Kamis 08 Dec 2016 15:43 WIB

Memori Kelam di Pidie

Anak-anak bermain sepeda di halaman Masjid yang runtuh akibat gempa tektonik di Desa Meuko Kuthang, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Kamis (8/12).
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Anak-anak bermain sepeda di halaman Masjid yang runtuh akibat gempa tektonik di Desa Meuko Kuthang, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, Kamis (8/12).

Memori Kelam di Pidie

Oleh: Setiyardi, Jurnalis Senior

==============

Gempa tektonik yang mengoyak Pidie, Aceh, mengagetkan saya. Duka mendalam untuk para korban dan keluarganya. Ingatan saya langsung terbang ke penghujung tahun 1998. Ketika itu bulan suci Ramadhan. Setelah liputan bersama Muhammad Subarkah [Republika] dan Zainal Bakri [Tempo] di daerah Kampung Kandang, Lhokseumawe, saya lantas berpisah dengan kedua wartawan itu.

Dengan kendaraan umum, seperti Elf, saya menuju Pidie sendirian. Beberapa jam di perjalanan, dan sempat beberapa kali pemeriksaan oleh tentara [saat itu Aceh masih diberlakukan hukum Daerah Operasi Militer, DOM] akhirnya saya sampai di Pidie. Saya menyewa ojek motor menuju Desa Cot Keng. Desa ini mendapat julukan sebagai "Kampung Janda", sebab kampung ini hanya berisi perempuan, anak-anak dan orang lanjut usia. Mayoritas kaum pria tewas dalam konflik senjata, atau melarikan diri ke hutan.

Saat itu, menjelang Idul Fitri, saya mencecap suasana duka di Kampung Cot Keng. Saya terlebih dulu bertandang ke rumah Geuchik, kepala kampong, dan diterima istrinya. Saya minta ijin berkeliling kampong. Saya jumpai beberapa anak lelaki, dan perempuan, bertelanjang dada di bawah rumah panggung mereka. Tatapan wajahnya hampa. Dan saya tak bisa memberikan apa-apa, kecuali berupaya mengabarkan pada dunia keadaan mereka.

Sebetulnya ada budaya memasak dodol menjelang lebaran. Itu salah satu sajian khas Idul Fitri. Dalam keadaan normal, para lelaki dewasa yang mengaduk dodol di wajan besar berjam-jam. Mereka memasaknya dengan kayu bakar. Tapi, saat itu tak ada lagi lelaki. Tugas itu lantas digantikan perempuan dan anak-anak.

Banyak kisah sedih, bahkan pembunuhan brutal di Desa Cot Keng yang mereka tuturkan pada saya. Tapi saya tak tega menuliskan ulang di status facebook ini. Biarlah itu menjadi memori kelam yang tak 'kan saya lupakan. Dan saya tak ingin mengungkit kisah kelam itu dalam konteks sosial politik saat ini. Perjanjian Helsinki [Juli 2005] sudah menisbatkan Aceh sebagai bagian dari NKRI.

Saya menyempatkan diri ke rumah Farida Hariyani, di Kampong Ulee Glee. Dia perempuan perkasa, penerima Yap Thian Hiem award tahun 1998. Sehari-hari Farida mengabdikan dirinya sebagai guru, juga mengajar di meunasah [surau kecil], untuk anak-anak yang kehilangan ayahnya itu.

"Mereka sudah tak punya Ayah. Jangan sampai mereka pun kehilangan masa depan," ujar Farida, sambil menangis. Saya, yang hampir tak pernah menangis, ikut meneteskan air mata.

Dan kini, berita gempa di Pidie membuka pandora dalam memori lama itu. Saya teringat pada saudara-saudara saya di sana. Saya terbayang pada tatapan hampa bocah bertelanjang dada yang Ayahnya tewas, entah di mana kuburnya. Semoga Allah SWT, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, selalu merahmati mereka ...

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement