Rabu 03 May 2017 13:31 WIB

Bacaan untuk Para Penembus Tabir

Direktur Utama PT. Pustaka Abdi Bangsa (PAB)  Arys Hilman Nugraha
Foto: ROL/Fian Firatmaja
Direktur Utama PT. Pustaka Abdi Bangsa (PAB) Arys Hilman Nugraha

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Arys Hilman, Direktur/CEO Republika Penerbit

“Tiap-tiap tulisan yang dusta, yang menipu, yang tidak berdasarkan kebenaran, walaupun mula-mula ditelan orang, namun zaman kelak akan memuntahkan ‘kebenaran celupan’ itu dari perut orang-orang yang telanjur menelannya.” -- Buya Hamka, Falsafah Hidup

Inilah negeri kita, rumah bagi 258 juta manusia--yang lebih dari separuhnya terhubung dengan Internet. Ini negara kita, juara ketiga pengguna Twitter dan Instagram, urutan keempat pemakai Facebook. Ini pula kita, bangsa yang berbaris pada urutan nomor dua dari belakang pada daftar 61 bangsa dalam hal minat baca.

Luar biasa, dua tahun lalu kita bisa hadir di Frankfurt Book Fair sebagai tamu kehormatan; hal yang menjadi mimpi bangsa-bangsa Asia lainnya. Kita tampil dalam 500 mata acara—dari total 4.000 penampilan—dan membawa 75 penulis ke hadapan 275 ribu pengunjung dari 129 negara.

Jepang dan Tiongkok pernah mengalami situasi serupa. Minat dunia meledak terhadap kedua negeri itu setelah mereka menjadi tamu kehormatan di Frankfurt. Mereka pun menikmati situasi itu dengan kesigapan ekosistem dan industri perbukuan masing-masing.

Jepang terkenal sebagai bangsa pembaca. Produksi buku mereka pada kisaran 82 ribu judul per tahun. Tiongkok bahkan nomor satu di dunia, dengan 444 ribu judul buku baru per tahun, mengalahkan Inggris (184 ribu) dan Amerika Serikat (305 ribu).

Kita? Menurut IKAPI, produksi buku kita sekitar 30 ribu judul setiap tahun. Angka ini rendah jika diperbandingkan dengan jumlah penduduk. Hanya 116 judul per satu juta penduduk. Jepang mencatat angka 644, Tiongkok 325, Inggris 2.875, dan Amerika Serikat 959. Kondisi literasi kita kian terasa menyesakkan mengingat rendahnya rerata tiras per judul, hanya 3.000 eksemplar. Ini menjelaskan kenyataan bahwa satu buku di negeri kita dibaca oleh 52 orang. Standar UNESCO: Satu orang dua buku.

Banyak hal lain yang mengadang minat baca masyarakat kita. Perhatian yang minim dari pemerintah, misalnya, seolah-olah buku hanya tanggung jawab Kemendikbud, sementara kementerian lain acuh tak acuh. Buku kena PPN, sementara tontonan seperti sirkus, tinju, balap kuda, bahkan diskotek dan karaoke, bebas sejak dua tahun lalu.

Belum lagi cara pandang pemerintah hingga ke daerah-daerah dalam pengadaan buku perpustakaan. Di sini, kegetiran penulis Paulo Coelho benar-benar mewujud, tentang negara yang sebagian besar anggaran pemerintahnya digunakan untuk membeli buku-buku perpustakaan tanpa berpegang pada dua kriteria utama yang penting—yakni kesenangan yang diperoleh pembaca saat membaca sebuah buku, plus kualitas penulisannya. Banyak perpustakaan kita hanya memilih buku dengan kriteria tunggal: Nilai diskonnya tinggi.

***

Kesenjangan antara minat baca dan tingkat keaktifan di media sosial meniscayakan satu hal: Konten media sosial kita kekurangan nutrisi. Kecerewetan bangsa kita dalam Twitter atau Facebook, sebagaimana halnya dalam aplikasi messenger seperti Whatsapp dan BBM, tak berbanding lurus dengan kualitas isinya. Ini menjadi tengara mengapa hoax amat mudah kita telan dan bagi-bagikan.

Tujuh puluh tujuh tahun lalu, ulama besar kita Buya Hamka telah mengingatkan, “Jangan menulis sembarangan.” Tiap-tiap tulisan yang dusta, yang menipu, yang tidak berdasarkan kebenaran, menurut Hamka, walaupun mula-mula ditelan orang, namun zaman kelak akan memuntahkan ‘’kebenaran celupan’’ itu dari perut orang-orang yang telanjur menelannya.

Jelaslah mengapa kita harus menghindari “kebenaran celupan”, termasuk dalam dakwah. Aneka hoaxyang berkaitan dengan Islam, kendatipun memicu kegairahan beragama, pada waktunya niscaya akan termuntahkan dan menjadi serangan balik bagi umat. Hoax secara hakikat adalah dusta. Dusta tak mungkin senapas dengan Islam. Jadi, tak perlu mengada-ada tentang “hoax islami” dengan kilah untuk menyuburkan ghirah.

Cukup banyak dusta populer semacam itu. Kategori yang paling disukai adalah kisah orang terkenal masuk Islam. Dalam dunia digital, kisah semacam ini amat mudah meluas; antara lain tentang Sunita Williams, perempuan astronot NASA berdarah India yang disebar-sebarkan masuk Islam karena melihat dari bulan Masjidil Haram paling bercahaya di Bumi. Puluhan tahun lalu, kita mendengar kisah sejenis: astronot Neil Armstrong masuk Islam gara-gara mendengar adzan di angkasa.

Dusta kategori berikutnya yang gampang memikat kita adalah kabar yang terkait halal-haram. Contoh yang populer adalah tentang beredarnya sapi hasil persilangan dengan babi. Australia dan Selandia Baru disebut-sebut sebagai ladang rekayasa genetika sapi tersebut dengan sasaran penjualan umat Islam. Tanpa pengetahuan--bahwa hewan tersebut sebenarnya hasil persilangan natural sapi-sapi di Eropa--kita akan dengan mudah menelan kabar dusta tersebut.

Dusta lainnya yang mudah membakar kita adalah jika menyangkut kelompok yang secara sejarah memang menjadi ancaman. Sebuah foto beredar sejak enam tahun lalu tentang halte bus di Surakarta yang bangunannya berbentuk palu dan arit lambang komunisme. Dengan pengecekan sederhana melalui Google, akan terungkap bahwa halte itu sejatinya terletak di Kerala, negara bagian di selatan India yang memang berideologi komunis.

Sanjungan yang melenakan menjadi kategori lainnya. Beredar tahun lalu bahwa Islam mendapatkan sertifikat dari UNESCO sebagai agama paling damai. Soal sertifikat jelas dusta; kabar ini bersumber dari sebuah situs satire yang sengaja menuliskannya bak berita sungguhan. Soal lainnya: Islam tak memerlukan sanjungan atau legitimasi dari lembaga PBB sekalipun untuk menjadi agama pembawa damai.

Banyak contoh dan kategori lain yang akan kembali membawa kita kepada peringatan dari Buya Hamka, “Meskipun tidak sedikit faedah bacaan kepada manusia, namun tidak sedikit manusia yang sesat lantaran membaca.”

Jadi, inilah alasan mengapa kita harus kembali mengawali perjalanan dari buku. Membaca buku bukan sekadar membuka pintu pengetahuan, tapi juga melatih daya nalar, mempertajam kekritisan, dan mengasah imajinasi. Buku yang baik tentu akan memberikan pengetahuan yang baik dan mengasah imajinasi yang baik pula.

Dalam hal ini, Islamic Book Fair (IBF) menemukan perannya. Belasan tahun berlangsung tanpa jeda satu kali pun, acara ini telah menjadi titik rendezvousumat Islam Indonesia,  destinasi wisata keluarga-keluarga Muslim, agenda kegiatan majelis-majelis taklim, serta tujuan belajar anak-anak sekolah dan pesantren.

Banyak pameran buku lainnya, namun IBF memiliki posisi istimewa karena buku-buku yang hadir—lagi-lagi merujuk pada Buya Hamka—melampaui batas pengetahuan ala Barat yang materialistis. Pengetahuan berselimut religiositas dalam pameran ini bukanlah tipe kualitas yang puas pada benda belaka, bukan “mereka yang hakikatnya pernah bertemu perbatasan yang pikiran mereka tak sanggup menyeberang, itulah ma wara’ath-thabi’ah atau metafisika”.

Pameran buku ini menjadi bermakna justru karena mencerminkan bahasa dan jiwa bangsa. Bangsa yang berani menembus tabir tentang awal yang tidak bepermulaan dan akhir yang tidak berkesudahan. “Yang pikiran tak dapat mengetahui Apa-nya tapi dapat mempercayai Ada-nya,’’ kata Hamka.

Frankfurt Book Fair 2015 dengan kita sebagai tamu kehormatan sudah dua tahun berlalu dan kita tetap menanti ledakan pengaruhnya. Asal tahu saja, di sana sedikit sekali buku-buku Islam kita terwakili, bahkan novelis Islam kita yang paling populer--dan rekor penjualan bukunya belum terpecahkan--sekalipun tidak dihadirkan.

Tapi, biarlah, orang-orang akan tetap datang jua dan akhirnya menemukan kita sebagai bahasa dan jiwa bangsa yang paling muka. Inilah IBF yang telah berkembang menjadi peristiwa keislaman nan lengkap, bukan sekadar buku melainkan juga khazanah lainnya: Busana, perbankan, pendidikan anak, olah raga, umrah-haji, filantropi, kuliner, hingga perjalanan wisata dan gaya hidup.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement