REPUBLIKA.CO.ID, Asep Sapa’at, Pemerhati Karakter Guru di Character Building Indonesia
Cermati ekspresi siswa Indonesia ketika dinyatakan lulus, hampir tak pernah seragam. Hal yang amat kontras dengan sistem evaluasi Ujian Nasional (UN) yang wajib di-SERAGAM-kan. Ada siswa yang bersujud syukur karena lulus. Meski dilarang, aksi corat-coret seragam masih jua terjadi. Yang terkini, joged bersama di jalanan. Yuk ‘joged lulus’, goyang. Tepok jidat deh.
Kata lulus jelas punya makna, tersurat maupun tersirat. Makna itu bisa dipahami karena usaha berpikir seseorang. Hasil pemikiran bisa lahir karena baca buku, diskusi dengan orang lain, atau percaya begitu saja apa kata orang. Ekspresi sikap saat lulus, itulah wujud hasil berpikir siswa dalam memaknai kata ‘lulus’.
Cara sekolah mendidik turut mempengaruhi gaya berpikir dan bersikap siswa dalam menyikapi sesuatu. Inilah persoalan utamanya, mengapa sekolah tak berhasil mendidik anak-anaknya untuk bersikap baik ketimbang berperilaku urakan dalam merayakan kelulusan? Mengapa perilaku baik siswa tak bisa diseragamkan saat pengumuman kelulusan?.
Memang banyak siswa bisa lulus ujian. Tapi berapa banyak siswa yang bisa menggunakan kelulusannya dengan baik? Banyak siswa keliru memahami makna lulus, maka apa yang telah diajarkan di sekolah? Sudah selesaikah tugas mendidik siswa setelah mereka lulus?
Jika siswa Indonesia lulus UN, kita boleh senang tapi tak boleh sombong. Apalagi terbuai indahnya kata ‘lulus’. UN itu baru menguji kadar pengetahuan siswa. Sesuatu yang mudah dihitung, terukur, tapi belum tentu berharga bagi masa depan siswa.
Yang jadi soal, yakinkah semua siswa kita jujur jawab soal-soal UN? Siswa Indonesia yang senang bukan kepalang karena lulus lewat cara curang, bukti pendidikan karakter hanya wacana saja. Sesuatu yang tak pernah disadari, tak dianggap kekeliruan, dan tak pernah menggerakkan pengambil kebijakan untuk bertobat.
Persoalan mendasar pendidikan kita adalah tak bisa bedakan makna mengajar dan mendidik. Mengajar itu transfer pengetahuan. Mendidik bicara soal proses berbudi pekerti, latihan tiada henti untuk membenahi perilaku.
Lulus UN itu baru sebatas bicara potret keberhasilan mengajar. Yang entah apakah cara mengajar guru berbanding lurus dengan hasil UN atau sebaliknya. Pemerintah tak pernah ungkap jelas soal yang satu ini. Yang sudah dilakukan, nama-nama siswa yang bertengger di urutan 20 – 25 peraih nilai UN tertinggi dipublikasikan di media cetak.
Untuk apa dan untuk siapa data itu? Mengapa tak sekalian disampaikan ke publik nama-nama pejabat publik, oknum kepala sekolah, oknum guru, dan semua yang terlibat kecurangan UN? Biar top markotop datanya.
Dunia adalah sarana bagi manusia melewati babak perjalanan hidup. Sesekali penuh intrik. Tak jarang banyak episode senda gurau. Simak hal unik dan menarik dari fenomena UN. Ada siswa mengulang 3 kali ikut UN karena bercita-cita ingin lulus dengan cara jujur. Sang juara kelas bisa tak lulus UN. Yang bunuh diri karena tak siap menghadapi kenyataan tak lulus UN juga masih ada saja. Bisakah pengambil kebijakan kita berpikir?
Jujur sesungguhnya normatif, tak istimewa-istimewa amat. Namun jujur terlanjur jadi barang langka hingga amat luar biasa di Indonesia. Dalam masyarakat sakit, yang korupsinya akut, siswa jujur dianggap sakit, aneh, dan pandir sekali.
Tapi lihat siswa yang berjoged-joged ria, ugal-ugalan di jalan, corat-coret seragam, meski lulus pun, kita terkesiap, mau jadi apa mereka? Apalagi jika lulus dengan culas, apa yang bisa diharap dari generasi seperti ini? Apakah perilaku mereka hasil pendidikan kita selama ini?
Jika kata ‘lulus’ kita umpamakan bermakna sukses, maka proses berjalan tak bisa dikatakan sukses. Karena sejatinya lulus ujian di bangku sekolah adalah sebuah proses perjalanan. Setelah lulus SD, ada ujian di SMP. Setelah ujian SMP dilewati, ujian di SMA siap menghadang, dan seterusnya. Permainan belum benar-benar berakhir.
Pun ketika kita sudah lulus meraih gelar doktor, misalnya, apakah kita sudah benar-benar lulus? Jika pun terpaksa kita katakan lulus adalah sukses, maka hakikatnya itulah kesuksesan semu yang bersifat sementara. Dan hal itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban, beranikah katakan lulus?
Karena kehidupan terus berjalan, maka mampukah kita bisa lulus dengan predikat baik atau buruk saat kita wafat? Itulah yang jadi misteri dan tak pernah mudah diprediksi. Dan sadarilah, masa depan kita terletak pada akhlak perilaku kita, bukan semata karena kehebatan isi kepala kita, limpahan kekayaan, menterengnya jabatan, dan aspek materi lainnya.
Saya khawatir pelajaran seperti ini lupa diajarkan di keluarga dan sekolah-sekolah kita. Dan pendidikan pun berlangsung tanpa nilai-nilai. Salah satu faktor yang membuat anak-anak kita mudah kehilangan arah dan cenderung tak punya jati diri.