“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya.” Kutipan hadis berikut terdapat dalam Sunan Ibnu Majah, Bab “Menahan Lisan dan Berbuat Fitnah”, Nomor 3976. Menurut Nashiruddin Al-Albani derajatnya shahih. Hadis ini seakan mengonfirmasi firman Allah, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. ...dan orang-orang yang berpaling dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna.” (Q.S. Al-Mukminun: 1 dan 3).
Di dunia ini, tentu kita tidak pernah bisa lepas dari pernak-pernik kehidupan. Entah itu yang menyenangkan, ataupun menyesakkan kita. Itulah dinamika dan warna kehidupan yang pasti dijelang setiap insan, siapa pun dia. Tanpanya, hidup dan kehidupan bagai terasa lesu dan hampa.
Keberadaan seseorang diuji dari seberapa besar manfaatnya bagi sesama dan lingkungannya. Islam melarang kita menjadi orang yang wujuduhu ka ‘adamihi (keberadaannya sama dengan ketiadaannya). Lebih dilarang lagi jika menjadi orang yang ‘adamuhu khoirun min wujudihi (ketiadaannya lebih baik ketimbang keberadaannya). Islam mengajarkan kita agar menjadi orang yang anfa’uhum linnas (paling bermanfaat bagi orang lain). Inilah tipologi orang yang keberadaannya menguntungkan dan dinantikan siapa saja. Saya menyebutnya "orang penting".
Setiap kita pasti ingin menjadi orang seperti itu. Minimal, keberadaan kita dinilai penting oleh lingkungan tempat kita tinggal. Teman yang dianggap penting akan menjadi tempat curhat bagi temannya. Orangtua yang dianggap penting akan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Pegawai yang dianggap penting akan dipertahankan perusahaannya. Pemimpin yang dianggap penting akan didengar rakyatnya. Tokoh yang dianggap penting akan dikenang umatnya...
Karena itu, tidak usah heran jika ada orang yang ucapan dan tindakannya begitu mendapat perhatian dan sambutan dari banyak kalangan. Dia adalah "orang penting". Berbeda dengan orang yang "tidak penting", kehidupannya pun tidak terlalu dipedulikan orang.
Emha Ainun Nadjib pernah membuat permisalan terkait ini. Menurutnya, ada lima tipologi manusia. Pertama, manusia haram, yaitu manusia yang keberadaannya sangat merugikan. Kedua, manusia makruh, yaitu manusia yang ketiadaannya lebih menguntungkan ketimbang keberadaannya. Ketiga, manusia mubah, yaitu manusia yang keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Keempat, manusia sunnah, yaitu manusia yang keberadaannya lebih menguntungkan ketimbang ketiadaannya. Kelima, manusia wajib, yaitu manusia yang keberadaannya dinilai vital sehingga harus diupayakan.
Bagaimana menjadi orang tipologi terakhir itu? Perjalanan hidup ini berangkat dari titik nol. Butuh proses keras dari bawah agar bisa menjadi from nothing to be something. Tentu sesuai kapasitas dan peran masing-masing. Dan, menjadi "orang penting" sangat terkait erat dengan kemampuan kita dalam memilih.
Dengan kata lain, kehidupan ini terlalu berharga untuk sebuah pilihan yang tidak berguna. Saya merasa kasihan kepada orang yang sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk berbagai hal yang tidak berguna. Lebih kasihan lagi jika kebanyakan yang dia lakukan itu justru keluar dari norma agama dan masyarakat. Orang semacam ini disebut "sampah masyarakat".
Mari kita senantiasa memacu diri untuk meraih prestasi. Keinginan saja tidak cukup, tanpa ditopang kemauan dan do'a. Ingin pandai, kita harus belajar. Ingin kaya, kita harus bekerja. Ingin sukses, kita harus berkarya. Ingin terhormat, kita harus memuliakan diri. Ingin meraih ridho Allah, kita harus taat beribadah.
Benang merahnya yakni kita harus mampu memilah antara yang penting dan tidak penting. Demikian pula dalam menjalani kehidupan ini, kita harus selalu fokus. Jangan sampai terjebak oleh persoalan-persoalan pinggiran alias tidak penting, yang kerapkali melalaikan kita dari tujuan utama dan mulia.
Oleh karena itu, sabda Rasulullah dan firman Allah di atas patut dijadikan panduan. Orang Islam yang baik harus berpaling dari segala sesuatu, tindakan atau ucapan, yang sia-sia. Para bijak bestari mengatakan, “orang penting hanya mengerjakan yang penting”.
M. Husnaini
Wakil Pengasuh PP. Al-Basyir Takerharjo Solokuro Lamongan