REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fitriyan Zamzami, redaktur Republika
Sekira seratus tahun lalu, kisah Clive Irving dalam artikelnya di Daily Beast, ada seorang perempuan bernama Gertrude Bell berusia 45 tahun mengembara di dataran yang saat ini kita kenal dengan nama Irak. Entah menyaru atau bukan, ia mulanya seorang penjelajah dan pecinta kebudayaan kuno.
Tapi, ia adalah juga seorang mata-mata yang bekerja untuk Kerajaan Inggris. Ia mula-mula tiba di kota bernama Hail pada 1913 dan kemudian jadi akrab dengan keluarga Alrashids, klan berdarah dingin yang tinggal di wilayah itu.
Saat Bell tiba, Turki Utsmani, yang menguasai sebagian besar Timur Tengah termasuk wilayah Teluk Persia, sedang dalam senjakala. Imperium besar tersebut bakal porak poranda menyusul kekalahan di Perang Dunia I.
Yang dilakukan Bell sebagai mata-mata adalah meretas jalan agar Kerajaan Inggris bisa punya akses kekuasaan di Timur Tengah mengingat kekosongan kekuasaan yang menjelang. Terlebih, pada 1903, Eropa paham bahwa di dalam tanah Timur Tengah, ada barang berharga siap panen bernama minyak bumi.
Sepuluh tahun selepas Bell tiba, jadilah negara Irak. Bell membantu klan Alrashid yang aslinya suku terusir dari Semenanjung Arab, menduduki tampuk kekuasaan melalui pemilihan yang dicurangi dengan syarat klan itu memberi akses untuk Inggris sebesar-besarnya.
Bell kemudian merancang demarkasi serampangan yang saat ini membatasi negara Irak. Ia abai terhadap batas-batas yang telah ditetapkan suku-suku dan rerupa afiliasi paham selama ribuan tahun di wilayah itu.
Sementara di Semenanjung Arab, pada saat yang sama ada mata-mata Inggris lainnya bekerja. Dia punya nama, T E Lawrence. Oleh budaya pop pria itu dipopulerkan sebagai Lawrence of Arabia. Di Arabia, Lawrence jadi akrab dengan Abdul Aziz bin Abdurrahman, anggota Bani Saud, orang yang mengusir Alrashid.
Bani Saud yang berkuasa di Riyadh dan sekitarnya tak sedemikian raksasa. Tapi mereka punya prajurit berhati baja hasil tempaan paham Wahhabi yang resmi jadi paham klan itu selepas kesepakatan antara Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab pada 1774.
Seperti Bell, Lawrence membantu Bani Saud merebut penguasaan atas sebagian besar wilayah Semenanjung Arab dari Turki Utsmani. Tentu dengan bayaran akses terhadap kekayaan alam di daerah itu untuk Kerajaan Inggris.
Menurut David Fromkin dalam bukunya Peace to End All Peace (1989), jauh sebelum Perang Dunia I Timur Tengah sudah jadi wilayah yang tak jenak. Penguasaan Turki Utsmani dengan model desentralisasi selama berabad-abad di daerah itu hanya sedikit saja membuat tenang keadaan.
Kendati demikian, kata Fromkin, adalah pembagian Timur Tengah oleh negara-negara Eropa, terutama Inggris, Prancis, dan Rusia, yang membuatnya jadi jauh lebih kacau seperti sekarang.
Fromkin menuturkan, sepanjang 1914 hingga 1922, Timur Tengah kemudian dikotak-kotakkan menjadi wilayah-wilayah protektorat Inggris, Prancis, dan Rusia. Negara-negara Eropa lainnya menyusul belakangan.
Seperti yang dilakukan Bell, pembagian wilayah itu mengacuhkan basis etnis dan kecenderungan paham religius masing-masing lokasi. Palestina misalnya, mulanya disepakati akan dikelola komunitas internasional bersama-sama juga diserahkan sebagian wilayahnya untuk kaum Zionis. Janji Inggris bagi penduduk Arab di wilayah tersebut sekenanya diabaikan.
Negara-negara Eropa itu juga memasang pimpinan-pimpinan yang bisa mereka kontrol di masing-masing wilayah. Masa bodoh jika pimpinan itu kemudian menindas warga masing-masing wilayah selama kepentingan Eropa atas minyak dan jalur dagang terjaga.
Selepas Perang Dunia II, wilayah-wilayah yang telah dibentuk batas-batas tersebut memerdekakan diri dan jadi negara bangsa. Tapi kecenderungan Eropa, dan kemudian AS, mendorong berkuasanya pimpinan yang menguntungkan mereka tak berhenti.
Kecenderungan itu membuat Mesir (yang punya terusan Suez) hanya damai dalam semu, menimbulkan pengusaan tiran dan akhirnya revolusi di Iran (yang punya cadangan minyak berlimpah), memunculkan penguasa bernama Saddam Hussein di Irak (yang juga punya cadangan minyak), melanggengkan kekuasaan puritanikal Bani Saud di Arabia (yang lagi-lagi kaya minyak), memuncukan Bashar Assad di Suriah, menjaga konflik di Afghanistan, juga ekspansi wilayah kekuasaan Israel di Palestina.
Tentu adalah naïf mengatakan bahwa Eropa adalah satu-satunya pelaku. Tapi yang ingin saya sampaikan, mereka tak bisa lepas tangan terhadap apa yang terjadi di Timur Tengah.
Terutama pada saat-saat seperti ini, saat ratusan ribu warga Timur Tengah nekat naik perahu bocor menuju Eropa untuk melarikan diri dari konflik berdarah-darah. Saat anak-anak yang mestinya belajar alif-ba-ta, atau bercanda memainkan rambut ikal ibunda mereka, tewas tenggelam dan terdampar di tepi pantai.
Termasuk Aylan (3 tahun), bocah yang tewas tenggelam dalam perjalanan menuju Yunani dan terdampar di pantai Turki. Pengungsi-pengungsi yang membanjiri Eropa belakangan adalah anak kandung, atau setidaknya keponakan, dari keserakahan Eropa. Dalam satu dan lain hal, mereka barangkali justru sedang pulang ke rumah…