Jumat 23 Sep 2016 12:54 WIB

Kemelut Ekonomi, Infrastruktur, dan Wisata Halal

Red: M.Iqbal
wisata halal
Foto: istimewa
wisata halal

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh: M. Firmansyah, Dosen Sarjana dan Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram

Kemunculan Sri Muliani sebagai Menteri Keuangan dalam struktur kabinet Jokowi-JK menjadi babak baru dinamisasi mesin ekonomi Indonesia saat ini. Belum beberapa lama menjabat, Sri Mulyani melakukan langkah mendasar dan tentu tidak populis, yaitu memangkas anggaran belanja Negara sebesar Rp 133 triliun akibat rendahnya realisasi pajak dan pendapatan lain pemerintah.

Harapannya, pemangkasan bisa membuat negara terselamatkan dari defisit APBN yang teramat dalam. Kementerian dan lembaga (K/L) harus mengencangkan ikat pinggang melaksanakan keputusan ini.

Sebagai konsekuensi pemangkasan anggaran, transfer pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan jatah pemerintah daerah juga ikut mengalami penundaan pembayaran untuk sebagian daerah. Daerah-daerah yang terkena penundaan memutar otak untuk bongkar-bongkar, kira-kira proram kegiatan mana yang harus disingkirkan.

Tidak mudah memangkas program yang sudah ditetapkan. Namun, mau tidak mau langkah ini harus dilakukan.

Pada sisi lain, saat ini ekonomi nasional yang masih lesu berharap guyuran pengeluaran pemerintah sebagai pelengkap konsumsi masyarakat, investasi swasta dan ekspor masih sangat dibutuhkan. Pertumbuhan ekonomi dikhawatirkan terkoreksi dengan dibatasinya program-program pemerintah daerah sebagai akibat penudaan pembayaran (baca: pemangkasan) DAU oleh pusat.

Pembangunan Infrastruktur

Awal kemelut keuangan nasional yang terjadi saat ini adalah berawal dari semangat pemerintah untuk membangun infrastruktur secara masif. Dalam konteks daya saing ekonomi, memang salah satu penentu daya saing adalah tersediannya infrastruktur fisik, namun bukan satu-satunya.

Bila ingin meningkatkan daya saing, paling mendasar sebenarnya menyiapkan terlebih dahulu daya saing industri (mikro dan kecil, menengah, dan besar) domestik. Daya saing industri Indonesia saat ini masih di posisi enam tingkat ASEAN, sangat jauh dari posisi ideal.

Beberapa kalangan menganggap rendahnya daya saing disebabkan sistem logistik yang buruk, sehingga mau tidak mau harus memperbaiki infrastruktur. Padahal daya saing akan dikonstribusikan sejauh mana punya keunggulan kompetitif segaligus komparatif dari aspek produksi (bahan baku, tenaga kerja, dan faktor produksi lain), komersialisasi, dan keinginan pasar menyerap produk lokal karena kualitas, harga, bentuk, dan seterusnya.

Sedangkan infrastruktur logistik hanya bicara distribusi, distribusi hanya akan menyentuh pada harga produk bukan pada kualitas. Sementara produk Indonesia secara umum babak belur dari sisi kualitas.

Ketika infrastruktur logistik barang dan jasa gencar dibangun sehingga alur distribusi semakin lancar, dikhawatirkan justru memberi karpet merah bagi produk-produk asing untuk penetrasi ke pasar-pasar terdalam di negeri ini. Hal ini sangat mungkin terjadi di era perdagangan bebas saat ini.

Sebagai contoh, Indonesia saat ini semakin canggih dan meluas dalam penyediaan layanan internet bahkan sampai ke desa-desa. Sehingga, Google menjadi leluasa menancapkan pengaruh sekaligus akar bisnisnya di tanah air.

Rasanya ketika orang buka internet hampir mustahil tidak membuka Google. Namun ketika pemerintah meminta Google untuk bayar pajak, Google menolak dengan berbagai alasan.

Ceritanya berbeda, ketika anak negeri punya produk selevel Google. Sehingga demikian, paling penting yang perlu dilakukan pemerintah adalah memperkuat aspek produksi industri domestik melalui pola standardisasi produk atau adaptasi sesuai keinginan pasar dari pada sekedar bicara distribusi logistik.

Namun bukan berarti distribusi tidaklah penting. Pembangunan infrastruktur yang dilakukan secara masif perlu reorientasi.

Bukan dihentikan sama sekali, namun perlu diimbangi dengan penguatan sektor hulu dan hilir industri domestik secara menyeluruh. Reorientasi juga penting mengingat semakin terjepitnya keuangan negara yang sekarang dititik beratkan pada hutang.

Wisata Halal

Bila harus membangun infrastruktur cukup diprioritaskan pada sektor barang dan jasa yang memang menjadi keunggulan komparatif negara. Salah satunya adalah sektor jasa pariwisata, khususnya wisata halal.

Indonesia diwakili oleh Pulau Lombok menjadi pemenang dalam wisata halal dunia. Sementara itu infrastruktur pendukung wisata halal ini masih sangat terbatas di Tanah Air.

Ketika berada di NTB, Presiden Jokowi menjanjikan untuk membantu menggelontorkan anggaran lebih dari Rp 1 triliun untuk pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika Lombok Tengah, yang dihajatkan pemerintah daerah setempat sebagai tempat pilot project wisata halal.

Dengan kondisi keuangan negara saat ini, menjadi pertanyaan masyarakat NTB apakah harapan itu dapat terwujud. Bila bicara wisata halal tentu bicara destinasi berbasis halal, kelembagaan pelaku pariwisata halal, sertifikasi hotel dan restoran halal, makanan dan minuman halal, pelayanan medis dan obat-obatan halal, lembaga keuangan halal dan seterusnya.

Semua itu butuh dibangunkan perangkatnya sekaligus infrastruktur pendukungnya sehingga wisata halal benar-benar bergerak.  Pembangunan wisata adalah riil menggerakan ekonomi rakyat sekaligus memberi pemasukan tidak sedikit bagi negara.

Sebagai satu rangkain bisnis halal, ironisnya saat ini pemasok makanan halal dunia adalah bukan Indonesia yang merupakan negara terbesar umat islamnya. Namun salah satunya adalah

Thailand. Padahal pangsa pasar halal saat ini tidak saja lebih dari satu milliar umat muslim dunia namun juga masyarakat nonmuslim yang berharap terjaminnya kualitas kebersihan, kesehatan yang wajib dimiliki oleh produk halal.

Dengan demikian, sebagai jalan keluar dari kemelut ekonomi bangsa saat ini adalah segera membangun peta jalan kemandiran ekonomi nasional dalam jangka pendek. Dan salah satu unsur kemandirian itu adalah terbangunnya ekonomi berbasis wisata halal.

Negara saat ini terkesan begitu panik, sehingga seakan-akan warga negara diuber-uber untuk membayar pajak, walaupun konsep Tax Amnesty dianggap sebagai hak yang harus dimanfaatkan. Apapun bentuknya, pajak merupakan disinsentif bagi masyarakat untuk berkonsumsi.

Uang yang harusnya dibelanjakan masyarakat untuk menggerakan ekonomi dan sektor-sektor produktif harus tersedot karena membayar pajak. Oleh karena itu perlu dibangun optimisme bangsa ini, berdasar inovasi meningkatkan pendapatan dari bisnis nasional bukan pendapatan dari hasil menyedot warga negara sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement