Selasa 21 Feb 2017 12:46 WIB
Freeport, VOC di Zaman Belanda

Ancaman Freeport ke Arbitrase Bentuk Arogansi

Hikmahanto Juwana
Foto: Dok.pribadi Facebook
Hikmahanto Juwana

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Prof Hikmahanto Juwana *)

Freeport mengancam pemerintah Indonesia untuk membawa ke arbitrase bila dalam jangka waktu 120 hari tidak membolehkan Freeport tetap melakukan ekspor dan mempertahankan kontrak karya (KK) atau dibuatnya perjanjian stabilisasi investasi.

Ancaman Freeport tersebut merupakan bentuk arogansi. Ini karena Freeport merasa sejajar dengan Pemerintah Republik Indonesia. Ini disebabkan karena kontrak karya mendudukkan pemerintah sejajar dengan Freeport.

Secara hukum, ini janggal. Apakah mungkin di era saat ini sebuah negara yang berdaulat dengan jumlah penduduk 250 juta diposisikan sejajar dengan pelaku usaha?

Freeport telah salah memposisikan Pemerintah Indonesia secara sejajar mengingat kedudukan pemerintah ada dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah pemerintah sebagai subyek hukum perdata. Pemerintah kerap memiliki posisi subyek hukum perdata dalam kegiatannya seperti melakukan pengadaan barang dan jasa. Sebagai subyek hukum perdata maka kedudukan pemerintah memang sejajar dengan pelaku usaha.

Namun ada dimensi lain dari pemerintah yaitu sebagai subyek hukum publik. Sebagai subyek hukum publik, maka posisi pemerintah berada diatas pelaku usaha dan rakyat. Fiksi hukum yang berlaku adalah ketika pemerintah membuat aturan maka semua orang dianggap tahu. Pemerintah memaksakan aturan untuk diberlakukan dengan penegakan hukum.

Bila rakyat atau pelaku usaha berkeberatan dengan aturan yang dibuat, maka mereka dapat memanfaatkan proses uji materi baik di MK maupun MA.

Dua dimensi ini yang dinafikan oleh Freeport melalui kontrak karya dimana pemerintah seolah hanya merupakan subyek hukum perdata. Tidak heran bila Freeport hendak membelenggu kedaulatan hukum negara Indonesia dengan Kontrak Karya. Bila demikian apa bedanya Freeport dengan VOC di zaman Belanda?

Perlu dipahami pemerintah sebagai subyek hukum perdata tetap harus tunduk pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah sebagai subyek hukum publik.

Oleh karenanya, kontrak karya tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata dimana disebutkan bahwa perjanjian akan terlarang bila bertentangan dengan hukum.

Pemerintah tidak melanggar

Tuduhan Freeport bahwa pemerintah memaksa agar Freeport merubah KK adalah tidak benar. Justru pemerintah hendak memberi jalan keluar buat pemegang KK seperti Freeport. Hal ini karena menurut Psl 170 UU Minerba  bahwa pegang KK dalam jangka waktu lima tahun harus memurnikan dan mengolah dalam negeri.  Inipun sudah diberi tiga tahun, sat waktu lima tahun telah jatuh tempo pada tahun 2014.

Namun,  Freeport tidak juga membangun smelter meski dana untuk itu telah tersedia. Alasannya, pembangunan smelter tanpa mendapat kepastian perpanjangan tidak menguntungjan. Bila tetap mengikuti pasla 170,  Freeport akan berhenti beroperasi. Maka, pemerintah masih berbaik hati dengan memberi solusi yaitu boleh ekspor konsentrat, tapi berubah menjadi IUPK. Kenapa IUP? Karena soal IUP yang diatur dalam pasal 102 dan 103 tidak ada aturan berapa tahunnya.

Untuk diketahui, solusi yang diberikan pemerintah bukan tanpa risiko di hadapan rakyat. Ada kritikan terhadap kebijakan pemerintah ini, bahkan ada masyarakat yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.

*) Guru Besar Hukum Internasional

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement