REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abd Rasyid As'ad
Wajah peradilan di negeri ini kembali tercoreng dengan tertangkapnya Setyobudi Tejocahyono oleh KPK. Wakil Ketua PN Bandung ini ditangkap karena diduga menerima uang suap senilai Rp 150 juta terkait dengan perkara yang ditanganinya.
Tertangkapnya hakim tersebut telah menambah panjang daftar hakim yang menerima suap. Sebelumnya, H Syarifuddin Umur, Kartini Juliana, Magdalena Marpaung, dan Heru Kisbandono ditangkap oleh KPK karena menerima suap. Oknum hakim tersebut kasusnya telah divonis oleh pengadilan. Peristiwa tersebut juga menjadi tamparan keras bagi dunia peradilan yang sedang giat-giatnya melakukan reformasi birokrasi.
Kasus penyuapan ini menginsyaratkan betapa pentingnya pendidikan hukum dan moral terhadap para hakim dan masyarakat. Bagaimana tidak? Pejabat yang semestinya berada di garis depan dalam pemberantasan suap, gratifikasi, dan korupsi justru terlibat dan menjadi aktornya.
Penyuapan terhadap penegak hukum, termasuk hakim, agaknya telah menjadi jalan hidup sebagian orang di negeri ini, khususnya birokrat, elite politik, dan sebagian masyarakat. Saking lazimnya, siapa pun sulit memberantasnya, termasuk KPK, tanpa keberanian dan sikap tanpa pandang bulu serta dengan dukungan masyarakat.
Suap adalah adanya janji, iming-iming, atau pemberian keuntungan oleh seseorang kepada pejabat atau pegawai, langsung atau tidak langsung, dengan maksud agar pejabat itu berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan tugasnya yang sah. Suap terhadap hakim tentu tujuannya adalah-dalam kasus perdata-agar perkaranya dimenangkan di pengadilan.
Penangkapan hakim yang diduga menerima suap itu patut disesalkan. Terlebih lagi, kasus itu terjadi setelah kenaikan tunjangan hakim yang cukup signifikan. Seorang hakim seperti Setyobudi Tejocahyono yang sekaligus menjabat wakil ketua Pengadilan Negeri, dengan tunjangan hakim yang baru itu, dia akan menerima gaji tidak kurang dari Rp 20 juta per bulan.
Praktik suap-menyuap di negeri ini telah “membudaya”, mulai dari kasus tilang di jalan raya, penerimaan siswa maupun mahasiswa baru, penerimaan pegawai, penerimaan polisi, dan lain-lain. Dalam Islam, suap memiliki sejarah yang cukup panjang.
Nabi Muhammad SAW pernah mengangkat Ibn al-Lutaibah sebagai petugas pemungut zakat di Bani Sulaim. Setelah pulang melaksanakan tugasnya tersebut, Lutaibah langsung menghadap Rasulullah melaporkan tugas yang diembannya. Tanpa pretensi apa-apa, Lutaibah berkata, “Ini zakat yang saya pungut, dan ini hadiah yang diberikan kepada saya.”
Nabi dengan nada marah bersabda, “Jika apa yang kau lakukan itu benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu sampai hadiah itu mendatangimu.” Tanpa banyak bicara, Nabi Muhammad SAW langsung berjalan menuju mimbar kemudian berkhotbah kepada para jamaah, “Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah telah mempertanggungjawabkan kepadaku. Demi Allah, tidak boleh ada di antara kalian yang mengambilnya tanpa hak, kecuali dia bertemu Allah dengan membawa (siksa dari) seperti unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik,” kata Nabi.
Kisah ini disampaikan oleh Abu Hamid As-Sa'idi dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Bagi Rasulullah SAW, hadiah yang diterima oleh petugas (pemungut zakat, pejabat, hakim, jaksa, polisi, atau siapa pun) selain gaji resmi dan sah sama saja dengan suap.
Ada teologi keadilan yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW ketika beliau hendak disuap lewat putra angkatnya, Zaid bin Tsabit, oleh sekelompok suku ningrat/bangsawan yang salah satu anggota keluarganya terbukti mencuri. Beliau bersabda, “Yang membuat rusaknya umat (bangsa) pada masa sebelum kamu adalah kalau yang mencuri itu orang miskin hukum diberlakukan kepadanya. Tapi, kalau orang yang kaya yang mencuri, hukum tidak diberlakukan kepadanya. Demi Allah, seandainya Fatimah, putri Muhammad, mencuri, pasti akan aku potong tangannya.”
Kejahatan moral
Suap secara universal diartikan sebagai kejahatan moral, perbuatan yang tidak wajar, noda yang mengindikasikan suatu kerusakan integritas, kebajikan, atau asas-asas moral. Kriminalisasi terhadap tindak pidana suap mempunyai alasan yang kuat, yakni karena suap adalah kejahatan, itu telah dipandang sebagai kejahatan yang luar biasa atau tergolong extraordinary crime, yang memiliki sifat kriminologin (dapat menjadi sumber kejahatan lain), dan viktimogen (secara potensial dapat merugikan berbagai dimensi kepentingan).
Di Indonesia, masalah suap dan korupsi telah diatur secara tegas dalam berbagai regulasi. Mulai dari TAP MPR No XI/MPR/1998 sampai Undang-Undang No 30 Tahun 2002. Ancaman hukumannya sudah jelas dan tegas. Jadi, yang kita butuhkan sekarang adalah kemauan dan aksi konkret pemerintah dan para penegak hukum untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus berani dan tidak mengenal kompromi dalam memberantas korupsi. Tentu masyarakat juga harus memberikan dukungan terhadap tugas-tugas KPK. Kerja sama KPK dan MA untuk mengawasi hakim nakal perlu mendapat apresiasi dari semua pihak.
Hakim Pengadilan Agama Mojokerto dan Staf Pengajar STAI Zainul Hasan