REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Firman Bintang (Ketua Umum Persatuan Produser Film Indonesia/PPFI)
Saat ini ada yang tak sehat dengan industri perfilman di negeri ini. Secara bisnis, industri kreatif ini sungguh melelahkan. Bisa dibilang, menjadi seorang produser film harus berani menghadapi tekanan yang sungguh besar. Tak heran dalam beberapa tahun terakhir, cukup banyak perusahaan yang memproduksi film nasional harus gulung tikar. Ini terlihat dari jumlah PPFI yang sudah menyusut drastis, dari 200 menjadi 30 anggota saja.
Situasi itu terjadi karena tak ada jaminan bisa balik modal. Saat ini, untuk memproduksi sebuah film paling sedikit dibutuhkan modal Rp 700-800 juta. Apakah dengan modal sebesar itu sudah ada jaminan bisa untung? Inilah yang menjadi kerisauan terbesar para produser film. Jangan dulu berbicara untung. Bisa balik modal saja, rasanya sudah cukup untuk membuat tensi darah tidak meningkat.
Lantas mengapa produksi film, terutama film-film nasional, masih saja ada? Jika mau jujur, memproduksi film nasional sesungguhnya lebih bertujuan untuk menjaga eksistensi film nasional di tengah membanjirnya film-film impor di negeri ini. Mungkin terlalu berlebihan untuk menyandingkannya dengan sebuah semangat nasionalisme. Tapi memproduksi film Indonesia sesungguhnya lebih ditujukan demi menjaga kelangsungan agar industri film anak bangsa ini tidak kembali mati suri. Inilah harga diri yang terus dijaga!
Hasil yang saya temukan, dari 100 judul film dalam setahun yang diproduksi maka sekitar 70-80 judul harus ke laut. Artinya, antara modal dan penerimaan sungguh tak berimbang. Lantas sisanya, ada yang bisa balik modal dan hanya sedikit yang untung.
Mengapa kondisi ini bisa terjadi? Penyebab utamanya adalah tata edar film yang tidak adil bagi film-film Indonesia. Payung hukum yang bisa mengontrol pelaksanaan tata edar ini masih belum jelas. Padahal negeri ini sudah memiliki Undang Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman. Sayangnya, hingga kini tak ada peraturan pelaksana dari UU tersebut.
Berdasarkan ketentuan di dalam UU tersebut, setahun setelah disahkan akan dilahirkan peraturan pelaksananya. Tapi sudah hampir enam tahun berlalu, tak ada kejelasan terhadap peraturan pelaksana dari UU tersebut.
Dampak yang dihasilkan adalah ketidakjelasan dalam proses tata edar film di bioskop. Boleh dibilang, pemilik jaringan bioskop lebih berkuasa ketimbang para produser film. Jika boleh diberikan ilustrasi, film yang diproduksi dengan bujetnya hingga ratusan juta itu bisa hangus hanya dalam hitungan tiga hari saja karena film mereka sudah diturunkan dari layar bioskop.
Mari kita lihat contoh pada saat jelang Lebaran kemarin. Pada saat itu, tercatat ada empat film nasional yang tayang. Keempatnya adalah film Surga Yang Tak Dirindukan, Comic 8; Casino King Part 1, Mencari Hilal, dan Lamaran. Semuanya beredar serentak. Tapi sungguh mengenaskan, nasib film-film itu justru hanya bertahan begitu singkat di layar bioskop jaringan 21.
Penyebabnya, pada tanggal 16 Juli atau sehari sebelum Lebaran, jaringan bioskop 21 memasukkan film Ant-Man. Pada hari pertama, film Hollywood itu langsung diberikan keleluasaan mengekspansi hampir 500 layar pada hari pertama. Jumlah layar yang diberikan kepada film Ant-Man itu sangat tidak sebanding. Bahkan jika empat judul film Indonesia itu digabungkan, jumlahnya masih kalah dengan jumlah layar yang diberikan kepada satu film Ant-Man.
Implikasi yang muncul, jumlah penonton film Indonesia menjadi seret. Alih-alih jumlah penonton yang sedikit, pihak jaringan bioskop 21 akan bisa dengan mudah mencopot film Indonesia dari layar bioskopnya. Film Mencari Hilal adalah film yang paling cepat diturunkan.
Semua itu berpangkal dari tata edar film yang hingga kini tak diatur oleh aturan hukum yang jelas. Pemerintah sepertinya sangat acuh untuk memberikan perlindungan kepada para pembuat film Indonesia. Ini sungguh berbeda dengan perlakuan yang diberikan kepada para pembuat film di Malaysia. Di negeri jiran itu, film-film produksi nasional mereka diberikan kesempatan untuk bertahan selama enam hari. Lantas, jumlah layar yang diberikan pun minimal bisa mencapai 200 layar.
Bagaimana dengan di Indonesia? Hampir rata-rata, film nasional yang tayang di jaringan bioskop 21 ini tak lebih dari tiga hari. Lalu jumlah layar yang diberikan hanya separuh dari jumlah layar yang diberikan di Malaysia. Inilah ironisme yang terjadi di negeri ini.
Jadi sudah sepatutnya Presiden Joko Widodo bersama menteri terkaitnya segera bertindak. Jika tetap mengabaikan, jangan merasa sok kaget kalau industri film nasional akhirnya gulung tikar. Kami tentunya tidak menginginkan mimpi buruk itu terwujud.
Dalam waktu dekat, pihak Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) bersama anggota Sat Tunggal Perfilman -- Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia (GPBSI), KFT (Karyawan Film Televisi), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), GASFI (Gabungan Studio Film Indonesia), dan Persatuan Bioskop Keliling (PERBIKI), akan menyiapkan langkah hukum. Jika pemerintah negeri ini masih saja tetap cuek, kami sudah menyiapkan rencana untuk melakukan gugatan class action kepada pemerintah.
Semoga saja pemerintah negeri ini peduli dan mengerti terhadap nasib industri kreatif film nasional. Dengan memberikan perlindungan kepada para pembuat film Indonesia maka sesungguhnya pemerintah telah menjaga harga diri bangsa ini untuk tetap kreatif. Pak Jokowi, kami tunggu janjimu!