Oleh: Denny JA*
Kampungku terbelah,
Juga batinku,
ujar temanku di beranda.
Kami berdua saja,
mengenang pilkada Jakarta.
Kesedihan bergelantung di plafon.
Kecewa membayang bayang dinding ruangan.
Dikisahkannya soal Wahab dan Wahib, kakak adik yang masih bermusuhan.
Soal komunitas diskusi yang pecah kongsi.
Soal Ahmad dan Robert yang tak lagi berteman.
Tentang Toni dan Tina yang batal menikah.
Itu pertarungan sungguh terlalu,
ujarnya pilu.
Kebencian dipertukarkan.
Kata ditembakkan untuk melukai.
Rumor menjadi senjata.
Hati dikalahkan strategi.
Seandainya, bisa diulang,
kuambil peran berbeda.
Kulihat api redup di mata temanku.
Dinyalakannya, sia sia.
-000-
Alhamdulilah, kita ditempa,
dipukul, dipanggang api, bagai lempeng tembaga, agar menjadi piala.
Juga batinku.
Ujar temanku di kantornya.
Kami berdua saja,
mengenang pilkada Jakarta.
Ia begitu bahagia.
Kita tercebur di laut, kadang tenggelam, kadang terminum air.
Tapi kita belajar banyak.
Matahari bersinar di lampu ruangan.
Kata- katanya musik yang riang.
Ia bercerita soal perubahan dalam sejarah,
tentang luka dan korban manusia yang kadang tak terhindari untuk sebuah kemajuan.
Ujarnya, kini kita nikmati berkah kebebasan, kompetisi terbuka, demokrasi, hak asasi.
Itu tak akan terjadi tanpa meletusnya perang menghapus penjajahan.
Tak kan ada tanpa kematian karena melawan perbudakan,
Tak kan hadir tanpa penderitaan karena menjatuhkan kezaliman.
Handphone dan internet yang kita nikmati,
Harga saham yang naik turun,
Mall yang nyaman, dari mana datangnya?
Semua itu lahir dari tumpukan begitu banyak luka, derita dan tangis yang kadang tak bisa kau hindari.
Ujarnya, luka di pilkada Jakarta, hanya buih kecil. Itu luka adik balita yang jatuh karena belajar berjalan.
Itu getah ganggu tanggan kita
karena ingin nikmati manisnya nangka.
Jakarta akan semakin jaya.
Juga Indonesia.
Juga demokrasi.
Kita harus lebih rileks berpolitik.
Satu peristiwa harus dilihat dalam kanvas yang panjang.
Kulihat api menyala di matanya,
berkobar- kobar.
-000-
Sore itu sendiri aku duduk di beranda.
Mengenang dua temanku.
Mereka mengalami pilkada Jakarta yang sama, tapi lahirkan batin berbeda.
Yang satu redup api di mata.
Yang lain, kobar api di kepala.
Kurenungkan hal itu:
satu realita, tapi dua dunia.
Apakah pembeda?
Okt 2017