REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Agama Islam memuliakan kaum wanita dan memberikan mereka kewajiban dan tanggung jawab yang sepadan dengan laki-laki. Meski demikian, menurut Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam Fatawa Ma'ashirah, kehormatan kaum wanita terkadang diingkari oleh sebagian orang.
Di antara pengingkaran itu berupa pernyataan bahwa suara wanita adalah aurat. Karenanya, seorang wanita tidak sepatutnya berbicara dengan laki-laki selain suami dan muhrimnya. Kemerduan suaranya dianggap dapat membangkitkan syahwat dan menyebabkan fitnah. Padahal, kata Syekh al-Qaradhawi, mereka yang menyatakan hal itu tidak punya dalil apapun.
Bukti bahwa suara wanita tidak termasuk aurat didasarkan pada ajaran Alquran yang membolehkan laki-laki Muslim bertanya kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW dari balik tabir. ...Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir... (QS al-Ahzab [33]: 53).
Menurut Syekh al-Qaradhawi, permintaan atau pertanyaan (dari para sahabat) itu sudah tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin (ibunya kaum Mukmin, yaitu istri-istri Nabi SAW). Mereka biasa memberikan fatwa kepada orang-orang yang meminta fatwa.
Meski begitu, lanjut al-Qaradhawi, ada pula model pembicaraan wanita yang dilarang oleh Alquran. Yaitu al-khudu' bi al-qaul (memikat dalam berbicara). Atau pembicaraan yang diniatkan untuk menarik perhatian ataupun menggoda laki-laki yang bukan muhrim.
Firman Allah, Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita-wanita lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (QS al-Ahzab [33]: 32).
Ayat tersebut melarang bicara yang membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya berpenyakit. Namun tidak berarti Alquran melarang semua pembicaraan kaum wanita dengan laki-laki. Yang diperintahkan adalah berbicara dengan perkataan yang baik, seperti termaktub pada akhir ayat, Dan ucapkanlah perkataan yang baik.