Ahad 24 Mar 2013 21:09 WIB

Asimetris Pasar Politik Indonesia

 Dahnil Anzar Simanjuntak
Foto: dokpri
Dahnil Anzar Simanjuntak

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dahnil Anzar Simanjuntak*

Salah satu argumentasi yang diyakini dalam ekonomi "mengapa tidak ada pasar yang sempurna" karena tidak pernah hadirnya informasi yang simetris, yang hadir adalah informasi yang tidak simetris atau asimetris. Akibatnya, pasar seringkali didominasi oleh persaingan yang tidak sempurna: monopoli dan oligopoli.

Informasi asimetris merupakan kondisi dalam transaksi ketika satu pihak memiliki informasi yang lebih baik dan benar sedangkan pihak lain tidak, sehingga menyebabkan “imbalance power”. Hal itu menghadirkan kesenjangan dan penguasaan akses dan pasar oleh satu pihak, yang selalu merugikan pihak yang tidak memiliki informasi cukup.

Penelitian George Arkerlof, Michael Spence, dan Joseph Stiglitz telah menjadi pondasi penting mengungkap permasalahan “informasi asimetris” dalam bidang ekonomi, ketiganya meraih nobel pada tahun 2001.

Teori informasi asimetris ini agaknya tidak hanya mampu menjelaskan kondisi pasar ekonomi tetapi lebih daripada itu, juga mampu menjelaskan kondisi pasar politik, sosial dan kebudayaan.

Kondisi pasar politik yang sangat asimetris dilengkapi dengan politisi yang nirmoral dan etika, serta publik yang tidak terdidik secara politik, menjadikan pasar politik sangat tidak sempurna.  Setiap saat kondisi informasi asimetris dijadikan alat untuk “lakon”, bersih antikorupsi dan berpihak kepada masyarakat, tetapi di balik lakon tersebut tersimpan “lakon” korup, manipulatif.

Bak malaikat di atas podium, menawarkan harapan di depan media , namun di balik itu semua menyimpan permufakatan jahat menipu rakyat.

Makna santun pun terpaksa bergeser dari pemaknaan budaya yang mengedepankan kesantunan untuk menjaga harmonisasi, menjadi kesantunan yang menyimpan tipu muslihat. Informasi asimetris di pasar politik melahirkan manusia-manusia dengan keadaban penuh kepalsuan.

Deretan iklan media tokoh politik menawarkan perubahan dan harapan baru, mengutuk kegelapan yang dihadirkan penguasa saat ini, disampaikan oleh mereka yang pernah menjadi bagian dari kegelapan peradaban demokrasi oleh penguasa di masa lalu.

Politik Indonesia adalah arena pertarungan master-master seni informasi asimetris. Layaknya gladiator di arena pertarungan, para politisi bertarung saling membunuh, saling menyandera sambil memanfaatkan emosi publik yang tidak memiliki cukup informasi tentang “pertarungan” tersebut.

Kasus hukum ditarik menjadi kasus politik, seolah dia dizalimi, konspirasi, dan sebagainya. Publik pun ramai-ramai memberikan pendapat, terpengaruh dengan “lakon” yang dimainkan. Satu kasus hukum yang melibatkan politisi tidak pernah tuntas sampai akarnya, karena semua “digoreng” untuk saling menyandera.

Maka kita butuh publik yang lebih rasional. Publik yang tidak mudah tertipu dengan lakon penuh kepalsuan. Memahami politisi dari rekam jejak mereka, memahami pasar politik tidak sekeaar dari tampilan panggung tetapi apa yang terjadi di balik panggung, karena politik adalah seni menggunakan informasi asimetris.

*Pengajar FE Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement