Oleh: Arif Supriyono
Wartawan Republika
Kemasannya terlihat bagus. Tujuannya pun seolah begitu mulia: Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP).
Ya para anggota DPR kita sepertinya kini makin memikirkan keberadaan rakyat atau masa pemilihnya. Mereka memandang perlu untuk lebih serius memenuhi kebutuhan konstituen yang memilihnya. Pemerintah, dengan birokrasinya, dianggap tak mampu memenuhi kehendak rakyat yang memillih anggota dewan.
Lahirlah kemudian dana UP2DP atau dikenal dengan nama populer dana aspirasi. Dana yang diusulkan DPR ini --tak termasuk fraksi dari partai-partai PDIP, Hanura, dan Nasional Demokrat yang menolak-- besarnya mencapai Rp 20 miliar per anggota setiap tahunnya. Total dana yang dibutuhkan per tahun menjadi Rp 11,2 trilyun untuk 560 anggota DPR.
DPR memasukkan dana aspirasi itu ke dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. DPR berdalih, anggaran tersebut sanngat diperlukan untuk membangun daerah pemilihan mereka.
Dewan merasa punya hak mengusulkan dana pembangunan untuk daerah pemilihan atau disebut juga dana aspirasi, sesuai Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Pasal 80 huruf J UU MD3 hanya menyebutkan, bahwa anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Tak ada penjelasan lebih lanjut soal besarnya dana aspirasi tersebut.
Masuknya pasal 80 huruf J di UU tersebut juga dianggap aneh. Payung hukum yang menjadi alasan kuat DPR untuk menggelindingkan dana aspirasi dianggap sebagian anggota masuk dalam UU secara kurang terbuka. Saat itu sebagian besar anggota DPR dari Koalisi Merah Putih (Gerindra, PKS, Golkar, PAN dan PPP) sedang bertarung hebat melawan Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, Hanura, Nasional Demokrat, PKB) untuk berebut pimpinan dewan.
Akibatnya, banyak anggota dewan yang tak fokus dalam pembahasan tentang pasal demi pasal di UU itu. Tak heran bila ada pihak yang menilai, masuknya pasal 80 huruf J di UU itu tak jauh beda dengan ’penyelundupan’ secara halus yang aromanya nyaris tak tercium oleh pihak lain.
Apa pun, kedelai itu sudah menjadi tahu. Artinya, keberadaan pasal 80 huruf J di UU tersebut sudah terlanjur ada. Kalaupun DPR mengusulkan aspirasinya dengan dalih pasal itu, tak menjadi masalah walau pada dasarnya terasa janggal.
Selama ini masyarakat luas tahu, bahwa tugas dan wewenang utama DPR adalah menyusun UU bersama pemerintah serta melakukan pengawasan atau kontrol atas jalannya pemerintahan. Memang ada fungsi utama DPR lainnya, yakni di bidang anggaran, akan tetapi, fungsi anggaran ini lebih dimaksudkan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak persetujuan terhadap rancangan UU APBN yang diajukan pemerintah.
Kali ini, DPR jauh lebih ’maju’ lagi dalam membahas anggaran, yakni mengajukan usulan dan besaran dana aspirasi. Padahal, penetapan besaran anggaran ini lazim menjadi wewenang pemerintah atau eksekutif karena merekalah yang pada dasarnya mengendalikan roda pemerintahan.
Lebih aneh lagi bila nanti dalam pelaksanaannya, dana aspirasi itu digelontorkan kepada masing-masing anggota DPR untuk mengelola dan melaksanakan programnya. Sungguh aneh rasanya jika anggota dewan juga mengelola dana pembangunan yang jumlahnya tidak sedikit. Mereka itu legislatif atau eksekutif? Apakah mereka tak menyadari hakikat keberadaan mereka sebagai anggota dewan?
Cobalah kita ikuti logika anggota dewan ini. Jika tuntutan serupa datang dari para anggota DPRD di provinsi dan kabupaten/kota, apa yang bakal terjadi? Para anggota DPRD juga punya ’hak sama’ dengan DPR. Mereka pun bisa membuat payung hukum dengan mengubah peraturan daerah wilayah masing-masing.
Lalu mereka pun bisa menuntut dana aspirasi serupa. Bukankah peran dan fungsi legislatif di pusat juga sebangun dengan DPRD? Bayangkan dengan jumlah anggota DPRD seluruh Indonesia yang banyaknya mencapai 13.500 orang, berapa triliun rupiah lagi dana harus digelontorkan. Bukan hanya masalah dana, tetapi juga soal pengelolaan.
Bila legislatif saja sah untuk mengelola dana aspirasi, apalagi kepala desa/bupati/wali kota/gubernur/presiden. Toh mereka punya dalih tak kalah kuat, bahwa mereka juga dipilih secara langsung oleh konstituen atau rakyat.
Kalau ini yang terjadi, betapa amburadulnya tatanan dan norma berdemokrasi serta tata kelola pemerintahan dalam negara kita. DPR/D tak mau lagi menyadari posisinya sebagai anggota legislatif. Mereka seolah punya kewenangan serta kemampuan yang tak jauh berbeda dengan pihak eksekutif.
Apa mungkin DPR nanti akan membangun jembatan, membuat jalan, mengadakan rumah sederhana, menyediakan alat-alat pertanian, dan sebagainya. Jangan-jangan, mereka hanya ingin membagi-bagikan ’sebagian’ dari dana aspirasi itu kepada konstituennya.
Peringatan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahwa dana aspirasi itu rawan korupsi memang benar. Kalau hanya bicara soal potensi korupsi, dana yang dikelola pemerintah juga sangat rawan terjadi penyimpangan.
Ada yang lebih mendasar dari sekadar rawan terjadinya korupsi. Pengelolaan dana pembangunan oleh legislatif akan mengubah peran dan fungsi lembaga kontrol tersebut.
Tak masalah bila memang anggota dewan berniat serius untuk menyerap aspirasi massa pendukungnya. Namun hasil dari penyerapan aspirasi konstituen itu hendaknya diserahkan pada pemerintah. Anggota DPR bisa mengusulkan apa yang benar-benar menjadi kebutuhan masyarakat dalam proses perjalanan roda pembangunan di wilayah atau daerah pemilihannya.
Apa saja kebutuhan masyarakat pemilih yang masuk dalam kategori kewenangan pemerintah daerah (kabupaten/kota) dan apa saja yang masuk dalam kewenangan pemerintah provinsi. Demikian pula, DPR bisa memberikan masukan, apa saja kebutuhan konstituen yang menjadi urusan pemerintah pusat. Mekanisme dan proses seperti inilah yang seharusnya terjadi.
Kemudian DPR bisa membuat mekanisme pengawasan untuk mengontrol program yang diusulkan tadi, apakah dijalankan dengan baik atau sebaliknya. Untuk hal-hal yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, pola pengawasannya bisa dititipkan ke DPRD. Dari sini bisa dinilai, seperti apa kinerja pemerintah di mata para anggota DPRD.
Saya sempat berpikir, jangan-jangan annggota DPR mengusulkan dana aspirasi dan (akan) mengelolanya itu karena merasa tahu ’permainan’ anggaran atau dana yang dilakukan pihak eksekutif. Lantaran itu, DPR pun merasa perlu untuk mendapat ’jatah’ anggaran yang memadai. Lalu dibuatlah aturan yang menjadi payung hukum, seolah usulan mereka itu sah adanya dan berada pada jalur yang benar pula.
Saya tentu berharap, pemerintah tak menyetujui atau mengabaikan usulan DPR tersebut. Logika pemikiran DPR yang tak benar atau menyesatkan ini memang tak seharusnya diwujudkan.