Tak enak dipandang, apalagi disentuh
Tak punya sayap, apalagi bentuk yang indah
Hingga jadilah aku seekor kepompong yang menempel di batang pohon
Berharap aku bisa menjadi sesuatu yang lebih indah dari seekor ulat
Perjuangan begitu berat harus aku jalani
Sedikit demi sedikit kulit kepompongku terbuka
Sudah tak sabar lagi keluar dari kediaman ini
Inikah skenario indah-Nya?
Aku hanya sabar menunggu dan berusaha sekeras baja
Dan perlahan demi perlahan perubahan pun mulai tercium aromanya
Hingga akhirnya, inilah waktu yang tepat
Kepak sayapku telah terlihat..
“Woy, Nin! Lagi apa lo?” teriak seorang perempuan dengan suara tinggi mengagetkan Nina yang sedang menulis puisi di taman belakang kampus.
Tempat ini menjadi tempat favorit Nina untuk menulis puisi, hobinya sejak kecil. Meskipun telah menjadi mahasiswi tingkat dua, ia tidak meninggalkan hobinya itu.
“Biasa, win, nulis puisi. Lo kaya gak tau gue aja,” jawabnya pada Winda sambil menutup catatan puisinya.
Rupanya ia tak ingin Winda melihatnya. Kalau saja Winda menyukai hobi yang digelutinya, hal itu tak akan dilakukannya. Winda telah menjadi temannya sejak SMA, mereka berdua sangat akrab.
“Ya elah hari gini masih berkutat sama puisi mulu, gak bosen lo? Gue aja bosen liatnya, hehe..” Winda mengatakannya sambil bercanda.
Nina pun menanggapinya dengan senyum. Ia tahu temannya tidak bermaksud begitu.
“Eh, shalat yuk, Win!” ajak Nina, saat itu sudah masuk waktu shalat Dzuhur.
Winda pun diam sejenak lalu menjawab, “Shalat? Hmm..” Winda terlihat ragu dan bingung.
Setiap diajak shalat, Winda pasti beralasan ada urusan lain, nanti sajalah, ada keperluanlah, selalu ada alasan untuk menghindar. Nina pun hanya bersabar dan berhusnudzan kalau Winda akan menyusul shalat.
“Yaudah deh, gue duluan ya Winda, gue tau kok lo mau ngomong apa. Gue selalu nunggu lo kok.” Sekejap Nina pun meninggalkan Winda yang masih terlihat duduk santai di taman.
“Gue heran deh sama Winda, kenapa sih susah banget diajakin shalat..” gumam Nina saat selesai shalat.
Winda memang tidak pernah memberi penjelasan kenapa ia tidak mau diajak shalat di kampus bersama Nina. Ia hanya mengatakan ia mau shalat di kosan saja. Aneh memang, tapi itulah Winda, teman dekat Nina.
Winda sebenarnya anak yang baik, ia pun cukup populer di kampus. Ia punya banyak teman dari berbagai kalangan. Prestasi akademisnya pun bagus. Hanya saja Nina masih merasa heran, kenapa sulit sekali mengajak temannya itu untuk sekadar menunaikan shalat wajib berjama’ah di masjid kampus yang berlokasi di daerah Jakarta Selatan itu. Padahal kalau diteliti, Winda bukanlah seorang yang tak beragama, ia seorang muslimah. Pernah suatu kali Nina mengajak Winda diam-diam ke Masjid sampai Winda kesal dan marah padanya.
“Lo apa-apaan sih Nin, ngajakin gue kesini gak bilang-bilang, gue pikir mau kemana.” Ujar Winda saat tiba di pelataran Masjid kampus. Ia tak sadar kalau sedang dipaksa Nina untuk masuk ke Masjid.
“Ye, emang lo pikir gue mau ngajak lo kemana? Ke mall? Ke diskotik?” sahut Nina agak kesal.
“Ya gue pikir lo mauuu...” Winda terdiam sejenak dan tidak meneruskan kata-katanya.
Matanya sibuk memperhatikan sesosok laki-laki tampan yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Winda sepertinya tidak pernah melihat laki-laki itu sebelumnya. Ia terkejut dengan kedatangan laki-laki ini, seolah-olah waktu dan nafasnya berhenti sejenak hanya untuk melihat laki-laki itu.
“Assalamu’alaikum, Nina,” ucap laki-laki itu.
“Walaikumsalam, Fahmi,” jawab Nina.
Ia menyadari kalau teman di sampingnya tengah linglung karena kehadiran Fahmi.
“Win, kenalin ini Fahmi, dia salah satu mahasiswa di kampus kita, cuma beda jurusan.” Lanjut Nina sambil menyenggol siku Winda.
