Kamis 23 Apr 2015 17:27 WIB

Islam tak Mengenal Minoritas Agama

Masjid dan gereja berdiri berdampingan di Nusa Dua Bali simbol kerukunan di Indonesia
Foto: Musiron Republika
Masjid dan gereja berdiri berdampingan di Nusa Dua Bali simbol kerukunan di Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, bila penggunaan kata ‘minoritas’ non-Muslim dalam kajian politik Islam, akan sekompleks ini. Semula, minoritas yang saya maksud dan persepsikan tak lebih dari sekadar kelompok kecil penganut agama lain yang berada di tengah-tengah mayoritas Muslim. Tetapi, ternyata kata ini memberikan implikasi hukum yang juga tak sederhana.

Sejarah peradaban Islam, tak pernah menggunakan kata ‘minoritas’ untuk menyebut dan mengatagorisasikan para pemeluk agama lain yang hidup di wilayah negara Islam. Muasal kata ini sendiri, baru mencuat pada abad pertengahan, sekira abad 15-an Masehi, dan dipergunakan oleh masyarakat Barat. Orang Prancis melafalkan “minorite”, sedangkan orang Latin membunyikan  “minor.”

Menggunakan kata minoritas, berarti rentan ada dominasi mayoritas di sana, bahkan tak jarang perlakuan diskriminatif yang akan memicu reaksi protes dan perlawanan dari kelompok yang dikategorikan sebagai kelompok kecil tersebut. Pola interaksi ini tentunya akan menimbulkan instabilitas politik dan keamanan di suatu negara.

Memaksakan penerapan kata minoritas ini, terutama pascaruntuhnya kekuasaan Islam  di bawah Ottoman, belakangan juga memantik masalah baru. Ini diiringi dengan ‘pemaksaan’ konsepsi HAM ala Barat yang seringkali ambigu. Islam tak mengenal kata minoritas.

Batas-batas suku dan etnis itu dilebur, sehingga tak ada istilah minoritas yang berbasis kesukuan. Apalagi jika minoritas nonagama tersebut berbasis suku atau etnis, selama masih beragama Islam, maka tak ada minoritas atau mayoritas, yang ada hanya umat Islam. Sedangkan jika berkenaan dengan kelompok kecil non-Muslim, Islam menggunakan ahludz dzimmah.

Ahludz dzimmah, adalah para penganut agama selain Islam (non-Muslim) di negara Islam.  Mereka memiliki jaminan perjanjian Allah dan Rasul-Nya serta semua kaum Muslim untuk hidup dengan aman dan tenteram di bawah  perlindungan Islam dan dalam lingkungan masyarakat Islam. Mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Di era postcolonialism dan runtuhnya hegemoni Islam, terma ahludz dzimmah, menghadapi diskursus dan polemik di sejumlah negara Islam. Tatanan dunia baru, sangat memungkinkan eksistensi populasi Muslim di negara-negara mayoritas non-Muslim.

Kondisi ini, secara langsung berimplikasi pada penerapan istilah-istilah fikih politik Islam yang pernah berlaku ketika itu, seperti dar al-Islam, dar al-kufur, dar al-‘ahd wa ash-shulhi, dan dar al-Harb. Dalam kajian fikih klasik misalnya, Celah ini membuka pemikiran ijtihad yang baru atau produk-produk hukum yang lebih fleksibel.

Pakistan misalnya, setelah melalui kajian mendalam akhirnya, ketika 1949 memutuskan untuk menganulir klausul kewajiban membayar pajak tahunan atas jiwa (jizyah) atas non-Muslim yang tinggal di negara Islam itu. Alasan mereka cukup logis, jika tetap memberlakukan kewajiban ini, otoritas setempat khawatir akan menyulut perlakuan serupa dan mungkin lebih keras atas Muslim yang hidup di negara-negara mayoritas non-Muslim.

Di saat bersamaan, hal ini tidak dibarengi dengan komitmen Barat untuk menghormati kebijakan negara-negara Islam menghadapi ‘minoritas’ non-Muslim. Intervensi berlebihan dan lobi-lobi yang semestinya tak elok, nyatanya menunjukkan inkonsistensi mereka atas terma minoritas itu sendiri. Kasus Kristen Koptik di Mesir dan Kristen Darfur serta tuntutan agar Arab Saudi membangun gereja di Makkah, bukti betapa kuatnya tangan-tangan Barat terhadap ‘pemberlakuan minoritas’.

Di sisi lain, cakupan terma ‘minoritas’ pun mengalami perluasan, meski faktanya menabrak batas-batas syariah. Ini sekaligus menegaskan perbedaan yang mencolok tentang konsepsi hak individual antara Barat dan Islam. Islam tidak mengenal kebebasan mutlak yang tidak bertanggung jawab. Hak tersebut mesti tetap dalam koridor syar’i. Sedangkan bagi Barat, individu pemilik hak mutlak dan mesti memperoleh hak itu, apapun bentuk dan cara memperolehnya.  

Kelompok-kelompok aliran sempalan di luar arus utama, dipaksakan sedemikian rupa ke dalam kategori minoritas, padahal seperti penegasan di atas, selama mereka masih bersyahadat dan menyatakan Muslim serta hidup bersama-sama dengan mayoritas Islam, maka mereka bukan minoritas.

Menurut perspektif Imam Abd al-Qahir al-Jurjani yang lumayan ekstrem sekte-sekte Islam di luar arus utama tersebut, lebih layak disebut sesat atau murtad dalam level tertentu. Imam  al-Khatib al-Baghdadi, merincikan bahwa siapapun yang mengaku bersyahadat, tetapi dalam praktiknya mengikuti keyakinan dan ritual yang beseberangan dengan prinsip Islam, maka mereka pada dasarnya adalah orang yang keluar dari agama.

Sekalipun Imam as-Syathibi, menawarkan agar tidak terlalu tergesa-gesa meletakkan ‘minoritas’ sekte tersebut ke dalam kategori sesat atau murtad, cukup menggunakan paradigma dan metoda fikih perbedaan. Efektivitas tugas pengawalan akidah yang diemban oleh negara, mesti diperkuat dengan pemahaman yang benar tentang keluhuruan dan hakikat Islam.

Dengan mengacu pada subtansi syariah (maqashid syariah), penyikapan yang arif terhadap sekte ‘minoritas’ tersebut jauh lebih maslahat, ketimbang ‘menghukum’ mereka. Sebab, menurut penulis kitab monumental di bidang  Ushul Fikih al-Muwafaqat ini, bukan tidak mungkin akan mengundang bala bantuan dari negara luar yang mengancam stabilitas negara Islam itu sendiri.

Tak salah bila muncul keingingan agar mencari format yang ideal tentang fikih minoritas di negara Islam, agar kita berani dan mampu bersikap terhadap diskursus minoritas yang menjadi salah satu pusaran topik utama dalam tatanan dunia baru saat ini. Semoga.   

 

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement