REPUBLIKA.CO.ID, Waktu pun berhenti di sini. Jendela masih terbuka. Angin semilir menjalar dari luar, membawa aroma daun basah bekas gerimis. Iwan masih terpaku. Pikirannya mengembara ke masa itu, ketika dia bersilang tatap dengan Tisna dari jendela ini. Gadis bermata bundar itu pun menundukkan kepalanya.
Hati Iwan tersirap. Adik kelasnya, yang tinggal beberapa rumah dari kediaman Iwan itu, sedang menuju surau untuk shalat Magrib. Itu bukan kali pertama pertemuannya dengan Tisna. Setiap pertemuan pun tak ada perasaan begitu. Namun, silang tatap dari jendela kamarnya ini menimbulkan getar tersendiri.
"Terlalu cepat ke surau, Magrib masih setengah jam lagi," ujar Iwan sambil bangkit dari kursinya dan bergerak menuju jendela.
Tisna diam. Kepalanya menunduk, seperti tak kuasa ditengadahkannya.
"Aku menyusul. Aku akan mandi dulu," kata Iwan sambil menutup jendela.
Tisna masih diam. Dia melangkah menuju surau. Langkah itu tak luput dari tatapan Iwan. Sehilang tubuh Tisna dari tatapannya, bersegeralah Iwan mandi dan menuju surau.
Semenjak silang tatap itu, perasaan Iwan tak nyaman jika dia tak bertemu dengan Tisna sekali saja dalam sehari. Seringkali Iwan sengaja melewati ruang kelas Tisna saat istirahat, dan biasanya Tisna sedang duduk di undakan tangga depan kelasnya, bersama beberapa siswi sekelasnya.
Begitu bola mata mereka bertatapan, denyar darah Iwan bergelora. Namun, tak sepatah kata pun terucapkan, selain senyum di bibirnya. Begitu juga Tisna. Namun, akibat gelora perasaannya itu pulalah, kemudian sikap Iwan menjadi gunjingan kawannya satu sekolah. Bahkan Oyong, kakak Tisna, sempat mendatangi Iwan.
"Jangan kau ganggu adikku," kata Oyong pada Iwan.
Suatu sore, selepas kelulusan diumumkan, Iwan mengayuh sepedanya ke pantai. Dia ingin menikmati senja terindah dari kampung halamannya, sebelum merantau. Ketika Iwan menikmati saat mentari tergelincir di pantai, tiba-tiba Tisna menghampirinya.
Debur ombak yang berkejaran dan menghempas di pantai itu, seakan menjadi dirigen denyut jantungnya, sehingga denyar darah di aortanya semakin kencang.
"Aku tahu kau akan ke sini," kata Tisna seraya duduk di pasir, di sebelah Iwan.
Iwan diam. Hanya getar jiwanya bergoncang.
"Maafkan ulah kakakku," sambung Tisna lagi.
Goncangan itu mengakibatkan jemari Iwan bergerak menyentuh jemari Tisna. Tisna mendiamkan jemarinya disentuh Iwan.
Waktu itu pun terasa berhenti.
Namun, keindahan itu terpatahkan, ketika derum suara motor mendekati mereka. Dan, kemudian berhenti di depan mereka. Oyong turun dari motor dan cepat mendekati Tisna, segera menarik lengan adiknya. Bersamaan dengan itu, berhamburanlah ceracauan dari mulut Oyong.
Iwan diam. Tisna mengikuti Oyong, duduk dibonceng dan tinggalkan Iwan sendiri. Ya. Semenjak itu makin kuat niat Iwan untuk kuliah di Jawa.