REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hafidz Muftisany/ Redaktur Republika
Halaman apa yang paling menarik Anda baca di surat kabar selain olahraga? Pernah rajin membaca kolom iklan baris sebelum halaman lain? Itu yang saya lakukan beberapa tahun silam. Kolom iklan baris yang berisi lowongan pekerjaan selalu menarik. Tentu, bagi pencari kerja.
Ada iklan yang pernah menarik perhatian saya. Kerjanya part time, dijanjikan berpendapatan Rp 2 juta per bulan. Di Kota Gudeg, angka segitu menggiurkan untuk ukuran part time.
Saat saya mendatangi lokasi yang dimaksud, yang saya lihat bejubel orang dengan baju rapi antre mendengar penjelasan. Yang ternyata pekerjaan multilevel marketing (MLM). Iklan yang sama bertebaran mulai dari kaca angkot, hingga tiang lampu lalu lintas.
Kita pun dengan mudah menemukan kerumunan yang serupa di tempat-tempat ini, //job fair// di kampus, antrean SKCK polres, dan tes CPNS. Motivasinya serupa, mencari kerja.
Betapa mencari pekerjaan sangat sulit di negara ini. Tawaran penuh “gula-gula” diambil dulu, pikir belakangan. Maka tak heran, meski moratorium pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terjadi, jalur ilegal tetap marak. Kebutuhan perut mengalahkan logika-logika. Dan, ini yang dimanfaatkan oknum culas dengan modus perbudakan, trafficking, atau penyalur TKI ilegal.
Belum hilang heboh “perbudakan” buruh pabrik wajan di Tangerang, di kota sebelah, 88 calon pembantu rumah tangga ditemukan disekap. Sebelumnya, di Jakarta Selatan modus yang sama menimpa 20-an wanita muda. Mereka tak boleh menghirup udara bebas, ditampung dalam kamar sempit, dan diberi makanan basi.
Kita lantas bertanya, makhluk setega apa yang memperlakukan orang yang benar-benar butuh pekerjaan itu seperti budak. Jika ada kasus seperti ini, kita tentu pasrahkan kepada hukum. Bicara hukum, selain kepolisian, ada regulator yang bertanggung jawab. Dalam hal ini, pemerintah tentu saja.
Sejak satu dekade lalu, hingga kini jika ada masalah ketenagakerjaan solusinya masih sama, perbanyak lapangan kerja. Kata-kata penenang itu juga masih menjadi jualan para juru kampanye. Artinya, dari era Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono, lapangan pekerjaan yang dijanjikan itu tak pernah cukup.
BPS mengklaim, jumlah pengangguran terbuka hingga Februari 2013 tinggal 5,92 persen dari angkatan kerja. Kita berharap, angka penurunan pengangguran itu benar adanya di lapangan. Tapi, dari total 114 juta orang yang bekerja, 47,9 persennya masih didominasi lulusan sekolah dasar. Artinya, bisa jadi banyak pekerja yang belum melek regulasi, minim perlindungan, dan sadar hukum.
Kasus buruh wajan dan calon PRT disekap di Tangerang akhirnya menjadi lumrah karena kita terus temui. Kasus TKI overstay di Arab Saudi menjadi rutinitas. Pemulangan TKI ilegal menjadi program kerja tahunan.
Sudah masalah UMR menjadi tema demo buruh tahunan, perlindungan tenaga kerja juga tak kunjung diseriusi. Di negara ini, yang dibutuhkan cuma ketegasan. Mengatasi kejumudan, gebrakan wajib hukumnya. Sikat penyalur TKI ilegal, setop pengiriman TKI informal, lindungi pekerja domestik, dan TKI tanpa kompromi.
Saya ini pekerja, sama seperti mbak-mbak yang mendapat perlakuan tak manusiawi itu, sama-sama mengharapkan perlindungan agar bisa bekerja dengan aman dan nyaman. Pembaca setia kolom lowongan kerja tentu berharap berita tentang para pekerja tak berpindah ke halaman kriminal.