Selasa 11 Aug 2015 07:46 WIB
Importir dan eksportir kehilangan omset triliunan rupiah.

'Kentut' Mafia Sapi

Seorang peternak menjual sapi bakalannya di Pasar Sapi Tumpang, Malang, Jawa Timur.
Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto/ss
Seorang peternak menjual sapi bakalannya di Pasar Sapi Tumpang, Malang, Jawa Timur.

Oleh Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, Hampir tiap tahun daging sapi selalu menjadi persoalan. Gara-garanya sama, harga melambung tinggi hingga mencapai angka tidak logis.

Belakangan harga jual daging sapi di sejumlah daerah sudah mencapai Rp 130 ribu hingga Rp 150 ribu per kilo gram.  Padahal kalau normal harga hanya berada di kisaran Rp 90 ribu hingga Rp 100 ribu.

Kenaikan harga daging sapi kali ini memang patut dicurigai. Karena meski lebaran telah usai, harga tetap tidak mau turun.

Terlebih, kenaikan harga tersebut terjadi pada saat pemerintah memutuskan untuk memangkas impor sapi pada kuartal III tahun ini, dari 250 ribu ekor menjadi 50 ribu ekor.

Pemerintah beralasan, stok sapi nasional masih cukup sehingga tidak perlu impor.  Pejabat pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan analisis, ramai-ramai menuding mafia sapi berada di balik kenaikan harga. Mereka membuat opini publik seolah-olah pasokan daging turun.

Situasi ini hampir sama dengan komoditas-komoditas penting lain yang masih tergantung pasokan impor. Sebut saja beras, hampir setiap ada kenaikan harga, pemerintah ataupun politikus selalu menuding mafia pangan bermain.

Namun para mafia ini ibarat kentut. Ada baunya, tapi tak terlihat. Para mafia seolah tak tersentuh oleh ranah hukum karena mereka adalah pemain-pemain besar yang menguasai komoditas, dan memiliki kemampuan memainkan harga.

Mereka cukup memainkan rantai distribusi untuk mengerek harga. Apalagi, rantai distribusi di Indonesia cukup panjang, sehingga membuat harga rentan.

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Heri Gunawan menyinggung importir dan eksportir sebagai biang kerok kenaikan harga. Ia menyebut potensi kehilangan omset akibat pemangkasan impor sapi mencapai triliunan rupiah.

Misal harga satu ekor sapi Australia plus pengapalan sekitar Rp 10 juta.  Kemudian dikalikan pengurangan impor hingga sebesar 210 ribu (270 ribu-50 ribu). Maka hasilnya sekitar Rp 2,2 triliun per kuartal. 

Mungkin kita masih ingat kasus Indoguna, yang menyeret sejumlah politikus dan pengusaha. Kasus Indoguna, memperlihatkan bagaimana lihainya para importir mendekati pejabat pemerintah agar mau menambah kuota impor. Mereka tak segan menyuap pejabat untuk mendapat jatah kuota impor daging sapi.

Indoguna mungkin tak sendiri. Masih banyak importir-importir lain yang cara berpikirnya sama. Bagaimana meningkatkan impor, dan mendapat jatah kuota impor.

Bagaimana pun mafia ini tidak hanya melibatkan pihak importir. Tak sedikit para pedagang yang mengeruk keuntungan dari kenaikan harga itu. Cara berpikirnya sama, seolah-olah stok habis.

Sejatinya, Indonesia yang memiliki sumber daya melimpah ruah memang tidak perlu lagi tergantung impor. Pemberdayaan dan penguatan sapi-sapi lokal diperlukan agar harga daging bisa terus stabil.

Di sinilah tugas pemerintah yang tidak hanya sekedar wacana. Jangan sampai pemangkasan impor sapi dari Australia, ujung-ujungnya harga pergantian negara eksportir.  Dari Australia ke Cina, misalnya.

Di sisi lain, perbaikan di sistem distribusi barang juga harus dilakukan. Karena kita tidak ingin ongkos pengiriman sapi dari Nusa Tenggara Timur ke Jakarta lebih mahal dari Australia ke Jakarta.  

Boleh dibilang, daerah jabodetabek termasuk paling rawan terkena ‘kentut mafia’. Harga dapat naik dengan cepat. Selain tingginya permintaan, mayoritas sapi didatangkan dari luar.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement