REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Soenarwoto Prono Leksono *)
"Cak..," panggil jamaah tunanetra setelah tawaf wadak. Tawaf pamitan hendak meninggalkan Tanah Suci. "Mana tangan sampean. Ini mumpung belum meninggalkan Tanah Suci, ayo antarkan saya sekarang memegang Ka'bah," pintanya.
Hati saya seketika didera rasa haru. Haru sekali. Merasa iba kepada jamaah tunanetra itu. Jauh-jauh datang ke Tanah Suci, ia tak bisa melihat elok dan keagungan Ka'bah. Bersamaan itu rasa syukur berlipat-lipat muncul di dada. "Alhamdulilah," gumam saya dengan air mata menetes. Menangis.
Namun, saya segera ditegur oleh jamaah tunanetra itu. "Cak, tak perlu menangis. Saya bukan tidak bisa melihat Ka'bah. Saya bisa melihat dengan sangat jelas. Jelas sekali dengan mata batin ini. Tangan sampean saya ajak memegang Ka'bah tadi, itu karena saya ingin bersaksi. Bahwa, saya bisa ke tanah suci ini berkat wasilah sampean," katanya.
Bukan hanya rasa haru, kini rasa malu juga berlipat-lipat di dada. "Ampuni hamba yang berlumur dosa ini, Ya Rabb. Ampuni segala salah dan dosa hamba. Mata saya, mulut saya, telinga saya, tangan saya, kaki saya, pikiran, hati, dan seluruh anggota tubuh saya yang normal ini, yang saya banggakan dan yang kerap mencipta salah dan dosa ini," panjat saya di depan Ka'bah.
Ketika saya sedang bermunajat, jamaah tunanetra itu memegang tubuh saya. Diajaknya berdiri. "Sudah Cak, sudah. Ayo kita pulang, ayo kita kembali ke hotel. Para jamaaah pasti sudah menunggu sampean. Sampean ini seperti baru pertama kali ke sini. Bukankah sampean ini setiap bulan selalu datang ke sini," kata jamaah tunanetra.
Saya terdiam. Rasa syukur pun kian muncul di dada. Rasa syukur karena memang hampir setiap bulan saya bisa datang di tanah suci, tempat yang istijabah ini untuk bermunajat dan memohon ampunan-Nya. "Salah dan dosa saya banyak sekali. Sumbernya, ya dari pancaindera yang normal ini," ucap saya terus terang kepada jamaah tunanetra.
Mendengar ucapan saya ini jamaah tunanetra gantian terlihat sedih. Sedih sekali. Rasa sedih itu terlihat menggumpal pada rautnya. "Astaghfirullah.., ampuni dosa hamba Ya Rabb. Jika tidak Engkau ampuni, lalu kepada siapa hamba memohon ampun," ucap jamaah tunanetra itu mengiba.
Dulu, menurutnya, ia sering mengeluhkan keadaannya yang cacat. Terlahir dalam keadaan tunanetra. Begitu pula terlahir dari orangtua yang fakir lagi miskin, sehingga ia harus terdampar di Panti Asuhan Tunanetra di Ponorogo. Ternyata, dengan kodrat terlahir buta dan miskin itu kini dirasakan dirinya penuh barokah. Tidak banyak berbuat dosa seperti orang normal kebanyakan.
"Alhamdulillah, saya terima keadaan ini Ya Rabb," ucap jamaah tunanetra dengan penuh syukur dan melihati Ka'bah tiada henti sebelum pergi meninggalkan Tanah Suci.
*) Penulis tinggal di Jawa Timur