Ubaydah as-Sal many, Mujahid, Alhasan Albasri, dan Adh-Dhahak bin Muzahim dalam tafsir Ibnu Katsir, sekali pun lelaki berusaha seadil mungkin dalam pembagian materi, tetap saja ada perbedaan rasa cinta dan syahwat pada masing-masing istrinya. Syekh Yusuf al-Qara dhawi memberi penjelasan ketika ditanya mengenai dijadikannya hal itu sebagai dalil untuk melarang poligami.
Ia menyatakan, pengambilan dalil seperti itu tak bisa diterima dan merupakan distorsi pemahaman atas ayat Alquran serta mengandung tuduhan terselubung terhadap Nabi dan para sahabatnya. Seolah-olah mereka tidak memahami Alquran atau mereka memahaminya, tapi melanggarnya dengan sengaja.
Penyebab perceraian
Bagaimana dengan alasan poligami menjadi faktor penyebab perceraian? Penyebab perceraian bukan hanya poligami. Jika merujuk data lebih jauh dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung (MA), ada tiga besar penyebab perceraian.
Pertama, pertengkaran terus menerus dengan jumlah 152.575 perkara. Kedua, persoalan ekonomi dengan jumlah 105.266 perkara. Ketiga, meninggalkan salah satu pihak dengan 70.958 perkara. Sementara itu, kasus perceraian akibat poligami sebanyak 1.697 perkara. Angka ini pun terbilang kecil jika dibandingkan dengan jumlah total perceraian selama 2017, yakni 415.848 perkara.
Meski demikian, adanya fakta seribu lebih pelaku poligami ternyata tidak berhasil membangun keluarga yang sakinah mawaddah warahmah patut menjadi perhatian kita bersama. Mengutip pendapat Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH An war Abbas, Islam membolehkan poligami asalkan bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Poligami pun bisa dilarang jika dilakukan dengan cara zalim. Karena itu, poligami harus memperhatikan kemampuan pelaku, baik lahir maupun batin. Di samping itu, hal penting yang sebaiknya dilakukan sebelum melakukan poligami adalah bermusyawarah dan meminta pertimbangan serta izin istri. Wallahu a'lam.