Rabu 23 Jul 2014 14:16 WIB

ISIS Bukan Syiah atau Suni

Jusuf Kalla dan Mahmoud Farazandeh
Foto: Prayogi/Republika
Jusuf Kalla dan Mahmoud Farazandeh

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mahmoud Farazandeh

Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia

Para ulama dan Muslimin sejak 1400 tahun yang lalu telah melakukan penelitian dan pendalaman terhadap dasar-dasar fikih, ajaran, dakwah, dan beragam hal yang berhubungan dengan agama suci Islam dan mengingat Islam merupakan agama samawi yang terakhir untuk manusia dan Nabi Muhammad merupakan nabi terakhir yang diturunkan, maka pendalaman agama Islam sampai akhir zaman akan terus berlanjut.

Di tengah-tengah ulama yang menghabiskan hidupnya untuk mendalami Alquran, syariat Islam dan sunah nabi tidak ada satu pun yang berfatwa tentang penolakan terhadap akidah-akidah mazhab besar Islam atau berfatwa untuk membunuh sesama saudara Muslim yang berasal dari mazhab lain. Risalah Amman yang ditandatangani oleh 552 ulama dari seluruh dunia, serta fatwa-fatwa ulama-ulama besar Al-Azhar, Qom, dan Najaf semua merupakan bukti atas kenyataan tersebut di atas.

Setelah kemenangan Revolusi Islam Iran pada 1979, mengingat terdapat berbagai suku, ras, dan pengikut mazhab-mazhab besar Islam di Iran, maka para musuh revolusi mencoba untuk memecah belah persatuan bangsa dan negara dengan cara adu-domba/menciptakan konflik horizontal antara berbagai golongan yang ada di masyarakat.

Namun, kesadaran pemimpin revolusi dan masyarakat membuat pihak musuh gagal mencapai keinginannya. Setelah kegagalan tersebut, negara-negara hegemonik mencoba untuk mengganggu stabilitas dan persatuan masyarakat Iran melalui cara lain, yaitu mendorong rezim Saddam Husein menyerang Iran dan memaksakan perang selama delapan tahun. Lagi-lagi kesadaran Iran yang berangkat dari persatuan mereka membuahkan hasil dan para serdadu bangsa berhasil menyelamatkan negara.

Ini bukan akhir usaha negara-negara hegemoni untuk mengganggu stabilitas kawasan. Mereka yang sebelumnya mendirikan kelompol Alqaidah dengan tujuan memerangi rezim Uni Soviet dengan mengedepankan ideologi ekstremisme, setelah runtuhnya rezim ini dan juga serangan 11 September tidak mempunyai kegunaan lagi.

Negara-negara yang sebelumnya menciptakan Alqaidah di Afghanistan, kini untuk menghadirkan serdadu mereka di kawasan, menyuarakan perang melawan Alqaidah. Perang terhadap Irak dan menjatuhkan rezim Saddam Husein di negara tersebut juga merupakan bagian dari rencana negara-negara hegemonik untuk menguasai kawasan timur tengah.

Rezim Saddam Husein yang kehadirannya diperalatkan oleh rezim-rezim hegemonik pada dekade 80-an dengan menyerang Republik Islam Iran, hampir saja dijatuhkan oleh sebuah gerakan revolusioner dari masyarakat Irak. Akan tetapi, serangan negara ini terhadap Kuwait yang kemudian dilanjutkan oleh operasi beberapa negara untuk membebaskan Kuwait, menunda jatuhnya rezim Saddam Husein.

Setelah perkembangan ini, rezim Saddam Hussein melanjutkan kekuasaannya selama 13 tahun. Pada akhirnya, serangan 11 September, perang melawan Alqaidah serta tuduhan kepemilikan senjata pemusnah masal mempersiapkan wadah untuk jatuhnya rezim tersebut.

Setelah runtuhnya rezim Saddam Husein, masyarakat negara ini berkali-kali melalui proses pesta demokrasi memilih pemimpin. Belakangan ini bangsa Irak melalui sebuah pemilihan umum yang sukses memilih pejabat tinggi negara.

Berjalannya demokrasi secara mulus di Irak tentu saja membuat para musuh umat Islam yang tidak gembira dengan kemajuan bangsa Irak, mengarahkan kelompok garis keras dan ekstremisme bernama "Islamic State of Iraq and Syria - ISIS" ke negara ini.

Kelompok tersebut yang pendekatannya sama sekali jauh berbeda dari nilai-nilai Islam dan kemanusiaan berhasil menduduki beberapa kota dari negara Irak dengan melakukan pembunuhan dan pembasmian terhadap umat Muslim negara tesebut.

Apa ISIS dan berasal dari mana?

Perubahan nama kelompok Alqaidah ke kelompok-kelompok bagian dari Alqaidah yang mengandung nama menyeluruh "pengikut mazhab Suni yang radikal" adalah tema yang diangkat oleh media-media Barat sejak 1981.

Hal ini terjadi di mana pada kenyataannya anggota kelompok tersebut adalah orang-orang Arab dan non-Arab yang menamakan diri sebagai Muslim dan mereka diperalat oleh negara-negara hegemonik dengan tujuan-tujuan tertentu.

Propaganda media-media Barat untuk menamakan kelompok garis keras ini sebagai kelompok pembela kaum Suni dimulai pada saat kelompok-kelompok teroris di Suriah gagal mencapai keberhasilan untuk menguasai negara tersebut.

Maka, negara-negara hegemonik yang memegang andil atas kelompok garis keras tersebut mengarahkan mereka ke Irak dengan nama yang baru, yaitu ISIS. Kelompok ini hanya mengincar kepentingan Barat, yaitu mendapat andil atas bangsa Irak dan menguasai kekayaan nasional negara besar ini.

Masyarakat kawasan kini dihadapkan pada fitnah negara-negara Barat yang bernama pertikaian antara pengikut berbagai mazhab Islam. Henry Kissinger (mantan menteri luar negeri Amerika) setelah kekalahan negaranya dalam perang Vietnam menyuarakan sebuah pendekatan baru terhadap negara-negara benua Asia di mana dalam pendekatan ini para penduduk Asia harus diadu domba untuk membunuh satu sama lain.

Terlihat dengan jelas bahwa para musuh umat Muslim di dunia tidak memikirkan tentang kemajuan negara-negara kawasan dan proses demokrasi di negara-negara tersebut. Mereka hanya mementingkan kepentingan mereka dan rezim Zionis Israel dengan menyebarkan fitnah di antara berbagai kalangan umat Muslim.

Tidak ada ajaran fikih, ritual agama, ayat kitab suci Alquran, dan hadis yang membenarkan pembunuhan manusia-manusia tidak berdosa. Pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ISIS bertentangan dengan ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan persaudaraan.

Iran sangat prihatin atas penyebaran terorisme di dunia, khususnya berbagai bentuk kekerasan yang menamakan diri sebagai gerakan agamis. Dan, ini adalah alasan mengapa Teheran melalui Presiden Hasan Rouhani mengusulkan Dunia Menentang Kekerasan dan Ekstremisme (World Against Violence and Extremism/WAVE) pada sesi ke-68 Majelis Umum PBB di New York, di mana seluruh negara anggota PBB secara bulat menyetujui usulan tersebut.

Penulis berpendapat bahwa kerja sama antara berbagai negara dunia dan konteks WAVE dapat menjadi jalan keluar yang menyeluruh bagi berbagai gerakan kekerasan dan ekstremisme disebabkan perang melawan kekerasan dan ekstremisme adalah perang yang bersifat kolektif.

Persatuan adalah kunci, kunci yang dapat melawan penyebaran beragam bentuk fitnah di antara umat Muslim. Semoga semangat bulan suci Ramadhan dapat mengantarkan kita semua ke persatuan abadi. Amin.

sumber : Harian Republika, 22 Juli 2014
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement