REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fernan Rahadi
Sungguh disayangkan. Kongres tahunan PSSI yang berlangsung di Hotel Borobudur, Jakarta, pekan lalu tiba-tiba berubah menjadi ajang menghujat Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Penyebabnya tak lain adalah diumumkannya komposisi Tim Sembilan oleh Menpora Imam Nahrawi pada 2 Januari 2015 lalu.
Target Tim Sembilan sebenarnya tidak terlalu muluk-muluk. Tim yang beranggotakan para tokoh dari berbagai bidang tersebut bertugas untuk melakukan pembenahan terhadap PSSI. Sejak awal, tim ini menegaskan tidak akan membekukan PSSI seperti yang selama ini sering digaungkan di tengah-tengah masyarakat.
Pembentukan Tim Sembilan di antaranya dilatarbelakangi kegagalan tim nasional Indonesia pada Piala AFF 2014 serta insiden sepak bola gajah pada babak delapan besar Divisi Utama 2014 antara PSS Sleman melawan PSIS Semarang.
Masyarakat memang bereaksi sangat keras terhadap dua peristiwa tersebut. Tersingkirnya Indonesia pada penyisihan grup Piala AFF dianggap merupakan titik terendah prestasi tim yang sempat dijuluki Macan Asia tersebut. Apalagi dalam prosesnya, skuat Garuda kalah 0-4 dari Filipina, tim yang selama ini sering menjadi bulan-bulanan tim Merah-Putih.
Sementara, kasus sepak bola gajah telah membuat nama Indonesia tercemar di kancah internasional. PSSI, melalui Komite Disiplin, pun terang-terangan menyatakan tak mampu mengusut siapa dalang dari peristiwa yang diyakini merupakan buntut dari praktik suap dan pengaturan skor (match fixing) tersebut.
PSSI hanya memberikan hukuman sebatas kepada para pelaku yang terlibat di lapangan pertandingan. Sedangkan aktor intelektualnya sampai sekarang masih berkeliaran. Pembentukan Departemen Integritas yang dikoar-koarkan PSSI pun sampai kini tak jelas juntrungnya.
Pemerintah baru yang ikut merasa malu terhadap prestasi sepak bola Indonesia berusaha turun tangan dengan membentuk Tim Sembilan. Namun respons PSSI justru negatif. Mereka sama sekali tidak mau bekerja sama dengan tim yang akan bekerja selama tiga bulan tersebut.
Tengok saja komentar Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin Husin, yang terang-terangan tidak mau mengakui keberadaan Tim Sembilan. Menurutnya, melayani tim bentukan pemerintah itu hanya membuang-buang waktu saja. Hal ini tentunya bukan respons yang diharapkan dari tokoh yang telah lama malang-melintang di dunia olahraga nasional tersebut.
Para pemilik suara PSSI yang diwakili Forum Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI bahkan bersuara lebih ekstrem. Mereka meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja Imam Nahrawi, bahkan kalau perlu menggantinya dengan Menpora baru. Mereka menegaskan tidak ingin PSSI mendapatkan campur-tangan dari pihak luar.
Reaksi tersebut benar-benar disayangkan. PSSI sebagai organisasi besar sudah seharusnya bersifat terbuka. Djohar Arifin dan kawan-kawan wajib menyadari sepak bola telah menjadi olahraga yang sangat populer di Indonesia. Sehingga bersikap antikritik hanya akan menyebabkan citra PSSI semakin buruk di mata masyarakat.
Apalagi sejak kepengurusan PSSI yang sekarang mengambil alih tugas kepengurusan sebelumnya, tidak ada prestasi yang dibilang membanggakan. Sebelum timnas senior gagal di Piala AFF 2014, timnas U-23 juga takluk di ajang SEA Games 2013. Sedangkan timnas U-19 juga gagal total di Piala Asia U-19.
Kompetisi Liga Super Indonesia (ISL) 2014 pun diwarnai berbagai macam kontroversi. Lihat saja partai delapan besar antara tuan rumah Semen Padang menghadapi Arema Cronus dimana wasit yang memimpin bertindak berat sebelah. Sejauh ini, PSSI tidak memberikan evaluasi apa-apa terhadap para wasitnya.
Adalah hal yang wajar jika kemudian desakan untuk mereformasi PSSI kian menguat dimana-mana. Melihat berbagai macam keluhan masyarakat, termasuk di berbagai media sosial, pembentukan Tim Sembilan oleh Kemenpora merupakan sebuah keniscayaan. Inilah yang mesti disadari PSSI.
Hanya saja, sebagai kelompok yang baru dibentuk, sudah menjadi kewajiban Tim Sembilan untuk meminta masukan dari sumber-sumber yang akurat. Apalagi mayoritas anggotanya tidak memiliki //track record// di dunia sepak bola. Tim Sembilan juga sebaiknya memfokuskan diri pada satu permasalahan kronis yang mendera dunia persepakbolaan Indonesia, yakni keberadaan mafia sepak bola.
Alangkah bijaknya jika PSSI mau bertemu dengan Tim Sembilan dan melakukan urun rembug bersama mencari solusi terbaik dari permasalahan yang ada. Saya yakin, keinginan keduanya sebenarnya mengarah pada satu muara yang sama, yaitu kemajuan sepak bola Indonesia.