REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Said Abdullah (Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan)
Swasembada beras menjadi tujuan sekaligus janji yang kerap dilontarkan setiap rezim di negeri ini. Kondisi ini menunjukkan betapa pentingnya beras dalam kehidupan masyarakat dan negara. Tak salah jika banyak yang mengatakan beras telah melampaui perannya sebagai bahan pangan dan simbol kultural masyarakat nusantara. Sesungguhnya beras telah menjadi komoditas ekonomi yang menjanjikan keuntungan luar biasa, sekaligus menjadi barang politik yang kerap dijual para elite demi membuai kaum tani di negeri ini.
Saat ini penduduk Indonesia telah menembus seperempat miliyar. Dari jumlah itu hampir semuanya menjadikan beras sebagai bahan pangan pokoknya. Pada 2015 diketahui secara nasional konsumsi rata-rata per penduduk 113 kg per kapita per tahun. Dengan konsumsi sebanyak itu maka dibutuhkan sekitar 28 juta ton beras per tahun atau minimal 47 juta gabah dengan kadar air 62 persen.
Dalam hitungan sederhana, per kilogram margin yang muncul minimal lima ratus rupiah saja maka dalam satu tahun tak kurang Rp 16 triliun margin yang ada dalam rantai bisnis beras. Nilai ekonomi beras yang luar biasa besar itu tentu saja menarik minat bagi siapa saja untuk bermain. Tak mengherankan jika rantai nilai beras sangat panjang dari level petani hingga konsumen. Dengan panjangnya rantai ini, margin terkecil justru didapat petani.
Pada konteks yang lain, beras juga menjadi 'senjata' yang mematikan dalam panggung politik nasional. Sejarah mencatat bagaimana presiden terdahulu harus rela turun tahta salah satunya disebabkan gejolak harga beras. Kita tentu saja masih ingat bagaimana Orde Baru memanfaatkan beras sebagai alat untuk mengukuhkan syahwat kuasa politik di nusantara. Peran beras yang begitu strategis telah membuatnya menjadi satu-satunya komoditas yang mendapat alokasi pembiayaan terbesar dalam peningkatan produksi.
Produksi Naik, Impor Hadir
Produksi beras nasional setiap tahun menunjukkan kecenderungan meningkat sekalipun dengan presentase yang kecil. Namun demikian, secara umum pola produksi beras nasional memang belum menunjukkan konsistensi karena kurvanya masih naik-turun. Dalam 20 puluh tahun terakhir kenaikan produksi beras rata-rata hanya 2,15 persen.
Walaupun berfluktuasi namun dibandingkan kebutuhan konsumsi, dengan hitungan seperti diatas, produksi masih jauh diatas kebutuhan. Produksi gabah nasional dari tahun 2000-2014 atau selama 14 tahun rata-rata 63 juta ton gabah.