Rabu 19 Jun 2013 18:34 WIB

Bertutur dalam Optimisme: Kaleidoskop Siswa

Mentri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh memeriksa barang bukti kasus tawuran pelajar. (Republika/Adhi Wicaksono)
Mentri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh memeriksa barang bukti kasus tawuran pelajar. (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fauzan Anwar Sandiah

Anarkisme, kekerasan, seks, dan sistem pendidikan adalah empat variabel yang paling banyak muncul ke permukaan jika membahas persoalan siswa karena pada saat yang bersamaan mereka dapat menjadi korban sekaligus pelaku.

Mengambil jangka waktu tiga tahun terakhir, 2011 sampai 2013 terdapat sejumlah fakta yang perlu kita bongkar dan selesaikan mengenai masalah aktual dunia Pendidikan kita.

Keempat topik pokok tersebut dapat terbagi ke dalam beberapa garis besar contoh kasus yang muncul di media dua sampai tiga tahun terakhir. Anarkisme dan kekerasan adalah topik yang paling sering muncul.

Anarkisme misalnya dapat berkisah mengenai tawuran, pembangkangan, pengrusakan fasilitas sekolah, dan kekerasan dapat berkisar pada kasus bully, pemerkosaan hingga pembunuhan. Sedangkan seks, adalah permasalahan klasik dunia pendidikan yang berkisar soal seks bebas, hingga bentuk yang “mutakhir” sekarang adalah siswa menjadi PSK dan siswa menjadi mucikari.

Anarkisme

Menjelang akhir tahun 2012, korban tawuran sesama siswa pada September hingga Desember 2012 adalah Alawi Yusianto Putra (SMAN 6), Jeremy Hasibuan (SMA Kartika), Jasuli (SMPN 6 Jakarta), Dedi Triyuda (SMK Baskara), Ahmad Yani (SMK 39 Cempaka Putih).  Pada 15 Mei 2013, kasus Wahyudi Kurniawan (19 tahun) siswa SMKN 35, Jakarta Barat yang meninggal karena terkena celurit setelah tawuran seakan kembali mengingatkan kita kepada para korban-korban meninggal sebelumnya.

Penyelesaian kasus anarkisme di kalangan siswa masih belum tuntas. Pernyataan-pernyataan individu dari anggota DPR masih terbukti belum dapat di implementasikan secara kongkrit. Aksi mediasi polisi pada kasus SMAN 6 dan SMAN 70 misalnya, masih memerlukan tindakan yang lebih lanjut.

Anarkisme siswa memang bukan masalah baru. Anarkisme yang muncul dalam bentuk tawuran, pembangkangan terhadap aturan, dan tindakan-tindakan sadisme mungkin tidak akan pernah selesai. Anarkisme siswa adalah representasi dari apa yang kita sebut sebagai mekanisme pertahanan diri.

Manusia secara umum mengambil sejumlah bentuk tindakan berdasarkan pada keputusan-keputusan yang dibuat atas dasar analisisnya terhadap lingkungan dan faktor internal dalam diri sendiri karena kebutuhan untuk mempertahankan diri. Anarkisme siswa juga dapat dilihat sebagai celah dari sistem sosial masyarakat yang masih membiasakan diri dengan tindakan kekerasan sebagai jalan pintas menyelesaikan persoalan.

Kekerasan dan Sadisme

April 2013, Priya Puspita Restanti (16 tahun) siswi SMK YPKK, Sleman, DIY ditemukan sudah tidak bernyawa dalam kondisi membusuk. PPR adalah korban pemerkosaan yang dilakukan oleh sekelompok remaja beserta dua orang pria dewasa.

Kasus kekerasan dan sadisme juga menimpa Septiana Pangesti (16 tahun) siswi kelas 9 Kalimanah, Purbalingga pada Januari 2013 yang dibunuh dan dikubur oleh rekannya, RAS (16 tahun) warga desa Karangsari, Kalimanah. Maret 2013, juga sebuah kasus pemerkosaan dialami NR (15 tahun) di Jakarta Timur.

Dalam kasus kekerasan dan sadisme, pelaku juga bisa berasal dari lingkungan keluarga, Vicky Riska Suparmin (9 tahun) dibunuh oleh ibu kandungnya, dan ada M (16 tahun) warga desa Tulakan, Sine, Ngawi, Jawa Timur yang diperkosa dan dibunuh oleh bapak kandungnya sendiri.

Di Indonesia, terdapat sekitar 3.969 kasus kekerasan dan pemerkosaan siswa antara tahun 1999-2002, dengan rincian; kekerasan seksual (65.8 %), kekerasan fisik (19.6 %), kekerasan emosional (6.3 %), dan penelantaran anak (8.3 %) sedangkan yang terbaru, pada tahun 2012, terdapat sekitar 2.637 kasus yang berasal dari pengaduan anak atas kekerasan termasuk 62 % diantaranya adalah kekerasan seksual (Kedaulatan Rakyat, Nurlaili, 2013).

Seks Anak Bau Kencur

8 Juni 2013, mucikari bernama NA (15 tahun) ditangkap oleh pihak berwajib di salah satu hotel yang ada di Surabaya Selatan. NA adalah Siswi kelas VIII salah satu SMP Swasta di Gubeng. NA ditangkap bersama dengan DA (17 tahun), DL (16 tahun) dan NR (17 tahun) Siswi SMK swasta kelas X. April 2013, polisi menangkap N, seorang siswi SMP saat menjajakan diri di kawasan gang semen, Cipayung, Megamendung, Bogor.

Topik seks dalam konteks siswa tidak lagi sekedar pada topik seperti seks bebas. Seks, sekarang dimanfaatkan sebagai media alternatif untuk mendapatkan pemasukan finasial. Meningkatnya kebutuhan finasial siswa sebagai remaja dalam konteks sosial menyebabkan mereka menempuh cara-cara instan. Kebutuhan seperti hidup mengikuti tren, yang semula hanyalah bagian dari kebutuhan sekunder (bahkan mungkin tertier), sekarang berubah menjadi kebutuhan primer.

Status sosial di kalangan siswa juga berubah menjadi pemenuhan barang-barang “mewah”. Meskipun ada motif untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang mewah, seringkali kita juga menemukan siswi dengan alasan membantu ekonomi keluarga yang terjun ke dalam bisnis seks.

Mei 2013, pengakuan Eka (17 tahun) siswi SMA di Kupang, misalnya yang mengaku menjajakan diri karena terdorong untuk membantu orang tua, mungkin jika diselidik lebih jauh akan ditemukan beberapa kasus serupa di beberapa daerah di Indonesia. 

Menyesal dan mari selesaikan

Siswa adalah individu yang memiliki tiga dimensi dunia pada saat yang bersamaan. Dimensi tersebut terbagi pada dimensi keluarga, dimensi lingkungan sekolah dan dimensi masyarakat luas. Tiga masalah; anarkisme, kekerasan dan seks terjadi pada tiga dimensi siswa ini.

Oleh karenanya, masalah siswa adalah masalah kita bersama. Menyalahkan sistem pendidikan, sebagai satu-satunya dalil atas ketidakberesan siswa bukan cara yang paling mujarab. Sistem pendidikan pada akarnya juga berasal dari kesepakatan kita terhadap apa yang disebut sebagai sebuah sistem dan mekanisme. Kita sendirilah yang menciptakan sistem, maka konsekuensi logis, termasuk kegagalan-kegagalannya adalah buah tangan kita sendiri juga.

Satu-satunya cara yang dapat dilakukan secepatnya adalah dengan menciptakan kondisi komunikasi yang baik antara siswa dengan orang tua, dan lingkungan sekitar. Orang tua, guru dan masyarakat harus pro-aktif menjadi pendengar yang setia bagi siswa. Menyediakan ruang untuk berkomunikasi; mendengar keluhan mereka akan menjadi oase psikologis dan sosial bagi siswa.

Masalah-masalah yang muncul sedikitnya disebabkan oleh disfungsi komunikasi dan kurangya kepekaan masyarakat terhadap siswa. Kasus kekerasan terhadap siswa seperti yang kita lihat sejak tahun 2000 hingga 2012 masih terus tinggi. masyarakat perlu meningkatkan lagi kepekaan sosial untuk menjaga stabilitas moral.

Anarkisme, kekerasan, dan seks siswa mungkin tidak mudah dipangkas sampai ke akar-akar, akan tetapi jika tidak melakukan apapun kita berarti memang merestui kasus-kasus yang menyesakkan dada tersebut terjadi berulang-ulang dan merengut korban yang entah akan bertambah berapa banyak lagi.

Kaleidoskop ini tidak ditujukan untuk menafikan hal-hal positif mengenai siswa. Siswa atau pelajar Indonesia sejak awal abad 19 sudah terkenal akan kecerdasannya. Pelajar-pelajar kita terbukti mampu berkompetisi bersama dengan pelajar dari Negara manapun.

Kompetisi fisika, matematika, dan inovasi teknologi sudah beberapa kali menjadi langganan para siswa Indonesia. Akan tetapi komposisi siswa kita juga ada yang tidak merasakan betapa indahnya masa bersosialisasi secara sehat saat menempuh bangku sekolah. Nah sekarang tinggal bagaimana kita mengadakan pemerataan situasi pendidikan yang ramah siswa ke seluruh Indonesia, sehingga muncul “laskar pelangi” yang tidak mengutuk nasib saja.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement