REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Asep Sapa’at, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Karakter Guru di Character Building Indonesia
Pikiran saya menerawang. Dalam implementasi kurikulum di Indonesia, selama ini yang tampak hanya rutinitas. Tanpa data riset yang memadai, kurikulum tiba-tiba mesti diganti. Di tengah kegaduhan dalam masa persiapan, guru tak diajak diskusi dan diberi ruang untuk sumbang pemikiran terkait pengalaman terbaik mereka sebagai eksekutor kurikulum di lapangan. Yang pro perubahan kurikulum berdaulat, yang kontra dikucilkan. Jelang kick off tanggal 14 Juli 2014, ribuan guru dilatih dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Terbitlah buku paket dan panduan kurikulum yang hadir saling berkejaran dengan waktu penerapan yang makin mepet. Apa sesungguhnya yang diharap dari hadirnya kurikulum 2013?
Di Indonesia, telah dilakukan beberapa kali pembaharuan kurikulum, yaitu tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, & 2006. Menurut Prof. Dr. Dedi Supriadi (2004), perubahan kurikulum ada dua jenis, perubahan berskala besar dan kecil. Perubahan kurikulum dari tahun 1975 sampai 2004 merupakan perubahan kurikulum berskala besar. Terjadinya perubahan struktur & materi kurikulum jadi penandanya. Pun yang terjadi dengan perubahan dari kurikulum 2006 menjadi kurikulum 2013. Perubahan tersebut membawaserta perubahan pada berbagai aspek & dimensi pendidikan, seperti guru, sarana penunjang khususnya buku-buku teks, kegiatan belajar-mengajar, evaluasi, dan peserta didik beserta orangtuanya. Hampir dapat dipastikan perubahan yang bersifat komprehensif & berskala besar cenderung mengubah arah & orientasi praktik pendidikan di semua tingkatan, khususnya di tingkat sekolah.
Sayangnya, perubahan kurikulum dalam skala kecil belum pernah dilakukan. Perubahan pada skala mikro lebih mengandalkan pada pengalaman para guru dan praktisi pendidikan dalam menerapkan kurikulum. Cirinya, sambil kurikulum berjalan sambil terus diperbaiki. Dampaknya tidak bersifat menyeluruh & mendadak. Guru punya ruang kreativitas yang cukup leluasa untuk mengeksplorasi penerapan kurikulum pada lokasi & konteks sekolah yang berbeda-beda. Tanya pemerintah, mengapa opsi memperbaharui kurikulum dalam skala kecil tak pernah jadi pilihan kebijakan?
Dalam konteks pengambilan kebijakan, Sheldon Shaeffer—Dalam makalahnya berjudul Educational Change in Indonesia: A Case Study of Three Innovations-- pernah mengatakan bahwa orang Indonesia ‘tak membaca’ kajian dan hasil penelitian kebijakan pendidikan. ‘Tak membaca’ maknanya bersayap. Apakah pengambil kebijakan kita tak mau atau tak mampu belajar dari keberhasilan dan kegagalan masa lalu untuk menetapkan kebijakan terkini. Jika tak mampu, mestinya belajar. Jika tak mau, inilah persoalan serius para pengambil kebijakan di bangsa kita. Mengancik pada pernyataan Shaeffer, saya berani katakan kurikulum 2013 adalah program 2P, ‘Pamer Kekuasaan’ dan ‘Pelestarian Kejumudan’.
Atas nama kekuasaan, seluruh guru Indonesia dipaksa harus siap terapkan kurikulum 2013. Guru yang patuh pada pimpinan tak kuasa untuk mengatakan belum atau tidak siap. Inti masalahnya, apakah para guru sudah paham dan terampil praktikkan kurikulum 2013 di ruang-ruang kelas?
Survei Kompas (13 Mei 2013) tentang Guru dan Kualitas Pendidikan Nasional 2013 bisa dijadikan salah satu bahan refleksi. Para guru SD-SMP belum memiliki pemahaman memadai tentang kurikulum 2013. Dalam aspek konseptual, lebih dari separuh responden guru belum mengetahui perbedaan muatan isi antara kurikulum 2006 dan kurikulum 2013. Karena buta konsep, hampir separuh guru tidak paham teknis menjabarkan materi kurikulum 2013 ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Akhirnya, di tataran operasional hampir separuh guru mengaku bingung bagaimana cara mengajar dengan pendekatan tematik integratif. Yang mengkhawatirkan, faktor usia dan ‘jam terbang’ guru berbanding terbalik dengan tingkat pengetahuan guru terhadap kurikulum 2013. Makin lama masa kerja guru, maka tingkat pengetahuan terhadap kurikulum baru justru makin rendah. ‘Guru senior’ kadung terjebak di zona nyaman. Tingkat resistensi terhadap perubahan sangat tinggi.
Memang Kemdikbud tak pandai membaca tanda-tanda zaman. Mengubah pola pikir guru yang kadung stagnan tak bisa diatasi dengan pelatihan guru yang serba instan dan mendadak. Guru bisa diajak berubah ketika aspek ‘WHY’ bisa dipahamkan pada diri guru tentang landasan perubahan kurikulum 2013. Bukan langsung bicara ‘WHAT’ dan ‘HOW’. Karena efek pelatihan berlangsung singkat, guru pun bisa setengah-setengah dalam memahami teori konseptual dan bagaimana kurikulum 2013 diterapkan di kelas. Konsekuensi logisnya, fokus perubahan kurikulum yang esensial terabaikan. Apa itu? Kualitas pembelajaran siswa. Guru gagal mengajar, murid tak bisa belajar. Pesan sarat hikmah buat guru, “You can not give what you do not have”. Apa yang bisa diberikan kepada murid jika guru tak paham makna perubahan kurikulum dan esensi mengajar?
Mungkinkah kurikulum 2013 mampu kembangkan kreativitas siswa? Impossible. Mana mungkin guru bisa kreatif ketika semua guru masih ‘disuapi’ dengan dokumen kurikulum dari pusat. Mengapa pula penulisan buku teks pelajaran tak diserahkan kepada guru? Idealnya guru diberi kesempatan untuk berkolaborasi dalam program pengembangan profesional secara berkelanjutan. Produk buku (buku paket pelajaran, lembar kerja siswa, dsb) bisa dijadikan salah satu output dari program pengembangan profesional tersebut. Semboyan ‘dari guru oleh guru untuk guru’ digelorakan. Bukan sekadar proyek penerbitan dan percetakan buku yang dimonopoli pusat. Tapi produk kebijakan yang didesain untuk mendorong guru kreatif berkarya tulis secara kolaboratif. Yang jadi soal, apa mungkin ide-ide pengembangan seperti ini digagas dan dilakukan tergesa-gesa dan berbasis proyek jangka pendek?
Memang sejak ide perubahan kurikulum 2013 digagas, praktis guru nihil peran dan kontribusi. Bukannya guru tak mau sumbang saran, tapi tak ada ruang karena khawatir sarannya dianggap ‘sumbang’ oleh pengambil kebijakan. Pameran kekuasaan dan pelestarian kejumudan mewarnai lahirnya kurikulum 2013. Pamer kekuasaan menempatkan guru terposisi sebagai objek bukan subjek perubahan. Sedangkan kejumudan dipamerkan lewat pola pengambilan kebijakan yang selalu top down dan tak menghendaki guru jadi sosok yang lebih cerdas dan kreatif. Ketika kurikulum 2013 dianggap gagal, mustahil Kemdikbud berani pamerkan kegagalannya. Tradisinya, jari telunjuk lebih sering mengarah pada sosok guru yang kerap jadi kambing hitam. Jika situasinya sudah sepelik ini, kepada siapa lagi guru harus mengadu?