REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Achmad Zamroni
Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dengan kebinekaan masyarakatnya dalam hal suku, bangsa, bahasa, dan ras, umat Islam di Indonesia pun memiliki kebinekaan, namun bukan berdasarkan suku bangsa ataupun ras, melainkan berdsarkan organisasi.
Umat Islam di Indonesia mempunyai berbagai organisasi masyarakat dengan corak pemahaman agama yang berbeda-beda pula, misalnya HTI, Persis, NU, Muhammadiyah, Majelis Mujahiddin, dan lain-lain. Dari berbagai ormas tersebut, NU dan Muhammadiyahlah yang paling mendominasi mayoritas muslim di Indonesia.
Dengan usia NU yang sudah lebih dari 87 tahun dan Muhammadiyah yang sudah lebih dari 100 tahun, dua organisas ini menjelma menjadi organisasi islam terbesar dan merupakan sumber kekuatan umat islam Indonesia.
Namun dibalik kekuatan umat islam Indonesia yang begitu besar tersebut, tersimpan satu kelemahan yang cukup besar pula. Kelemahan ini terlihat ketika menjelang bulan suci Ramadhan, Indul Fitri, dan Idul Adha. Dalam tiga waktu tersebut, umat islam dari kalangan NU dan Muhammadiyah sering kali terlibat perbedaan pendapat dalam penentuan waktunya.
Dalam kasus-kasus tersebut, pemerintah melalui Kementrian Agama berusaha menjadi pihak yang menengahi perbedaan tersebut. Namun upaya yang dilakukan pemerintah melalui sidang Itsbat tersebut sering menemui jalan buntu, bahkan justru semakin menimbulkan kekisruhan di antara umat islam dari dua ormas tersebut karena sering kali Kementrian Agama terlihat memihak pada salah satu ormas islam tersebut.
Perbedaan penentuan awal bulan Ramadhan, awal bulan Syawal, dan 10 Dzulhijah tersebut disebabkan karena perbedaan metode pengamatan yang digunakan. Muhammadiyah menggunakan metode hisab, sedangkan NU menggunakan metode rukyat. Dilihat dari segi dalil Al Qur’an dan Haditsnya, sebenarnya dua metode ini sah untuk digunakan.
Metode rukyat memiliki dalil dari QS. Al Baqarah ayat 185 dan banyak Hadits Rasulullah yang menggunakan redaksu “rukyah”. Sedangkan metpde hisab memiliki dalil dalam QS. Yunus ayat 5, QS. Ar Rahman ayat 5 dan beberapa ayat Al Qur’an lain yang menggunakan redaksi “hisab” dalam berbagai variasi bentuk katanya, serta hadis Rasulullah yang menjelaskan bahwa umat Rasulullah pada waktu itu adalah umat yang ummi (tidak dapat membaca dan berhitung) sehinnga metode rukyat digunakan.
Dari argumen tersebut dapat dipahami bahwa metode hisab maupun rukyat sah-sah saja bila digunakan untuk menentukan waktu. Namun jika kita melihat dari ilmu pengetahuan, maka metode yang lebih tepat untuk digunakan sesuai dengan konteks sosial dan geografis masyarakat saat ini adalah metode hisab.
Hal ini dikarenakan jika ditinjau dari sisi ilmu pengetahuan, metode hisab memiliki beberapa kelebihan, antara lain metode hisab memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi, dapat digunakan untuk membuat sistem penanggalan kalender qamariyah, dan dapat menyatukan sistem penanggalan sehingga perayaan momen-momen tertentu bisa serentak. Jadi, metode hisab dan rukyat memang sama-sama didukung oleh dalil Alquran dan Hadis yang shahih, namun metode hisab juga diperkuat dengan dukungan dalil ilmu pengetahuan yang lebih kuat.
Melihat beberapa argumen dan situasi umat Islam di Indonesia saat ini, metode hisab dan rukyat sebenarnya tidaklah perlu dipertentangkan, tidak perlu mengklaim metode mana yang paling benar karena kedua metode tersebut sebenarnya saling melengkapi dan bisa disatukan.
Tidak tepat bila hanya metode rukyat saja yang digunakan karena metode tersebut memiliki beberapa kelemahan yang dapat diatasi dengan metode hisab. Namun bila dalam hal ini masing-masing ormas yang mengaku sebagai pemilik metode tersebut tidak dapat disatukan, maka biarlah mereka menggunakan metodenya masing-masing selama masih dalam koridor dua metode tersebut.
Kementreian Agama boleh saja mengeluarkan keputusan penetapan waktu awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, namun jangan dianggap ormas lain yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah tersebut dianggap menentang dan tidak patuh pada pemerintah karena pada dasarnya dua metode tersebut sah digunakan.
Selain itu, permasalahan ini masuk dalam wilayah furu’iyyah sehingga tidak terlalu perlu untuk dibesar-besarkan bahkan sampai menimbulkan konflik.
Kementerian Agama seharusnya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa perbedaan dalam hal semacam ini hendaknya disikapi secara bijaksana dan harus tetap menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam antar ormas.
Umat Islam di Indonesia hendaknya tidak mudah terpecah belah dengan kondisi perbedaan yang ada. Jangan sampai umat yang begitu banyak justru hancur karena perpecahan internal disebabkan karena perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah.
Umat yang banyak harus didukung dengan kualitas yang baik dan ikatan persatuan yang kokoh sehingga kontribusi umat Islam dalam memajukan bangsa dan negara akan semakin terlihat dan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Mahasiswa Semester 4 Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta