REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heri Gunawan
(Wakil Ketua Komisi VI DPR RI; Fraksi Partai Gerindra)
Ada yang aneh pada kasus kenaikan harga daging sapi beberapa waktu terakhir ini. Menurut laporan, harga daging sapi di pasaran sudah menembus angka 130 ribu per kg. Kenaikan tertinggi dalam 3 dekade terakhir. Ini luar biasa.
Anehnya lagi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Instansi terkait seperti Bulog terlihat sangat lamban melakukan intervensi harga. Padahal, regulasinya sudah jelas. Bahkan secara spesifik, dalam Perpres tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Penting (Bapokting), Menteri Perdagangan punya wewenang penuh untuk melakukan intervensi harga, terutama pada kondisi-kondisi tertentu dan luar biasa.
Untuk diketahui, saat ini sedang dilakukan pembatasan impor sapi. Hal itu menjadi wujud konkret perwujudan kedaulatan pangan. Pada kwartal III-2015 izin impor sapi yang sekarang ada di Kemendag hanya 50 ribu ekor. Angka itu menurun drastis dari dari kwartal sebelumnya yang mencapai 270 ribu ekor.
Pembatasan impor tersebut membuat mafia sapi dan eksportir luar menjadi was-was. Mereka terpukul karena akan kehilangan potensi omset triliunan rupiah. Hitungannya simpelnya begini : Jika harga 1 ekor sapi Australia + pengapalan, dll = Rp 10 juta, maka eksportir itu kehilangan potensi omset sebesar (270 ribu - 50 ribu) x Rp 10 juta = Rp 2,2 triliun setiap kuartal. Berarti total hilangnya omset dalam 1 tahun = Rp 2,2 triliun x 4 = Rp 8,8 triliun. Angka yang fantastis!
Tidak heran jika hilangnya potensi omset tersebut membuat mafia sapi impor, gusar. Mereka berupaya melakukan rekayasa agar pemerintah tetap IMPOR. Sinyalemen rekayasa itu makin kuat. Mafia-mafia itu sedang berusaha memainkan harga hingga mencapai angka tertinggi seperti sekarang.
Secara sengaja mereka mendistorsi pasokan. Targetnya jelas: menciptakan situasi yang seolah-olah situasi makin kritis, dan kemudian "memaksa" Kemendag, melakukan intervensi radikal: impor.
Rekayasa mafia itu terstruktur. Modus yang mereka mainkan macam-macam : dari mulai memainkan harga beli sapi di peternak serendah mungkin, hanya berkisar Rp 25-30 ribu per kilo, memotong sapi betina bunting untuk dijual di pasar, dll. Peternak sapi tidak pilihan sama sekali selain menjual sapi mereka dengan harga yang murah. Lebih-lebih di saat musim kemarau seperti sekarang, di mana pakan ternak sulit didapat.
Kenyataan di lapangan harga sapi di beberapa daerah masih murah bahkan peternak masih kesulitan jual sapi di pasar, kalau ada yang mengatakan Para Peternak Sapi menahan tdk jual sapi menunggu Hari Raya Qurban. Itu pernyataan keliru, di beberapa pasar di daerah jawa tengah harga sapi masih wajar bahkan kecenderungan sepi tidak ada pembeli karena daya beli menurun, tapi diseputaran ibu kota Jakarta naik?
Nampaknya para mafia itu dengan leluasa bisa memainkan harga daging di pasaran. Pasokan menjadi terdistorsi. Akibatnya, harga daging bisa menembus angka setinggi mungkin sesuai yang mereka mau. Mereka dengan brutal memainkan pasokan dan distribusi, apalagi menjelang Idul Adha. Mengapa? Mereka sudah menguasai rantai bisnis daging dari hulu sampai hilir.
Menghadapi situasi tersebut Kemendag harus lebih proaktif. Kemendag harus segera lakukan intervensi harga dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi dan harga khusus terutama menjelang Idul Adha.
Selain itu, Kemendag harus lebih pro aktif berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan institusi terkait seperti Bulog untuk menjaga stabilitas pasokan dan pengamanan distribusi.
Jangan sampai peternak-peternak itu terus menjual sapinya ke lingkaran mafia. Harus dipastikan juga sebisa mungkin peternak tidak menjual daging sapi dalam bentuk gelondongan kepada tengkulak. Tapi, dalam bentuk karkas (daging segar) secara langsung ke pasar.
Kemendag jangan diam tanpa melakukan langkah-langkah antisipasi yang signifikan. Diamnya Kemendag bisa ditafsirkan sedang "ada main" dengan Mafia Sapi yang saat ini sedang "gusar" dengan dibatasinya impor sapi. Sekali lagi, Kemendag jangan kalah dan menurut begitu saja pada kemauan mafia. Demikian juga dengan Bulog harus berperan secara proaktif. Tak lupa tentunya, Kementerian Pertanian harus dapat melindungi nasib para pedagang daging lokal.