“Eh, iya. Gue Winda, anak Politik. Kok gue baru liat lo sekarang ya?” Jawab Winda agak gugup.
“Gue anak Sastra Arab. Mungkin emang gue jarang nongkrong di kampus kali ya..” sahut Fahmi.
“Ya jelaslah kalian gak pernah ketemu di kampus. Lo kan jarang nongkrong di Masjid Win, beda sama Fahmi yang hobinya ngampus di Masjid..” celetuk Nina asal setengah menyindir Winda yang memang susah diajak ke Masjid.
“Rese lo, Nin,” gerutu Winda dalam hati.
“Maaf ya kalau ganggu, gue cuma mau ngasih informasi nih. Jadi, karena seminggu lagi kita udah masuk bulan puasa, pengurus masjid ini mau ngadain rangkaian acara selama Ramadhan. Nah, kalo kalian mau, kalian bisa ikutan.” celoteh Fahmi.
“Emang acaranya apa aja, mi?” tanya Nina penasaran.
“Banyak, ada buka puasa bersama, pengajian bersama, pesantren kilat, dan banyak deh yang lain. Kalian dateng aja ya, nih brosur lengkapnya. Oh iya, gue juga minta tolong ya sebarin ke temen-temen lo juga hehe..” Jawab Fahmi penuh semangat sambil menyerahkan selembaran brosur pada Nina.
“Oh, begitu. Oke deh, mi. Insya Allah ya kami ikut.” jawab Nina singkat karena ingin cepat masuk masjid untuk shalat.
“Sip. Makasih banyak Nin, gue duluan ya, assalamu’alaikum..” ujar Fahmi sambil pamit meninggalkan Nina dan Winda.
Belum jauh Fahmi melangkah, tiba-tiba..
“Fahmi, lo sendiri ikut gak acara itu?” Tanya Winda yang membuat heran Nina.
“Insya Allah, ikut.” Jawab Fahmi singkat sambil berlalu jalan ke arah pintu tempat wudhu masjid.
Mereka berdua pun akhirnya masuk ke dalam mesjid untuk shalat.
“Nin, sejak kapan lo kenal Fahmi?” tanya Winda seusai shalat.
“Sejak gue rajin ke mesjid, haha. Makanya lo sering-sering aja ke sini, lo pasti naksir dia kan?” Canda Nina.
“Sembarangan lo kalo ngomong. Gue cuma gak percaya, ada orang yang hobinya nongkrong di masjid, gue aja males hehe..” protes Winda menutupi malu di wajahnya yang mulai merona merah.
“Iya sih, dia emang cowok yang paling sholeh deh di kampus kita. Ganteng lagi. Cuma sayang, dia kayaknya gak minat pacaran tuh sama cewek.” Nina menjawab dengan nada serius sambil berjalan keluar masjid.
“Emang kenapa, Nin? Dia gak suka cewek ya?” Tanya Winda polos.
“Hussh, sembarangan lo Win, bukan ga suka cewek, dia normal kok. Tapi, yang gue tahu sih, orang se-sholeh dia pantang pacaran, haram hukumnya. Gitu..” jelas Nina pada Winda.
“Haha, beda ya sama gue yang hobi nyari pacar baru,” ungkap Winda.
Ia memang salah satu cewek yang punya wajah cantik di kampus dan banyak cowok yang antri jadi pacarnya. Ibarat orang-orang yang menunggu giliran untuk memperoleh jatah zakat.
“Ya lo kan emang kaya ulat yang suka menclok dimana-mana,” celetuk Nina.
Akhirnya mereka berdua kembali ke kelas untuk kuliah. Sejak itu perasaan Winda berdebar-debar, ia selalu teringat wajah laki-laki itu. Meskipun begitu, Winda tetap saja sulit untuk diajak ke masjid. Seperti biasanya.
Sebenarnya Nina sadar bahwa ia telah melakukan sebuah kesalahan. Niat ibadah harusnya hanya untuk Allah semata. Bukan yang lain. Tapi, apa daya, Winda hanya tertarik pada laki-laki itu.
“Win, inget ya ntar malem. Udah janji loh!” Tegas Nina sebelum berangkat ke kampus hari itu.
“Iya, gue inget kok. Gue pasti dateng, kan gue pengen ketemu lagi sama Fahmi, hehe..” jawab Winda yang sedang main komputer di atas kasur empuknya. Hari itu Winda memang tidak ada jadwal kuliah.
“Huh, dasar ulat! Niat tuh buat Allah, Win, bukan Fahmi.” ungkap Nina kesal.
“Biarin aja, Allah juga ngerti kok kalau hamba-Nya ini lagi falling in love..” Winda menjawab sambil menaruh kedua telapak tangannya di bawah dagu. Dan itu semakin membuat Nina kesal.
“Teserah lo deh. Tapi hati-hati Win, ntar lo kualat lagi sama Allah.” Ancam Nina. Ia takut Winda salah niat dan berdampak buruk bagi dirinya sendiri.
“Tenang aja, Nin. Gue pasti selamet-selamet aja kok.” Jawab Winda enteng.
“Gue berangkat ya, kayaknya tar malem gue langsung ke mesjid dari kampus, jadi lo berangkat sendiri aja. Oke?” Lanjut Nina.
“Yah, kok gitu Nin. Kalo gitu lo tunggu gue di pintu depan pagar masjid ya, jangan masuk sebelum gue dateng. Gue gak mau sendirian. Oke?” Tegas Winda.
“Oke deh. Bye Winda. Assalamualaikum..” Nina pun berangkat meninggalkan kamar kosnya menuju kampus tercinta. Tinggal Winda sendiri di kamar.
“Apa gue sanggup ya lama-lama shalat di masjid, banyak lagi jumlah raka’atnya, shalat wajib aja gue masih bolong-bolong,” kata Winda dalam hatinya.
“Ah, bisalah. Demi Fahmi,” ia berbicara sendiri, meyakinkan diri untuk berangkat ke masjid dan bertemu dengan laki-laki yang ditaksirnya itu.
Dan malam yang dinanti pun tiba. Tepat pukul 18.30 WIB, Winda telah siap untuk berangkat ke Masjid. Malam itu ia tampak rapih, tidak seperti biasanya. Apalagi untuk sekadar pergi ke masjid. Lebih mirip seperti model fashion show. Ia berjalan penuh semangat. Tidak sabar untuk bertatap wajah dengan sesosok manusia yang sekarang selalu ada dipikirannya.
“Bukankah itu Fahmi ya? Lagi jalan berdua sama siapa ya?” Tanya Winda dalam hatinya saat berjalan di gang kecil menuju masjid.
Ia melihat Fahmi dan seseorang di sampingnya juga sedang berjalan menuju masjid namun dari arah yang berbeda. Jarak pun semakin dekat, Fahmi yang masih mengenali Winda akhirnya memberikan sapaan salam padanya. Mereka mengobrol sebentar lalu Winda segera lekas pergi setelah itu, tetapi bukan menuju pintu depan pagar masjid di mana ia berjanji bertemu dengan Nina.
Di pintu depan pagar masjid, Nina sudah menanti. Waktu sudah menunjukkan pukul 18.50 WIB. Sebentar lagi sudah masuk waktu Isya. Shalat tarawih hari pertama pun akan dilaksanakan. Masjid diisi penuh oleh jama’ah. Nina khawatir jika Winda terlambat datang, mereka tidak akan kebagian tempat untuk shalat.
“Aduh, Winda mana sih? Kok lama banget!” Ucap Nina kesal.
Ia sudah menunggu sejak selesai shalat maghrib tadi. Namun, sampai adzan terdengar Winda belum juga muncul.
“Ini anak ngeselin banget deh, kalo gini terus gue bisa ketinggalan shalat,” akhirnya Nina pun memutuskan untuk masuk lebih dulu. Ia kesal kenapa Winda tidak memberi kabar, padahal ia sudah cukup lama menunggu. Ponselnya pun mati.
“Keterlaluan si ulat,” batin Nina.
Seusai shalat, Nina langsung kembali ke kosannya. Setiba di kosan, ia melihat ada seorang laki-laki duduk di depan teras. Wajahnya tampak tegang dan cemas.
“Permisi mas, ada yang bisa saya bantu?” Tanya Nina sopan.
“Begini mba, apa mba kenal orang yang ada di KTP ini?” Tanya laki-laki itu.
“Loh, ini kan punya Winda, temen saya mas, kok bisa sama mas?” Selidik Nina kaget.
Laki-laki itu pun menceritakan bahwa Winda saat ini berada di rumah sakit umum. Rupanya laki-laki itu tidak sengaja menabrak Winda. Saat itu ia tidak melihat seorangpun menyeberang jalan, namun tiba-tiba Winda berlari dari arah gang dan membuat laki-laki itu terkejut.
Tanpa banyak kata, Nina langsung pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi Winda. Laki-laki itu mengantarnya dengan mobil. Setiba di rumah sakit, Nina sedih melihat kondisi Winda yang tidak sadarkan diri, banyak balutan perban di tubuhnya. Dokter mengatakan bahwa Nina masih dalam pengaruh obat sehingga ia belum sadar sampai besok pagi.
Nina menangis melihat kondisi temannya, ia tak tega. Ia menyesal kenapa membiarkan Winda berangkat sendiri hingga akhirnya seperti ini. Nina menginap malam itu menemani Winda di ruangannya. Malam itu ia menjalani sahur pertama di rumah sakit. Sampai esok paginya..
"Nin, Nin..” panggil Winda dengan suara yang parau.
“Winda, alhamdulillah lo udah sadar,” syukur Nina.
“Gue kenapa di sini, Nin? Kepala gue pusing banget nih,” tanya Winda sambil memegangi kepalanya yang diperban.
“Gue yang harusnya nanya sama lo, lo kenapa bisa begini? Tadi malem lo itu ketabrak mobil dan sekarang lo lagi dirawat disini.” Jawab Nina menjelaskan.
Akhirnya Winda pun sadar bahwa dirinya kini ada di rumah sakit. Ia sadar semalam ia sedang berlari dan tidak bisa mengontrol emosinya. Ia tidak memperhatikan kendaraan yang ada di jalan. Ia menceritakan kenapa ia begitu. Dengan seksama Nina mendengarkan cerita Winda.
Ceritanya pun berkaitan dengan peristiwa ketika ia bertemu dengan Fahmi dan seseorang yang berjalan bersamanya. Malam itu ia dikenalkan dengan seorang wanita yang berjilbab, dan wanita itu ternyata adalah istri sah dari Fahmi yang baru saja dinikahi satu hari sebelum Ramadhan.
Fahmi memang tidak memberitahukan kabar itu kepada Nina maupun Winda karena ingin membuat kejutan. Ia hanya mengundang keluarga dan kerabat dekat saja. Ini memang sungguh menjadi kejutan besar buat Winda malam itu. Hatinya terpukul. Apa yang ia harapkan tidak akan pernah terjadi. Padahal malam itu ia sangat bersemangat pergi ke masjid, hanya untuk menemui laki-laki itu, tapi yang ditemui adalah kenyataan pahit yang jauh lebih pahit dari setetes cairan empedu.
“Gue gak nyangka Nin, ternyata dia udah punya pasangan hidup.” Ucapnya terisak.
“Lo sabar aja Win, mungkin ini udah takdir dari Allah. Lagian lo juga baru kenal sama Fahmi. Mungkin juga ini teguran Win, buat lo, karena lo salah niat pas pergi ke masjid.” Ujar Nina.
“Maksud lo, Nin?” Tanya Winda bingung.
“Maksudnya, lo gak boleh niat ke masjid buat cowok doang. Lo ibadah tuh harus murni karena Allah. Nah, gini deh jadinya akibat lo yang gak mau denger nasihat gue.” Tandas Nina.
“Lo bener Nin, gue nyesel sekarang.” Ucap Winda lemas.
“Anggap aja ini ujian dari Allah, supaya lo bisa berubah dari diri lo sekarang. Jangan jadi ulat lagi, tapi jadi kupu-kupu kayak apa yang gue tulis di puisi gue dulu. Hehe..” Canda Nina mencoba menghibur hati Winda.
“Bener juga, Win, gue harus berubah, gue gak mau hidup gue sia-sia.” ucap Winda sambil memegang tangan Nina.
Peristiwa kecelakaan itu pun menjadi titik balik dalam kehidupan seorang Winda. Kini ia tidak lagi seperti dulu. Dengan mengikuti rangkaian kegiatan di masjid kampus, ia sudah mulai berubah menjadi sosok perempuan yang shalihah. Ia mulai belajar shalat tepat waktu, belajar shalat berjama’ah, bahkan tilawah dan menghafal Alquran. Pada awalnya semua itu terasa berat dijalani, namun dengan niat yang bersih karena Allah semuanya akan terasa manis jika dijalani dengan ikhlas.
“Nin, shalat Dzuhur yuk!” Ajak Winda penuh semangat.
“Gak ah, gue ada urusan lain! Hehe..” Jawab Nina sambil bercanda.
Ia senang akhirnya temannya itu kini sudah menjadi orang yang lebih baik. Ia hanya ingin membalas ketika dulu Winda selalu menolak ajakannya untuk shalat. Ramadhan tahun ini telah membuat seorang Winda bermetamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu yang indah.
“Aaaah, lo nih, mau lo jadi ulet kaya gue dulu? Haha..” Ancam Winda bercanda.
Beberapa hari sebelum pulang mudik ke kampung halaman, Nina mudik ke Yogyakarta dan Winda mudik ke Lampung, mereka memutuskan untuk berhijab ketika 1 Syawal nanti. Menandakan bahwa mereka telah kembali ke fitrahnya. Hari raya tahun ini menjadi sangat berarti bagi mereka berdua. Mereka telah menjadi sepasang kupu-kupu yang indah. Segala peristiwa pasti ada hikmahnya, bahkan pintu hidayah itu bisa datang dari mana saja, walau dari musibah sekalipun.
Hari Raya Idul Fitri pun tiba. Hari yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam sedunia. Begitu juga bagi Nina dan Winda. Meski berada di tempat yang berbeda, mereka tetap saling berkomunikasi. Winda mengirimkan kartu ucapan lebaran dan sebuah surat lewat pos untuk Nina.
Assalama’alaikum Nina..
Apa kabar lo, Nin? Moga lo baik-baik aja ya. Gue disini alhamdulillah masih sehat. Minal aidzin wal faidzin ya, maafin kesalahan yang pernah gue lakuin sama lo. Kapan-kapan lo maen dong ke tempat gue, ntar gue ajak jalan keliling kota Lampung. Hehe
Selamat lebaran ya, Nina sahabatku ^^
#Oiya, kalo dulu gue ga suka liat lo nulis puisi, sekarang giliran gue yang nulis kata-kata puitis buat lo nih tapi mungkin gak akan sepuitis kata-kata puisi lo, sobat... hehe
“Kita semua sepakat kalau kupu-kupu adalah binatang dengan sayap yang indah. Warna-warninya dengan corak yang sangat beragam membuat kupu-kupu disukai anak-anak.
Kupu-kupu berasal dari metamorfosis ulat yang kemudian menjadi kepompong. Untuk menjadi seekor kupu-kupu, kepompong harus melakukan perjuangan yang sangat-sangat berat. Ketika kepompong telah ‘masak', kepompong akan terbuka sedikit di bagian ujung kepala si kupu-kupu karena didesak oleh si kupu-kupu yang sudah tidak tahan berdiam diri.
Butuh waktu yang tidak sebentar untuk si kupu-kupu untuk membuat lubang yang semakin besar. Tubuhnya yang diselimuti cairan untungnya mempermudah dan melindungi si kupu yang masih rentan untuk bergerak. Segala daya dan upaya akan dikerahkan si kupu-kupu untuk bisa keluar dari kepompong. Begitu lubang sudah semakin besar dan cairan yang melekat di tubuhnya telah habis, si kupu-kupu bisa keluar dari kepompong untuk menguatkan sayap sebentar saja dan kemudian dapat terbang bebas.
Tapi tahukah kamu kalau kamu merasa kasihan dengan perjuangan si kupu-kupu untuk keluar dari kepompong, dan kamu membantu memperbesar lubang kepompong tersebut agar si kupu-kupu bisa keluar dengan mudah adalah perbuatan yang seharusnya tidak boleh dilakukan?
Si kupu-kupu memang akan keluar dengan mudah tapi kamu telah membuat cacat si kupu-kupu seumur hidupnya. Si kupu-kupu tidak akan pernah bisa terbang karena sayapnya tidak terlatih dengan sempurna. Jadi biarlah si kupu-kupu terus bercucuran keringat, karena itulah prosedur yang telah ditetapkan oleh Allah agar si kupu-kupu bisa terbang memamerkan keindahan sayapnya.
Tak lama surat itu dibaca, suara ponsel Winda pun berbunyi. Ada sms masuk. Sebuah sms dari sahabatnya, Nina.. "Win, karena lo, gue jadi tahu sekarang. Kalo gak cuma ulat yang bisa jadi kupu-kupu.”
Winda menekan tombol reply dan menulis, “Lo juga harus tahu, kalo gak cuma lo yang bisa nulis puisi. Hehe.”
Awwaliatul Mukarromah
Universitas Indonesia
-
Tim Rukyatul Hilal UIN Walisongo Amati Hilal di Dua Lokasi
-
-
Selasa , 12 Apr 2022, 13:00 WIB
Pekan Pertama Ramadhan, Sampah Domestik Meningkat
-
Selasa , 05 Apr 2022, 19:50 WIB
MUI Bogor Terbitkan Imbauan Umat tidak Gelar Buka Puasa Bersama
-
Jumat , 01 Apr 2022, 19:18 WIB
Jaringan Komunitas Muslim Bagikan Sembako Berisi Kebutuhan Ramadhan
-
Ahad , 12 Apr 2020, 05:22 WIB
Ricky Harun Ungkap Kisah Lucu Saat Main Sinetron Religi
-