REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ajeng Ritzki Pitakasari/ Editor Republika Online
Sejak pertama protes meletus di Suriah pada 2011, dunia menyaksikan Presiden Bashar Al Assad langsung menggunakan strategi 'main gebuk dan hantam'. Ketika ia menyerang massa unjuk rasa dengan tank dan senapan, ia mengubah demonstran damai menjadi milisi bersenjata.
Dengan membombardir gedung dan tempat tinggal, ia mencabut rakyat dari akarnya. Lebih buruk, dengan mendorong saudara-saudara Alawitnya membantai mayoritas Sunni, ia memunculkan pertikaian sekterian dan membuat sejumlah golongan tetap mendukungnya karena takut kejatuhan Assad akan memicu balas dendam mengerikan.
Darah Suriah kini mengalir bebas dan kebencian sekterian mendidih di mana-mana. Walaupun Assad tak lagi bisa mengendalikan negaranya, ia masih memiliki alasan untuk berperang. Ia diprediksi tak akan bertahan, meski bisa jadi butuh waktu lama untuk menunggu ramalan itu terwujud.
Assad masih menikmati loyalitas aliran Alawit dan sebagian dukungan rakyat Suriah yang cemas atas apa yang terjadi berikutnya bila negara itu tanpanya. Sang Presiden juga masih menjadi komandan 50 ribu tentara yang setia dan sepuluh ribuan lagi rakyat bersenjata--yang meski tak terlatih--siap untuk berperang.
Sejauh ini pertempuran telah merenggut 70 ribu lebih nyawa, puluhan ribu lagi menghilang. Rezim juga mengunci 150-200 ribu warga di balik jeruji. Lebih dari 2 juta orang terkatung-katung di negara itu, berjuang mencari makan dan perlindungan. Kemudian hampir 1 juta lagi tinggal di kemah-kemah pengungsian di negara perbatasan.
Terhadap penderitaan dengan skala di luar akal sehat manusia, Amerika Serikat memilih berhati-hati tak melibatkan diri. Setelah belajar dari kasus Afghanistan dan Irak, AS cemas tersedot dalam situasi karut-marut yang telah diciptakan Assad.
Barack Obama tak mungkin tidak paham, AS--sebagai negara yang masih adidaya--pada akhirnya akan terseret ke dalam pusara Suriah. Bila peperangan berlanjut, hampir semua kepentingan yang ingin diraih AS di Timur Tengah dipastikan menjadi lebih sulit dicapai
Suriah memberikan ancaman lebih berbahaya saat ini ketimbang pada Oktober lalu, ketika muncul seruan untuk menerapkan zona larangan terbang. Setidaknya, cara itu bisa memaksa Assad tak menggunakan pesawat perang untuk menyerang warganya sendiri. Tak ada tanggapan dari Gedung Putih.
Ada yang perlu dikalkulasi dari konstelasi di Suriah. Bila negara itu terpecah ia sanggup membelah Lebanon karena Assad cenderung mengaduk pengaruh terhadap pendukungnya di sana.
Lalu Jordan yang rapuh dan miskin bisa dibuat tak stabil oleh jumlah pengungsi masif dan ancaman sekterian yang merembet. Negara kaya minyak Irak juga terancam tak bisa mempertahankan kedaulatan mengingat saat ini pun mereka terus diguncang dengan pertikaian Sunni-Syiah. Situasi di Suriah sanggup menyebarkan kekerasan antargolongan ini dan meningkatkan ke level yang tak ingin dibayangkan orang.
Harus diingat pula senjata kimia Assad mungkin masih aman dalam gudang. Tapi peluang apa pun bisa terjadi jika situasi kian memburuk. Senjata itu bisa jatuh ke tangan berbahaya seandainya suatu saat Assad terguling. Amerika Serikat mungkin ingin menghindari Suriah, tapi tangan Suriah tetap datang dan menjangkau.
Gedung Putih telah menugaskan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry. Ia baru saja menjalani waktu 'perjalanan penuh dengan penderitaan' di Teluk. Ia harus bisa mencintai mereka semua--para raja, pangeran, syeikh dan emir--karena ia butuh dukungan mereka demi melawan Bashar al Assad.
Oh tentu saja, mereka para raja dan emir mengirimkan uang tunai dan senjata kepada kepada oposisi Suriah. Tetapi oposisi yang mana? Apakah itu oposisi yang diharapkan Amerika Serikat? Tipe oposisi yang dianggap AS lunak dan bersahabat dengan Barat?
Mereka yang berasal dari Tentara Pembebasan Suriah (FSA) , atau mereka dari aliran garis keras yang menolak unsur Barat, yang notabene juga ikut angkat senjata memerangi Assad?
Saat berkunjung ke Qatar, pengganti Hillary Clinton itu berjanji AS siap memberi 'jaminan lebih besar' bahwa senjata akan dikirim ke grup 'moderat' di Suriah. Jaminan itu boleh jadi betul, namun ketika Saudi dan Qattar mengirimkan bantuan versi mereka ke tipe oposisi yang bukan diinginkan AS, pekerjaan Kerry tampak sia-sia.
Mengapa Arab Saudi harus menahan diri dari membantu milisi garis keras anti-Syiah di Suriah?
Semua negara Teluk setuju bahwa Bashar sudah membuat kekejian dan pekerjaan kotor terhadap rakyatnya sendiri. Hanya saja, apakah Saudi, Qatar, dan negara Teluk lainnya dikenal negara yang membebaskan rakyatnya, memiliki parlemen yang adil, demokrasi dan catatan HAM baik?
Suatu waktu, Saudi pernah mengecam habis-habisan aksi rudal Scud milik Assad. "Ini tak boleh berlangsung," tegas Menteri Luar Negeri, Pangeran Saud al-Feisal kepada Kerry. Semua berkata demikian. Faktanya, serangan masih terus berlanjut, sementara Saudi, Qatar dan juga AS tetap tidak melakukan apa pun.
Kerry tak bisa menjawab pula saat ditanya ke oposisi manakah senjata Saudi akan di kirim. Alih-alih ia memutar topik dan berbicara tentang pasokan senjata Rusia, Iran, Hizbullah kepada rezim Assad.
Lalu, untuk kali pertama AS menyuarakan kepastian sikap lewat pidato 'istimewa' Kerry di Riyadh. "Amerika Serikat akan terus bekerja sama dengan sahabat kami untuk memberdayakan oposisi Suriah demi harapan membawa perdamaian dalam revolusi."
Adakah yang mau bertaruh negara Arab dan Amerika Serikat tidak memiliki agendanya sendiri? Mungkin kita juga tak bisa berharap banyak dari Pemerintah Indonesia, negara yang selama ini disebut Big Brother' oleh Timur Tengah karena menjadi negara yang bermayoritas penduduk Muslim.
Lupakan bantuan uang, bantuan kemanusiaan, perban, makanan, kendaraan lapis baja nontempur dari AS. Satu yang pasti Assad terus menggempur. Seluruh senjata dan moncong senapan konsisten diarahkan kepada rakyatnya.
Sahabat? Pemberdayaan? Harapan? Damai? Mari tanyakan kepada murid sekolah dasar, apa artinya kata-kata tadi lalu kita cari bukti konkretnya di Suriah.
Jangan salahkan bila rakyat Suriah merasa diabaikan dan dibiarkan sendiri. Jangan heran pula bila Assad masih terdengar percaya diri.