REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Satruwan Salim *)
Pada Rabu, 7 Juni 2017 Presiden Jokowi melantik Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) bersama para dewan pengarah yang terdiri dari sembilan (9) tokoh nasional. Besar ekpektasi publik terhadap lembaga baru yang kedudukannya langsung berada di bawah presiden ini. Menimbang bahwa nilai-nilai Pancasila sudah sedemikian rupa terkikis dalam perilaku kebangsaan kita. Lembaga ini seolah menjadi “obat mujarab” akan defisit rasa kebangsaan tersebut.
Di sisi lain respon skeptis publik juga tak bisa dihindarkan, dikarenakan kekhawatiran UKP-PIP akan menduplikasi program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) yang dilakukan secara indoktrinatif oleh BP-7, di era Orde Baru. Pancasila akan mentah lagi, direduksi sekedar menjadi tumpukan hafalan kognitif, yang harus dijejali kepada masyarakat, sebanyak 36 butir dan diajarkan melalui penataran. Ini faktanya.
Mendengar wawancara dengan Yudi Latif di salah satu media televisi nasional, Kepala UKP-PIP tersebut menjawab pertanyaan pewawancara, kurang lebih bahwa salah satu program lembaganya yakni ingin menghidupkan kembali mata pelajaran bernuansa Pancasila. Baik di jenjang pendidikan dasar, menengah maupun tinggi. Berita terkait keinginan UKP-PIP ingin menjadikan Pancasila sebagai “mata pelajaran” wajib di sekolah juga sudah beredar di media online.
Sudah ada Pancasila di sekolah
Sebagai pengajar mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), baik di level SMA maupun tingkat universitas, saya agak heran mendengar keinginan dan jawaban Kepala UKP-PIP tersebut. Apa sebab? Eksistensi PPKn sebagai mata pelajaran sudah ada semenjak Kurikulum 2013, melalui Permendikbud No. 64 Tahun 2013, yang direvisi oleh Permendikbud No. 21 Tahun 2016 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah.
Pancasila sudah menjadi mata pelajaran kembali, yang ada dalam struktur Kurikulum 2013. Bahkan Kurikulum 2013, menjadikan empat (4) konsensus berbangsa dan bernegara kita; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai landasan filosofis, menjiwai lahirnya kurikulum baru ini.
4 konsensus bernegara ini secara eksplisit juga diajarkan dalam struktur kurikulum mata pelajaran PPKn, di setiap jenjang pendidikan (SD-SMA/SMK). Artinya, pada tiap bab materi atau sederhananya disebut Kompetensi Dasar (KD) dan dalam Kompetensi Isi (KI) pada PPKn, harus memuat 4 konsensus bernegara secara eksplisit dalam pembelajaran. Tidak hanya memuat aspek pengetahuan (kognitif), tetapi juga mancakup aspek sikap dan keterampilan. Inilah yang membedakan secara tegas mata pelajaran PPKn dalam struktur Kurikulum 2013, dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam struktur Kurikulum 2006.
Dalam Kurikulum 2006, mata pelajaran ini dinamakan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), memang tidak secara eksplisit memuat Pancasila sebagai acuan dan pelajaran tersendiri. Pancasila dalam struktur PKn direduksi hanya menjadi salah satu bagian Kompetensi Dasar belaka, khususnya di jenjang SMA/SMK. Kekeliruan inilah kemudian yang diluruskan dalam struktur Kurikulum 2013. Sebagaimana dikatakan oleh Udin S. Winataputra (Guru Besar PKn, Universitas Terbuka), bahwa PPKn dalam Kurikulum 2013 telah kembali ke “khittah” aslinya.
Pancasila di Perguruan Tinggi
Begitu pula di jenjang perguruan tinggi, dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, Pasal 35 (3) menuliskan bahwa kurikulum perguruan tinggi wajib memuat mata kuliah; agama, kewarganegaraan, Pancasila dan bahasa Indonesia. 4 hal ini adalah mata kuliah wajib terkait kepribadian, yang harus diajarkan di perguruan tinggi, juga lazim dikenal sebagai mata kuliah dasar umum (MKDU/MKU).
Bahkan di jenjang perguruan tinggi, mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan dipisahkan secara tegas, jelas dan masing-masing berdiri sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 35 (3) UU Perguruan Tinggi tersebut. Yang dimaksud dengan “mata kuliah Pancasila” adalah pendidikan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan kepada mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia. Artinya dasar negara Pancasila ini diajarkan dalam mata kuliah tersendiri di perguruan tinggi.
Selanjutnya yang dimaksud dengan “mata kuliah kewarganegaraan” adalah pendidikan yang mencakup Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, untuk membentuk mahasiswa menjadi warga negara yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Pancasila juga kembali menjadi salah satu subbahasan dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ini.
Jadi, secara konten dalam struktur kurikulum, baik di jenjang pendidikan dasar dan menengah, maupun di perguruan tinggi, Pancasila sudah menjadi mata pelajaran/mata kuliah tersendiri. Dan model seperti ini saya pikir sudah berada pada track yang sudah benar.
Cukup PPKn
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah masih relevan jika menginginkan mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dihidupkan kembali? Jika UKP-PIP memiliki keinginan untuk menghidupkan kembali PMP sebagai mata pelajaran tersendiri, tentu ini akan berdampak secara luas dan rumit, di struktur Kurikulum 2013. Apalagi dengan “memaksakan” harus masuk dan segera diajarkan di tahun ajaran baru 2017-2018 bulan Juli nanti. Saya pikir ini ambisius dan terlalu mengada-ada.
Perihal sekolah yang belum menggunakan Kurikulum 2013 saja (karena masih memakai Kurikulum 2006), secara nasional masih menjadi tugas rumah Kemdikbud, yang belum tuntas. Apalagi terkait pelatihan guru, yang juga belum sempurna dilakukan. Kita mesti ingat dan memahami jika kurikulum tersebut bersifat nasional, dari Sabang-Merauke. Mencakup nasib jutaan guru, jutaan peserta didik dan ratusan ribu sekolah.
Apalagi PMP sebagaimana yang dipahami di era Orde Baru, lebih didominasi materi hafalan yang melulu cognitive oriented, bukan kepada pembenahan sikap dan keterampilan. Pancasila dalam PMP jauh tergelincir menjadi perlombaan menyimpan memori. Bahwa toleransi, gotong-royong dan persatuan itu dihafalkan lalu diteskan, bukan diwujudkan dalam laku, perbuatan dan teladan. Ini yang sangat kita khawatirkan terjadi lagi.
Padahal, Pancasila sudah termuat jelas dan terukur berada dalam kurikulum nasional kita, khususnya dalam PPKn. Jika masih ingin membenahi soal rasa kebangsaan kita, justru UKP-PIP bisa merumuskan bagaimana pendekatan dan strategi yang jitu, untuk menanamkan dan menghidupkan nilai/butir Pancasila tersebut di seluruh kelompok masyarakat. Cara yang tidak menduplikasi P-4 tentunya.
Peluang besar UKP-PIP berkolaborasi dengan lembaga negara/kementerian, khususnya kementerian pendidikan dan kebudayaan, untuk menawarkan model yang baru, khususnya bagi guru PPKn, dalam membumikan kembali Pancasila. Inilah sesungguhnya peluang strategis UKP-PIP sekarang dan nanti.
Jangan sampai ambisi kelembagaan yang baru ini, menihilkan bangunan Kurikulum 2013 yang sudah ada, yang sedang berjalan, baru berumur sekitar 4 tahun. Keinginan untuk menjadikan Pancasila sebagai mata pelajaran sendiri itu, sangat mengada-ada dan tak berdasar, baik secara filosofis maupun sosio-pedagogis. Sebagai khatam saya ingin mengatakan, “Kang Yudi Latif, di sekolah sudah ada mata pelajaran PPKn!”
*) Guru PPKn Labschool Jakarta, Peneliti Puspol Indonesia dan Pengurus Asosiasi Profesi PPKn Indonesia (AP3KnI)