Oleh: Alwi Shahab
Wartawan Senior Republika
Warga Tionghoa pada Kamis (19/2), merayakan tahun baru Imlek yang merupakan Festival Musim Semi. Imlek tahun ini jatuh pada tahun Kambing Kayu. Shio demikian, menurut kepercayaan etnis Tionghoa, tanda keberuntungan serta melambangkan perdamaian.
Pada tempo dulu sampai tahun 1960-an sebelum Imlek pernah dilarang untuk dirayakan, setiap petang menjelang Imlek, kampung-kampung di Jakarta diramaikan dengan para pengamen yang datang dari daerah-daerah pinggiran Betawi. Mereka adalah rombongan tanjidor, musik rakyat yang konon berasal dari Portugis. Mereka mendatangi rumah-rumah orang Betawi keturunan Tionghoa.
Prof James Dananjaya, guru besar UI, dalam buku Folklore Tionghoa menyebutkan bahwa kemungkinan besar mereka adalah keturunan Cina yang masuk Islam. Sedangkan, sejarawan Mona Lohanda mengatakan, awalnya orkes ini dimainkan oleh para budak untuk menghibur para tuannya saat-saat acara jamuan.
Kata tanjidor berasal dari kata Portugis tangedor. Orkes ini dimainkan oleh rombongan antara lima sampai delapan orang. Mereka membawa alat-alat musik berupa tanjidor (tambur besar), trompet, klarinet, seruling, dan trombon.
Umumnya mereka membawakan lagu-lagu mars Belanda tempo dulu. Rumah-rumah orang Tionghoa yang didatanginya menyambut kedatangan orkes ini dengan gembira dan memberikan uang saweran.
Pada masa lalu, kemeriahan Imlek berlangsung cukup lama dan ditutup dengan pesta Cap Go Meh pada malam ke-15 Imlek. Tahun baru Imlek dan pesta penutupnya, Cap Go Meh adalah bentuk folklore yang nyaris punah selama 30 tahun saat Orde Baru. Kegiatan itu baru diperbolehkan kembali ke masa Orde Reformasi.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, saya menyaksikan pesta Cap Go Meh di China Town Jakarta Kota (Glodok). Pesta ini berlangsung bergilir di lain tempat. Seperti, dari Glodok, keesokan harinya berlangsung di Senen, dan esok malamnya di Tanah Abang. Dari Tanah Abang kemudian ke Palmerah, selanjutnya ke Jatinegara.
Yang ambil bagian bukan hanya warga Betawi keturunan Cina, tapi juga berbagai suku di Jakarta. Bahkan tidak kurang banyaknya warga keturunan Arab. Pesta Cap Go Meh meriahnya tidak kalah dengan pesta Fiesta di Amerika Latin. Masyarakat tumpah ruah di tepi-tepi jalan menyaksikan barisan karnaval yang dilewati Cap Go Meh.
Seperti di Senen, iringan Cap Go Meh mulai dari klenteng Senen sampai Jatinegara. Di tengah barisan terdapat orkes gambang keromong. Dalam rombongan terdapat pula penari-penari cokek membawakan lagu-lagu tempo dulu.
Perayaan tahun baru Imlek lebih semarak karena diadakan pasar malam yang dibuka tiga hari sebelum Imlek. Ada satu kebiasaan pada malam Cap Go Meh, seorang yang datang ke rumah kekasihnya harus membawa ikan bandeng. Tempat peternakan ikan bandeng paling terkenal ada di Cilincing.
Pemuda yang datang sowan itu tidak membawa ikan bandeng dianggap calon mantu yang tidak kenal malu karena tidak menghormati calon mertua. Pada malam Cap Go Meh, biasanya si gadis dandan seelok mungkin, siap menerima kedatangan sang kekasih.
Perayaan Imlek tidak bisa dipisahkan dari barongsai. Awalnya barongsai bukan merupakan hiburan, tapi merupakan acara ritual untuk membersihkan roh jahat. Dalam legenda Cina, barongsai adalah binatang gaib yang muncul tiap 500 tahun sekali.
Pokoknya, pada pesta rakyat Cap Go Meh, semua jenis pertunjukan seni Betawi ditampilkan. Termasuk, wayang cokek yang ditarikan empat wanita berbaju kurung, diiringi gambang keromong. Seni ini lebih erotis dari goyang dangdut yang sekarang ini banyak mendapat sorotan.
Selain di kota, barongsai juga mendatangi perkampungan. Banyak keluarga berharap rumahnya didatangi binatang mitologi suci ini. Karena, menurut keyakinan mereka, rumah yang disinggahi barongsai dapat bersih dari pengaruh arwah jahat yang mendatangkan penyakit.