Ahad 24 Dec 2017 05:18 WIB

Perkawinan Rekan Sejawat dalam Perspektif Manajemen

Red: Muhammad Fakhruddin
Dr Arissetyanto Nugroho, praktisi manajemen dan pemerhati isu kebangsaan.
Foto: dok pri
Dr Arissetyanto Nugroho, praktisi manajemen dan pemerhati isu kebangsaan.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Dr Arissetyanto Nugroho

(Praktisi Manajemen dan Pemerhati Isu Kebangsaan)

‘Bener nanging Ora Pener’, ungkapan penuh makna dari budaya Jawa perlu bersama kita resapi. Ungkapan yang bermakna benar tapi tidak tepat itu cukup tepat digunakan untuk membaca keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pembatalan Pasal 153 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang kini jadi pembicaraan publik.

Putusan MK dalam nomor perkara 13/PUU-XV/2017 bermula dari gugatan karyawan PLN, yakni Jhoni Boetja, Edy Supriyanto Saputro, Airtas Asnawi, Syaiful, Amidi Susanto, Taufan, Muhammad Yunus, dan Yekti Kurniasih. Mereka menggungat putusan manajemen PLN yang memberhentikan salah satu karyawannya yang memiliki pertalian perkawinan rekan sejawat.

Pandangan pihak pemohon tersebut didasari pada Pasal 28 D UUD 1945 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia, dimana perkawinan merupakan hak individu dan merupakan takdir yang tak bisa dielakan. Sehingga pertalian perkawinan itu tidak dapat direndahkan dalam aturan apapun, termasuk aturan perusahaan.

Perkawinan dan Produktivitas

Perusahaan dalam prespektif manajemen merupakan sebuah lembaga usaha yang memiliki tujuan pada upaya memberikan manfaat ekonomis, sosial dan kemanusiaan. Demikian setidaknya yang tersirat dalam Pasal 1 angka 3 UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dimana peran perseroan atau perusahaan tidak hanya lagi memberikan manfaat ekonomi saja, tetapi juga manfaat sosial dan lingkungan sekitarnya.

Tinjauan tersebut menempatkan setiap perusahaan wajib mengelola lingkungan internal dan eksternalnya, demi pencapaian tujuan utuh perusahaan. Pemahaman ini menggerakan perusahaan menerbitkan berbagai aturan, yang kemudian membentuk proses bisnis yang diarahkan pada orientasi jangka panjang. Tidak hanya pada kepentingan sesaat, apalagi kepentingan ekonomi jangka pendek. 

Proses bisnis yang dibangun perusahaan akan menata pula kehidupan pribadi karyawan yang bersentuhan pada kepentingan perusahaan. Adapun yang diatur itu antara lain insentif, tunjangan, asuransi jiwa, kecelakaan diri, dana hari tua dan sebagainya, termasuk pula perkawinan rekan sejawat.

Dalam perkawinan rekan sejawat sejumlah perusahaan di Indonesia lebih dominan memberikan larangan. Alasannya, demi menjaga iklim produktivitas perusahaan, sekaligus mencegah berbagai hal buruk. Bukan bermaksud menghalangi pemenuhan Hak Asasi Manusia. 

Dalih pelarangan nikah sejawat yang disampaikan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) bukan tanpa alasan seirus. APINDO meyakini perkawinan rekan sejawat menimbulkan konflik kepentingan dan menggangu produktivitas. Bahkan bisa pula memberikan pengaruh tidak baik dalam lingkungan perusahaan, juga relevan.

Kekhawatiran menurunnya produktivitas sebagai akibat dari perkawinan rekan sejawat cukup terbukti melalui sebuah riset. Pada tahun 2005 satu Lembaga Pengembangan Karier bersama American Management Association melakukan survey nasional di negara bagian Amerika tentang perkawinan rekan sejawat ini.

Menariknya, dalam riset berjudul "Working With A Spouse Proves to be Challenging Beneficial" itu menyimpulkan fakta menarik. Yakni karyawan yang terlibat perkawinan rekan sejawat akan menurun produktivitasnya antara 14-20 persen.

Selanjutnya, dijabarkan pula penuruan produktivitas karyawan itu berkaitan dengan alokasi waktu yang dimanfaatkan lebih besar digunakan bukan untuk bekerja, melainkan untuk kegiatan obrolan atau dialog yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. Meski demikian terdapat catatan kalau penurunan produktivitas tersebut berkaitan pula dengan kemampuan karyawan mengelola hubungan pribadinya.

Selain itu pula karier karyawan yang terikat perkawinan rekan sejawat akan memiliki implikasi di lingkungan kerjanya. Pertama, jika dua karyawan yang terikat perkawinan tersebut memiliki karir yang baik, maka sulit bagi lingkungan kerja memberikan penilaian objektif. Karena menilai karier dua karyawan itu didasari kerja sama yang tidak sehat.

Kedua, jika dua karyawan yang terikat perkawinan tersebut memiliki potensi baik, namun mengundurkan diri. Maka perusahaan akan kehilangan karyawan berprestasi dalam jumlah banyak. Sekaligus sulit mencari penggantinya secara bersamaan. Ketiga, jika satu diantara dua karyawan yang terikat perkawinan mengalami persoalan perusahaan, maka citra pada pribadi karyawan yang menjadi pasangannya ikut terpengaruh.

Perlu ditambahkan pula sejumlah riset Psikologi memberikan catatan serius tentang kehidupan perkawinan. Ketidakmampuan mengelola hubungan dengan pasangan bisa membuat hubungan kurang harmonis. Hal ini bisa terjadi pada pasangan yang menjalin perkawinan dengan sesama rekan kerja. Karena perjumpaan yang terjalin setiap saat, baik di rumah maupun di kantor. Akibatnya membuat kejenuhan hubungan perkawinan.

Konflik Kepentingan

Pertalian perkawinan rekan sejawat yang kemudian dibatalkan melalui putusan MK, sejatinya ikut mempengaruhi penataan kegiatan bisnis perusahaan yang selama ini terjadi. Keputusan MK itu memaksa perusahaan mengevaluasi peraturan yang berlaku. Dengan tidak semata mempertimbangan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta penerapan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam kegiatannya.

Pertalian perkawinan rekan sejawat dalam prepektif manajemen membuka celah terjadi berbagai persoalan. Beberapa hal yang mungkin terjadi dari perkawinan rekan sejawat itu adalah tindak kecurangan atau fraud . Baik itu kecurangan yang dilakukan karyawan maupun kecurangan manajemen. Semua itu tentu terjadi dengan upaya persengkongkolan yang lebih berpeluang terjadi pada hubungan pertalian perkawinan sejawat.

Harus diakui kasus kecurangan perusahaan sulit dideteksi. Jika lengah sedikit saja, maka uang perusahaan dapat habis digunakan tanpa menghasilkan keuntungan yang berarti. Tindakan kecurangan bisa dilakukan dengan berbagai macam, antara lain; kecurangan karyawan, kecurangan manajemen dan kecurangan pihak ketiga.

Apalagi jika pihak yang memiliki pertalian perkawinan sejawat menempati posisi strategis, peluang kecurangan lebih mudah terjadi. Dampaknya kerugian perusahaan semakin besar. Terlebih jika instrument kontrol keuangan dalam perusahaan itu tidak terlalu kuat. Itu artinya karyawan lainnya harus menanggung beban perusahaan.

Semua penjabaran di atas akan memiliki implikasi luas dan sangat buruk, jika terjadi pada perusahan milik negara seperti BUMN atau instansi pemerintah yang strategis. Peluang terjadinya kecurangan dan ketidakharmonisan perusahaan akibat konflik keluarga bisa mempengaruhi kinerja perusahaan negara dan instansi pemerintah itu.

Tidak itu saja, perkawinan rekan sejawat juga menjadi bertentangan dengan semangat pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Sebagimana diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Menumbuhkan semangat melawan KKN sesungguhnya menjadi ruh gerakan reformasi, yang berharap mengantarkan Indonesia pada pencapaian kesejahteraan sesuai amanat konstitusi. 

Perceraian dan Beban Perusahaan

Biro Pusat Statistik pada laman resminya mencatat kenaikan angka perceraian dari tahun 2012 – 2015. Pada tahun 2012 angka perceraian mencapai 346.480 pasangan, tahun 2013 sebanyak 324.247 pasangan, tahun 2014 sebanyak 344.237 pasangan. Bahkan tahun 2015 mencapai 347.256 pasangan. Padahal jumlah angka perkawinan pada rentang waktu yang sama tahun 2012 – 2015 menunjukan angka penurunan.

Berbekal laporan BPS tersebut menjadi menarik bagi perusahaan untuk menyikapi putusan MK terkait perkawinan rekan sejawat. Kasus perceraian tersebut bisa pula terjadi pada karyawan perusahaan. Termasuk pula karyawan yang terlibat perkawinan rekan sejawat. Dengan demikian dampak perceraian karyawan akan juga mempengaruhi produktivitas karyawan. 

Terkait perceraian itu perusahaan perlu menyiapkan antisipasi dampak perceraian. Karena kondisi psikologi karyawan yang mengalami perceraian butuh dukungan besar. Hal tersebut perlu peran perusahaan agar kondisi psikologi karyawan yang mengalami perceraian dapat segera pulih. Dengan menyiapkan mental healing center atau lembaga konsultasi yang bertujuan bagi perbaikan mental karyawan yang mengalmai perceraian.

Penyiapan lembaga konsultasi khusus bagi karyawan secara praktis membebani biaya perusahaan. Hal tersebut menambah beban perusahaan serta berpengaruh bagi target perusahaan dalam jangka panjang. Inilah faktanya.

Meski demikian putusan MK yang bersifat final itu patut dihormati. Perusahaan swasta, perusahaan negara dan instansi pemerintah wajib menjunjung tinggi keputusan Mahkamah Konstitusi, dengan menerapkan dan menyesuaikan aturan perusahaan terhadap keputusan MK. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement