Senin 06 Mar 2017 11:37 WIB
Relasi Dakwah dan Politik (5)

Kenabian, Agenda Risalah dan Politik

Syukri Wahid
Foto: dok.Istimewa
Syukri Wahid

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Drg Syukri Wahid *)

Di antara cara Allah SWT mengatur kehidupan di atas muka bumi ini adalah diberikannya kepada kita agama serta petunjuk berupa Alquran. Dari sanalah, kita menemukan apa tujuan hadir diatas muka bumi ini, apa agenda yang harus dikerjakan, mana saja larangan yang harus kita tinggalkan.

Di dalamnya juga berisi daftar kemauan Allah kepada kita yang harus dikerjakan, semua itu agar kita sukses menjadi khalifah-Nya. Allah juga mengirimkan kepada kita seorang Rasul dari kalangan manusia sebagai pembawa risalah suci  AqQuran untuk diajarkan dan disebarkan kepada seluruh manusia.

Sekaligus menjadi qudwah atau model bagaimana ajaran Islam itu dibumikan dalam kehidupan nyata. Sehingga kita selalu memiliki "contoh soal" dalam mengelola kehidupan agama ini dari seorang Rasul. AqQuran sebagai modulnya dan Rasulullah sebagai modelnya, Rasul itu menjadi terjemahan atau tafsir hidup Alquran dan Islam diatas muka bumi ini.

Kita semua sepakat bahwa orang yang paling benar, paling tepat dan paling sesuai ber-Islam-nya serta orang yang paling bertakwa di atas muka bumi ini adalah Rasulullah SAW. Apakah Islam yang dipraktikkan Rasulullah saat itu hanya terkukung di balik tembok-tembok masjid saja?

Apakah praktek Islamnya beliau hanya terbatas pada amalan dibalik zikir-zikir lisan saja? Apakah Islam hanya masuk di rumah ibadah saja, tidak masuk ke pasar, tidak masuk ke rumah, tidak masuk dalam pengelolaan  negara?

Dari seluruh Nabi dan Rasul di muka bumi ini, tidak ada yang paling lengkap dan sempurna dimensi peran kehidupannya seperti Nabi Muhammad. Beliau menjadi Rasul dengan mendapatkan wahyu dari Allah dan menyampaikannya kepada seluruh manusia.

Beliau juga  menikah dengan status seorang suami, ayah dan kakek  tetap saja mengurus keluarganya dengan baik. Beliau juga bertetangga dan bahkan beliau adalah sebaik-baik tetangga bagi tetangga dekatnya. Beliau berjualan, berbisnis untuk kehidupan ekonomi keluarganya khususnya sebelum menjadi nabi.

Menegakkan dan mengelola negara, memimpin perang, menjaga stabilitas negara, menjadi hakim atas rakyatnya, bercanda dengan para sahabatnya. Rasululllah juga mendengar keluhan seluruh warga, menjawab dan mengarahkan sahabat-sahabatnya dan seluruh peran lainnya.

Lantas bagaimana mungkin kita menutup mata atau menyembunyikan fakta tersebut, bahwa Nabi Muhammad juga dalam kehidupannya bernegara dan berpolitik atau as siyasah. Apakah seluruh aktivitas politik Nabi harus kita pisahkan dari agama  dan mengatakan politik Nabi adalah sekadar aktivitas naluriah kemanusiaan biasa?

Dan mengatakan beliau bukan bagian atau perintah dalam agama ini, karenanya tidak berdimensi ibadah. Mengapa Nabi kita "harus membuang-buang" waktu  10 tahun di Madinah harus mengurus negara.

Bukankah Allah SWT berfirman, "Wamaa yanthiqu 'anil Hawaa in Huwa illa wahyuyyuuha, aritnya, tidaklah apa yang dituturkan/dilakukan olehnya berasal dari hawa nafsu melainkan  itu adalah wahyu Allah kepadanya.

Kita tidak akan mungkin memisahkan Islam dengan politik. Kita hanya bisa memisahkan Islam dengan politik jika bisa memisahkan rasa dingin dari saljunya, memisahkan rasa manis dari gulanya. Memisahkan keduanya adalah sama saja menyunat kesempurnaan dan keintegralan ajaran Islam.

Allah SWT telah menjamin kesempurnaan agama ini, tak satupun yang terlewatkan dari kehidupan kita di atas muka bumi ini kecuali Alquran telah memberikan pandangannya, "Maa farrathna fii kitaabi min Syai in".

Membahas kekuasaan itu penting, namun lebih penting membahas untuk apa kekuasaan itu. Membahas politik itu penting, tapi mengerti untuk apa politik  itu hadir dalam kehidupan adalah intinya.

Mengerti tentang negara itu penting, namun untuk apa negara itu hadir jauh lebih prinsip, karena itulah Islam menjadi muara prinsip kita. Kita kuatir bisa mengerti politik, tentang negara dan seterusnya, namun itu semua instrumen yang harus menjadi jalan mengantarkan kita pada tujuan agama ini dihadirkan.

Kita bisa bayangkan kalau kekuatan legalitas mengalir kepada orang-orang yang hati dan kepalanya tidak ada Alquran, maka kekuatan itulah yang justru akan meruntuhkan ajaran-ajaran Allah SWT di depan mata kita.

Sebab kita beralasan tidak mungkin syariat Islam hidup diperjuangkan lewat pintu atau alat yang tidak Islami, namun kekuasaan itu tetap saja jatuh kepada orang di depan mata, yang tanpa sadar kita telah memberikannya kepada mereka.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement