REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: drg. Syukri Wahid (Ketua Komisi I DPRD Kota Balikpapan)
Pembahasan mengenai tujuan dan sarana (wasilah) untuk mencapai tujuan adalah topik yang sudah cukup lama diperbincangkan para ulama kita sejak dahulu. Hal itu penting lantaran salah memahami kedua kaidah ini dalam beragama secara umum dapat berakibat fatal. Terlebih dalam metode perjuangan khususnya bisa memunculkan tuduhan-tuduhan yang tak seharusnya dialamatkan kepada saudara-saudara kita.
Apakah tujuan harus menghalalkan seluruh sarana untuk mencapainya? Apakah masalah sarana itu bersifat ta'abudiyah atau ekspresi penyembahan kita kepada Allah SWT, sehingga menggunakan sarana juga harus bersifat tauqifi atau pemberian langsung dari Allah SWT? karenanya kaidah yang digunakan adalah " mana perintahnya?
Memang itu adalah prinsip dalam kaidah ibadah ritual atau makhdah, sehingga setiap ibadah prinsipnya tertolak atau tidak akan diterima Allah kecuali hanya yang di perintahkan saja. Apakah kita harus menggunakan sarana dakwah yang sama persis seperti yang ditempuh Rasulullah dalam metode perjuangan beliau menegakkan agama ?
Dalam Alquran, Allah menetapkan tujuan dalam memakmurkan bumi ini dan seluruh peran kita dalam merealisir tujuan tersebut. Dijadikannya diri kita sebagai khalifatullah fil ardhi atau sebagai pengganti Allah diatas muka bumi ini, karena memang syariat Allah tidak memiliki tangan dan kaki untuk berjalan dan masuk kedalam kehidupan ini. Kemudian syariat itu menjadi hidup dan menjelma menjadi hukum, norma, peraturan, sistem kecuali menggunakan manusia itu sendiri.
Jika kita membuka literatur ulama tentang siyasah maka mereka akan membuat bab tersendiri mengenai prinsip maqhasid atau maksud/tujuan politik, karena itu lebih esensi dari inti persoalan, sebab itu merupakan tujuan yang abadi dan tidak akan pernah berubah sedikitpun .
Imam as Syatibi seorang ulama kharismatik dari Spanyol dalam kitabnya Al Muwaffaqaat memperkenalkan tentang apa yang beliau sebut dengan prinsip maqoshid syari'ah, yaitu muara dari semua sebab mengapa Allah menurunkan syariat-Nya kepada manusia adalah untuk mencapai maslahat atau kebaikan dalam kehidupan ini.
Yaitu untuk menjaga lima hal, antara lain menjaga akal, jiwa, harta, agama dan keturunan. Termasuk dalam hal kita berpolitik dan bernegara, semua muara dari tujuan kita mengurus ummat ini dalam rangka mencapai tujuan dari maqashid tersebut.
Dalam fikih Islam semua perbuatan yang berhubungan langsung melanggar lima hal diatas tersebut dapat digolongkan dalam perbuatan dosa besar, contohnya seperti membunuh karena melanggar prinsip agama yaitu untuk menjaga jiwa. Minum khamar karena melanggar prinsip menjaga akal sebab mabuk dapat merusak akal manusia.
Mencuri karena melanggar prinsip menjaga harta, berzina karena melanggar prinsip menjaga keturunan dan syirik melanggar prinsip menjaga agama. Bahkan beliau mengatakan,''Kalau ada satu kasus yang tidak ditemui dalam nash yang jelas dalam Alquran dan Sunnah, maka aku akan putuskan apakah perbuatan tersebut melanggar terhadap lima prinsip tersebut.''
Apa hikmah di balik maqashid tersebut untuk menjamin kita tidak kehilangan alat atau jalan menemukan tujuan Syariat Islam itu diturunkan, karena itulah bersifat lentur, itulah sifat sarana atau washilah. Sehinggga tujuan dalam berpolitik mengharuskan sarana yang kita gunakan bisa menyampaikan kita kepada tujuan. Jadi prinsip washilah adalah mengikuti prinsip tujuan atau maqoshid-nya, karena Allah SWT menyebutkan tujuannya, bukan alatnya.