Jumat 13 Oct 2017 21:22 WIB
Inspira

Menikah Menunggu Mapan

Erik Hadi Saputra
Foto: dokpri
Erik Hadi Saputra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Hadi Saputra, Kaprodi S1 Ilmu Komunikasi dan Direktur Kehumasan & Urusan  Internasional, Universitas AMIKOM Yogyakarta

Pembaca yang kreatif, saya tidak tahu bagaimana suasana hati anda ketika membaca judul ini. Kisah ini bermaksud memberikan apresiasi kepada sahabat saya William Nata Atmaja, yang suatu ketika menampilkan gambar di profil media sosialnya dengan judul 'Nikah Nunggu Mapan'. 

Isinya sebagai berikut: Menikah menunggu mapan membutuhkan Rp 350 juta untuk rumah, Rp 150 juta untuk mobil dan Rp 100 juta untuk biaya resepsi. Totalnya adalah 600 juta. Jika gaji seseorang Rp 3 juta sebulan, maka 600:3=200 bulan. Maka kesimpulannya dibutuhkan 16 tahun 8 bulan untuk menikah ketika kehidupan seseorang itu harus mapan, itupun jika uangnya tidak pakai makan.

Pembaca yang kreatif, jika yang dimaksud mapan itu adalah fasilitas maka kebanyakan orang yang telah menikah yang saya temui mengatakan mapan itu berproses. Terbelenggu dengan pemikiran tersebut, dimana menikah harus mapan agaknya bisa sedikit diturunkan lebih fleksibel melihat keadaan yang ada. 

Beberapa teman dan relasi yang merasakan menikah dengan persiapan 1 tahun dibandingkan dengan persiapan 3 bulan bisa saja hasilnya akan sama, karena sibuknya pastilah 1 bulan menjelang hari H. Lalu jika Anda memang sudah lulus kuliah dan sudah bekerja atau berwirausaha, maka renungkanlah.

Pembaca yang kreatif, dalam kehidupan ini ada beberapa orang asyik bermain menikmati keindahan dan keadaan yang ada. membuat diri nyaman karena semuanya berjalan sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan. 

Tanpa terasa waktu berlalu dan membuat dirinya tenggelam sampai ke dasar frustasi, lalu mengatakan "Tidak ada yang mau (suka) dengan saya?". apakah Anda pernah mendengar perkataan seperti itu? Pada satu pelatihan kecakapan antarpersonal saya pernah menyampaikan bahwa ”Jika seseorang mengatakan, tidak ada yang suka dengan saya?" satu hal yang harus dipahami adalah seorang pribadi manapun akan senantiasa memilih orang yang lebih baik dari dirinya. 

Misalnya begini, seorang lelaki yang bernama Budi berada di posisi B. Maka Budi akan senang melihat seseorang yang berada di posisi A. Orang yang berada di posisi A akan melihat seseorang yang berada pada level A+. Sebenarnya yang menyukai Budi juga ada, yaitu yang berada di level C, namun Budi tidak pernah meliriknya sedikitpun. Jadi kapan ketemunya?

Idealnya, Budi menemukan orang yang satu level dengannya. Ternyata itu tidak mudah dan memang membutuhkan waktu, tenaga, dan pikiran. Karena itulah tantangannya. Salah satu solusinya adalah naik atau turun level. Budi naik ke level A atau yang lain turun menyesuaikan Budi ke level B atau yang mungkin jarang terjadi adalah Budi turun ke level C. Tentunya tidak semua orang mau melakukan itu. Selalu harapannya adalah berada pada level yang sama, bahkan kalau bisa level yang lebih tinggi.

Pembaca yang kreatif, Seorang teman pernah mengirimkan kata-kata bijak kepada saya lewat email yang isinya ”Bagaimanakah orang yang bahagia itu?” Lalu penjelasannya demikian, bahwa orang yang bahagia itu akan selalu yang pertama, menyediakan waktu untuk membaca, karena membaca itu sumber hikmah. Kedua, menyediakan waktu tertawa, karena tertawa itu musiknya. Ketiga, menyediakan waktu untuk berpikir, karena berpikir itu pangkal kemajuan. 

Keempat, menyediakan waktu untuk beramal mulia, karena beramal itu pangkal kejayaan. Kelima, menyediakan waktu untuk bercanda, karena bercanda itu akan membuat muda selalu. Terakhir, menyediakan waktu untuk beribadah, karena beribadah adalah ibu dari segala ketenangan jiwa; dan salah satu lengkapnya ibadah itu adalah dengan menikah. Sehat dan sukses selalu.

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement