REPUBLIKA.CO.ID, CILACAP -- Syekh Mas’ud merupakan sosok ulama yang sederhana dan rendah hati. Penampilannya adalah penampilan kiai kampung yang tampil biasa-biasa saja. Tetapi, di balik penampilan itu tersembunyi ilmu agama yang luar biasa.
Saat menunaikan ibadah haji pada 1964 Masehi, Syekh Mas’ud pernah bertemu dengan Syekh Yasin bin Isa Al-fadani di Makkah. Syekh Yasin merupakan ulama Makkah yang nenek moyangnya berasal dari Padang, Sumatra Barat.
Syekh Mas’ud menggunakan kesempatan pertemuan itu untuk belajar kepada Syekh Yasin, khususnya beberapa kitab yang belum sempat dia pelajari semasa di pesantren dulu. Ia pun meminta ijazah atas kitab-kitab yang dipelajari dari Syekh Yasin.
Gurunya itu juga mengakui kedalaman ilmu Syekh Mas’ud, terutama pemahamannya dalam bidang ilmu fiqih. Karena itu, Syekh Mas’ud sering diajak bermusyawarah dengan para ulama Timur Tengah untuk menyelesaikan permasalahan fiqih.
Setelah pertemuan itu, Syekh Mas’ud tetap mengirim surat kepada Syekh Yasin dan bertemu lagi dengan gurunya itu saat berkunjung ke Indonesia pada 1990. Setelah itu, ia sering mendapatkan kiriman kitab dari Syaikh Yasin dari Lembaga Keagamaan yang ada di Turki.
Syekh Mas'ud pun terus memburu dan mempelajari kitab-kitab yang ia dapat dan belum sempat dipelajarinya. Bahkan, hingga menjelang akhir hayatnya, Syekh Mas’ud masih terus mempelajari kitab kuning sebagai rujukan untuk mengajarkan agama Islam.
Hasil perburuan kitab-kitab tersebut juga dijadikan referensi oleh Syekh Mas’ud untuk menulis karyanya yang berjudul Masailusy Syatta, yaitu sebuah kitab yang berisi tentang tanya jawab masalah-masalah agama yang terjadi dan berkembang di masyarakat.
Kitab tersebut terdiri dari dua jilid dan diberi penjelasan oleh putra Syekh Mas’ud yang bernama Khazim Mas’ud (Gus Hazim). Bagi masyarakat yang mempelajari kitab tersebut kini sudah tersedia di Pondok Pesantren Al Barokah, Kawunganten, Cilacap, Jawa Tengah.