REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Jaya Suprana *)
Setelah kelirumologi, alasanologi, dan humorologi, kini saya sedang melakukan telaah malumologi.
Sama halnya dengan kelirumologi, bukan ilmu membuat kekeliruan, namun ikhtiar telaah mengenai apa yang disebut sebagai keliru, atau alasanologi ikhtiar telaah mengenai alasan, atau humorologi ikhtiar telaah mengenai humor, maka malumologi juga bukan ilmu membuat malu, namun sekadar ikhtiar menelaah apa yang disebut sebagai malu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ternyata kata "malu" memiliki beragam makna, antara lain: 1. merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, aib dan sebagainya) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai kekurangan, dan sebagainya): ia malu karena kedapatan sedang mencuri uang; aku malu menemui tamu karena belum mandi;
2. segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dan sebagainya: murid yang merasa bersalah itu malu menemui gurunya; tidak usah malu untuk menanyakan masalah itu kepada ulama;
3. kurang senang , kurang nyaman : ia merasa malu berada di tengah-tengah orang penting ; malu bertanya sesat di jalan.
Sebagai suatu bentuk perasaan ternyata malu beragam bentuk terkait dimensi psikologis, teologi, filosofis, sosiologis dan aneka logis lain-lainnya.
Menurut psikolog Amerika Serikat, Carl Schneider, rasa malu terbagi dalam dua kategori, yaitu yang terkait dengan kehinaan dan yang terkait dengan kesopanan (discretionay shame). Schneider meyakini bahwa rasa malu dibutuhkan manusia untuk menghindarkan dirinya dari perbuatan yang memalukan.
Rasa malu ikut menjamin hadirnya kesopanan, etika, moral, susila, arif, dan bijak pada interaksi sosial.
Taufik Ismail
Pada Tahun 1998 mahasastrawan Indonesia Taufik Ismail menggubah puisi berjudul "Malu Aku jadi Orang Indonesia".
Rasa malu puitis antara lain tersirat di dalam kalimat : "Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi".
Kemudian diakhiri dengan kalimat : "Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata dan kubenamkan topi baret di kepala. Malu aku jadi orang Indonesia!"
Dengan mengaku malu, sebenarnya Taufiq Ismail yang kebetulan orang Indonesia secara tidak langsung membuktikan bahwa masih ada orang Indonesia yang masih memiliki rasa malu.
Namun pada kenyataan, sayang setriliun sayang, ternyata memang banyak orang Indonesia tidak memiliki rasa malu.
Kerakusan
Terkesan, mereka yang rakus adalah yang paling rawan kehilangan rasa malu. Kerakusan memang potensial memusnahkan rasa malu. Bahkan rasa malu dianggap sebagai penghambat kerakusan.
Tanpa malu, janji mudah diingkari. Akibat tidak punya malu, maka para penguasa setelah terpilih oleh rakyat untuk menjadi penguasa langsung menderita amnesia maka lupa segala janji yang diobral di masa kampanye.
Ada pula yang tidak malu mengaku dirinya adalah wakil rakyat, padahal pada kenyataan yang diwakili sebenarnya cuma parpol, bahkan dirinya sendiri. Sudah keji masih pengecut.
Banyak pihak alih-alih malu justru bangga melanggar hukum. Makin besar kekuasaan seseorang makin kecil rasa malu untuk tidak melakukan korupsi. Apabila tidak ikut melakukan korupsi malah merasa malu.
Bahkan agar tidak malu, korupsi dilakukan berjamaah. Korupsi justru menjadi kebanggaan apabila berhasil dilakukan tanpa tidak bisa dibuktikan sebagai korupsi oleh KPK.
Kekerasan
Kerakusan atas kekuasaan membuat manusia tidak tahu malu melakukan kekerasan baik secara verbal mau pun fisikal. Satu di antara bentuk kekerasan verbal yang paling keji adalah fitnah.
Terbukti di masa kini di Indonesia, fitnah demi menyelakakan sesama manusia justru menjadi senjata pamungkas yang digunakan tanpa rasa malu.
Kriminalisasi dengan penuh fitnah dilakukan tanpa malu-malu terhadap siapa saja yang dianggap tidak sepaham dalam apa yang disebut sebagai politik. Yang paling memprihatinkan adalah hilangnya rasa malu melakukan kekerasan secara ragawi, terutama kekerasan ragawi yang dilakukan oleh kaum teroris yang tega membinasakan sesama manusia bahkan termasuk anak-anak yang jelas sama sekali tidak melakukan kesalahan apalagi dosa apa pun.
Maka tampaknya Taufik Ismail memang benar dalam meratap : "Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi".
Cara terbaik demi membantah mahasyair Taufik Ismail yang berjudul "Malu Aku jadi Orang Indonesia", adalah kita mulai dari diri kita masing-masing.
Sebaiknya kita masing-masing mulai cermat dan seksama melakukan mawas diri sambil mawas lingkungan demi mampu meletakkan rasa malu kita masing-masing secara proporsional pada letak, arah serta takaran yang tepat dan benar bagi bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok diri sendiri, namun demi kepentingan negara, bangsa dan rakyat Indonesia.
Insya Allah, pada suatu hari Taufik Ismail berkenan menggubah syair berjudul "Bangga Aku jadi Orang Indonesia".
*) Penulis adalah seniman dan budayawan, pembelajar budi pekerti