REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley, founder IndoSterling Capital
Demam batu akik sedang melanda Indonesia. Di sepanjang jalan, pertokoan, pusat perbelanjaan, kios-kios batu akik menjadi semakin banyak ditemukan. Pamor batu akik itu juga kian mendunia setelah dijadikan suvenir kepada para tamu undangan yang hadir di Konferensi Asia Afrika (KAA) belum lama ini.
Ratusan liontin batu akik, tepatnya Batu Pancawarna asal Garut, sudah diberikan. Batu pancawarna ini tidak sembarang dipilih karena memang termasuk batu mulia yang sangat langka. Pancawarna juga dianggap menjadi simbol Bhinneka Tunggal Ika karena kilaunya yang beraneka warna menjadi satu kesatuan dalam bentuk liontin yang indah.
Siapapun pasti akan berdecak kagum melihat keindahan batu pancawarna ini, tak terkecuali para pemimpin negara di dunia. Tak hanya kilaunya yang indah, batu pancawarna ini juga bisa menjadi sebuah simbol besarnya potensi yang dimiliki Indonesia.
Melalui liontin pancawarna, Indonesia seakan memberi pesan tentang keindahan perjalanan perkembangan perekonomian kepada para kepala negara yang hadir. Perkembangan yang pesat selama 60 tahun terakhir atau sejak KAA kali pertama dihelat pada 1955 lalu dapat dilihat mulai dari pintu gerbang dunia di Bandara Soekarno Hatta dengan padatnya penumpang pesawat. Menandakan betapa kian bertumbuhnya kelas menengah di negeri kepulauan ini.
Indonesia kini adalah negara dengan 250 juta penduduk, dengan tingkat pertumbuhan ekononomi hampir 6 persen dalam 5 tahun terakhir. PDB Indonesia sudah menyentuh Rp 10.542,7 triliun pada 2014. Angka itu menempatkan Indonesia dalam 10 besar negara-negara dengan PDB terbesar di dunia. Peringkat tersebut juga melesat jika dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya di posisi ke-16.
Tak hanya potensi sumber daya alam dari kekayaan tambang, perkebunan, dan pertanian, potensi ekonomi maritim bahkan ditaksir bisa mencapai 1,2 triliun dolar AS. Belum lagi melihat besarnya potensi pasar konsumer dengan perkembangan kelas menengah Indonesia yang meningkat pesat. Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan kelas menengah Indonesia yang sangat signifikan sejak tahun 1980-an. Sebanyak lima dari 10 penduduk Indonesia berada dalam kategori kelas menengah.
Potensi besar ini tentunya harus terus dipromosikan. Tujuan utamanya tentu saja menstimulasi para investor untuk semakin berbondong-bondong masuk ke Indonesia. Tentunya, kehadiran investor itu tak hanya gemar menggelontorkan dana di instrumen portfolio tapi juga investasi secara riil. Penjelasan potensi itu juga harus diikuti dengan penjabaran perbaikan iklim investasi agar investor semakin tertarik.
Paling tidak, Indonesia kini sudah memiliki Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk menyederhanakan izin investasi. PTSP ini merupakan salah satu kunci keberhasilan investasi karena memangkas perizinan yang bertele-tele menjadi one stop service. Investor cukup mengurus melalui PTSP dan tidak harus melalui loket-loket di berbagai instansi bahkan menjelajah daerah-daerah kepulauan Indonesia yang belum tertata infrastrukturnya.
Disinilah momentum bagi Indonesia melakukan diplomasi ekonomi. Tak hanya demi kepentingan Indonesia, tetapi juga kepentingan negara-negara Asia Afrika. Apalagi, KAA 2015 yang telah berakhir itu mengangkat tema yang berkaitan dengan mendorong kualitas kesejahteraan negara-negara Asia Afrika.
Tentunya, Indonesia harus mampu mendorong kerja sama lebih nyata dengan negara-negara Asia Afrika. Sejauh ini, negara-negara di kedua benua ini memiliki potensi yang sangat besar. Lihat saja dari jumlah populasi penduduknya. Sebanyak 75 persen penduduk dunia tercatat berada di Asia Afrika. Menariknya lagi, ada sekitar 1 miliar warga Asia Afrika itu berasal dari kelas menengah. Kemudian total PDB kawasan ini mencapai 21 triliun dolar AS, atau sepertiga dari PDB dunia. Lantas lebih memikat, beberapa negara KAA masuk dalam 10 besar negara dengan PDB terbesar dunia seperti Cina, India, Indonesia, dan Jepang.
Jadi rasanya momentum penyelenggaraan KAA yang lalu menjadi sangat bermakna bagi negara-negara yang ada di kawasan Afrika dan Asia, khususnya Indonesia. Pemberian liontin pancawarna itu rasanya bisa menjadi sebuah tool kits untuk memasarkan Indonesia.
Tak ketinggalan, makna dari pemberian liontin batu akik ini memiliki nilai strategis juga bagi para pelaku usaha kecil menengah (UKM) negeri ini untuk menggarap pasar luar. Bukankah demam batu akik yang tengah mengharu biru di negeri ini semakin menambah para pelaku UKM? Di sinilah peran penting yang terselip. Ibarat pepatah, apa yang dilakukan pemerintah kali ini bagaikan sambil menyelam minum air.
Mari kita sampaikan bahwa Indonesia sekarang ini sudah berbeda dari Indonesia 60 tahun silam. Perjalanan Indonesia mungkin sudah melewati proses seperti liontin pancawarna yang indah itu. Dari sebuah bongkahan batu, dipotong, dibentuk, digosok, dan dipoles hingga menjadi sebuah liontin pancawarna yang sangat indah. Demikian pula Indonesia yang sempat mengalami penjajahan, suksesi kepemimpinan, krisis moneter, krisis finansial, dan baru saja melewati proses demokrasi dengan aman.