REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hery Haryanto Azumi, Sekjen PB-MD Hubbul Wathon/Wasekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)/Ketua Umum PB PMII 2005-2008
Nahdlatul Ulama (NU) baru saja menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada 23-25 November 2017 lalu. Salah satu rekomendasi penting dalam kegiatan terbesar kedua setelah muktamar itu terkait bidang ekonomi dan kesejahteraan.
Dalam rekomentasi itu, NU mendorong pemerintah mendukung program ekonomi warga melalui perluasan kesempatan kerja untuk mengurangi pengangguran dan ketimpangan dengan menciptakan iklim usaha mikro-menengah-besar yang kondusif. Pasalnya, NU melihat persoalan ketimpangan telah menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan nasional.
Berdasarkan data World Bank (2015), misalnya, Indonesia adalah negara peringkat ketiga tertimpang setelah Rusia dan Thailand. Rasio Gini mencapai 0,39 dan indeks gini penguasaan tanah mencapai 0,64. Dan satu persen orang terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan nasional, 0,1 persen pemilik rekening menguasai 55,7 persen simpanan uang di bank.
Di sini, kekayaan Indonesia dimonopoli oleh segelintir orang yang menguasai lahan, jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan, ataupun obligasi pemerintah. Tentu sebagai organisasi terbesar dan terbukti memiliki kiprah tak terbantahkan dalam mengawal republik ini, NU tidak boleh hanya diam dan menutup mata melihat realitas itu.
Menjelang usianya yang hampir satu abad, yakni 91 tahun, NU harus mampu melakukan satu langkah nyata di bidang ekonomi dan kesejahteraan. Dalam hal ini, saya teringat apa yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla (2015) terkait sejumlah tantangan NU pasca-reformasi.
Pertama, tantangan ideologis, yakni bagaimana peran NU dalam menjaga Pancasila dari rongrongan ideologi asing. Kedua, tantangan kemajuan, yakni peran NU dalam konteks memajukan bangsa, mengubah masyarakat kita yang konsumen menjadi produsen, unggul secara ekonomi, sejahtera, dan mampu bersaing di kancah global.
Tentu untuk tantangan yang pertama, menurut hemat saya, peran NU sudah cukup dominan. Namun, belum untuk tantangan kedua. Secara internal, saya justru melihat adanya kecenderungan dari kelompok muda NU masih terjebak pada nostalgia sejarah emas masa lalu.
Padahal, selain soal ekonomi dan kesejahteraan, mengutip Greg Barton (2015), tantangan besar NU mendatang adalah bagaimana mampu menerjemahkan apa yang disebut Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
Artinya, NU yang merupakan organisasi dengan sumber daya manusia (SDM) berlimpah memiliki tanggung jawab sebagai primus interpares dalam menjawab tantangan kemajuan (ekonomi dan kesejahteraan) di satu sisi, dan menerjemahkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam ke dalam tataran lebih konkret di sisi lain.