REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/wartawan Republika
Sudah dua dekade lebih Bank Muamalat, sebagai bank syariah pertama beroperasi di Indonesia. Sayangnya, perkembangan perbankan syariah di negeri ini terlihat kurang menggembirakan, kalau tidak boleh disebut stagnan. Meski laju pertumbuhan aset perbankan syariah melebihi perbankan konvensional, namun secara pangsa pasar masih kalah besar. Kondisi itu boleh dibilang tragis, mengingat Indonesia dikenal sebagai negara Muslim terbesar di dunia.
Padahal, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah membuat aturan bagi setiap perbankan konvensional untuk memiliki cabang usaha atau anak perusahaan syariah sendiri. Perbedaan bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) hanya pada status pendirian bank. Pada bank syariah statusnya independen, sedangkan UUS masih bernaung atau dengan kata lain berupa salah satu unit usaha dari bank konvensional. Anehnya, meski semua perbankan konvensional punya unit perbankan syariah, nyatanya perkembangannya masih jauh dari harapan.
Direktur Perbankan Syariah OJK, Dhani Gunawan Idhat menyatakan, pasar perbankan syariah dalam tiga tahun terakhir mengalami penurunan menjadi 4,57 persen per Mei 2015. Jumlah itu disumbang 12 bank umum syariah, 22 unit usaha syariah, dan 162 bank perkreditan rakyat (BPR) syariah. Padahal, pada akhir tahun lalu, pasar bank syariah masih sebanyak 4,89 persen. Dari keseluruhan jumlah industri perbankan yang ada, total aset mencapai Rp 272,389 triliun.
Angka ratusan triliun tersebut sebenarnya terbilang kalau kecil dihadapkan pada aset perbankan konvensional yang diperkirakan mencapai Rp 6.416 triliun pada akhir tahun ini. Perbankan konvensional mengincar kenaikan aset 15,29 persen atau naik Rp 851 triliun sepanjang 2015. Bahkan dibandingkan dengan BRI, Bank Mandiri, dan BCA, total aset keseluruhan perbankan syariah masih kalah jumlahnya.
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) sempat menargetkan pangsa pasar bank syariah mencapai 5 persen. Sayangnya, yang terjadi malah jauh panggang dari api. Meski begitu, ada kabar menggembirakan yang diperlihatkan bank syariah. Pertumbuhan perbankan syariah pada tahun lalu mencapai 43 persen, yang jauh lebih tinggi ketimbang perbankan konvensional yang sebesar 19 persen.
Namun mengapa market share perbankan syariah di Indonesia masih tetap kecil? Padahal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mencanangkan Gerakan Ekonomi Syariah (Gres!) sebagai upaya ekspansi untuk menyebarkan keunggulan sistem ekonomi syariah, yang dinilai mampu meningkatkan kemandirian dan ketahanan bangsa. Pun di belahan dunia lain berbagai negara serius mengembangkan pasar ekonomi syariah. Benarkah semua itu disebabkan faktor political will pemerintah semata?
Keunggulan bank syariah
Berbagai praktisi ekonomi mengemukakan bahwa sistem ekonomi syariah memiliki banyak kelebihan. Tidak salah, London, Dubai, dan Kuala Lumpur menjadi tiga kota teratas yang sangat prospektif dalam mengembangkan ekonomi Islam tersebut. Khusus untuk London, jelas itu sebuah ironi lantaran Inggris bukan negara dengan penduduk mayoritas Muslim.
Fakta itu juga bisa menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia. Pasalnya, Jakarta tidak termasuk sebagai kota pusat ekonomi syariah dunia. Jakarta menjadi cerminan mengapa nasib perbankan syariah di negeri ini bagaikan siput, yang tetap berjalan, namun sangat pelan lajunya.
Tahun ini, pertumbuhan ekonomi nasional dipatok di angka 4,7 persen. Torehan itu memang jauh dari target Presiden Jokowi yang mencanangkan pertumbuhan rata-rata 7 persen selama periode 2014-2019. Meski begitu, capaian tersebut patut disyukuri di tengah melambatnya dan ancaman resesi perekonomian dunia. Di tengah ketidakpastian global, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh, meski tidak tinggi. Salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah moncernya kinerja perbankan Tanah Air.
Satu hal yang sering dilupakan pemerintah adalah kinerja perbankan syariah itu memiliki daya resiliensinya tinggi terhadap krisis. Belajar dari krisis ekonomi keuangan global, bisa dipetik pelajaran berharga bahwa perekonomian sebuah negara yang kuat tidak bisa berdiri di atas aktivitas spekulatif.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro membenarkannya, dengan menyebut bahwa perbankan syariah mempunyai daya tahan kuat menghadapi krisis dibandingkan perbankan konvensional. Lebih rinci, Bambang menjelaskan, perbankan konvensional memiliki kelemahan dalam banyak instrumen yang sangat spekulatif. Adapun, perbankan syariah cenderung konservatif dan menghindari area ketidakpastian itu.
Keunggulan daya tahan terhadap krisis itu tentu wajib terus disempurnakan agar tata kelola perusahaan semakin baik. Dengan begitu, kontribusi perbankan syariah terhadap perekonomian Indonesia dapat ditingkatkan. Yang patut dicatat, perkembangan itu tidak bisa dilakukan secara alamiah, melainkan perlu intervensi berupa dukungan konkret dari pemerintah.
Mantan Wapres Boediono juga memuji perbankan syariah yang memiliki keunggulan daripada perbankan konvensional. Menurut Boediono, perbankan syariah dapat menjadi teladan lantaran prinsipnya tidak memperkenankan produk yang bersifat spekulatif. Juga, nilai-nilai syariah memberikan landasan ekonomi sehat, wajar, adil, dan transparan. "Jika ini dipraktikkan dengan benar, risiko adanya krisis ini tidak akan ada," kata mantan gubernur Bank Indonesia tersebut.
Belajar dari negara lain
Ketiadaan prinsip spekulatif itulah yang membuat Inggris gencar untuk mengembangkan ekonomi syariah di dalam negerinya. Alhasil, Inggris menjadi negara non-Islam pertama yang meluncurkan sukuk. Perdana Menteri David Cameron mengatakan, pemerintahannya meluncurkan sukuk senilai 200 juta poundsterling atau sekitar Rp 4,16 triliun dengan alasan ingin menjadikan London sebagai pusat ekonomi syariah dunia.
"Selama bertahun-tahun orang telah berbicara tentang menciptakan obligasi Islam atau sukuk, di luar dunia Islam, tapi itu tidak pernah terjadi. Dan di sini, di Inggris, pemerintah ini ingin Inggris menjadi negara pertama di luar dunia Islam untuk mengeluarkan sukuk," katanya.
Mantan Menteri Luar Negeri Inggris, Baroness Warsi menjelaskan, kegesitan negaranya dalam menangkap peluang potensi perkembangan perekonomian syariah dunia. Menurut dia, keterlibatan negaranya dalam pengelolaan model keuangan syariah lantaran tidak ingin kehilangan pasar global yang sedang tumbuh. Beberapa bank malah sudah mengeluarkan 37 sukuk senilai 30 miliar dolar AS atau sekitar Rp 451 triliun, yang semuanya terdaftar di London Stock Exchange.
Dia menjelaskan, ekonomi syariah telah memberikan perbankan sebuah pelajaran tentang etika dan moral. Alhasil, penerapan ekonomi syariah sangat sesuai dengan misi perekonomian negaranya sekaligus memanfaatkan sumber daya ekonomi kaum Muslim Inggris sebanyak lima persen dari total populasi.
Kita mesti tidak melupakan keberadaan Malaysia. Negeri tetangga tersebut sudah membuktikan dukungan dari stakeholder membuat pangsa pasar perbankan syariah mencapai 20 persen. Belum lagi, negeri jiran tersebut disebut menguasai 60 persen pangsa pasar sukuk dunia.
Apa yang terjadi? Malaysia bisa cepat bangkit ketika Indonesia masih berupaya memulihkan diri dari badai krisis ekonomi tahun 1998. Pun dengan kejadian 2008, Malaysia bisa lolos dari jeratan krisis global yang sempat menghantui Indonesia. Padahal komitmen pemerintah Malaysia dalam mengembangkan perbankan syariah hanya lebih dulu 10 tahun dari Indonesia, namun manfaatnya dapat dirasakan secara luas seluruh rakyat Malaysia yang terdiri beberapa etnis.
Mengacu hal itu, ekonomi syariah bukan identik dengan warga Islam semata. Ekonomi syariah berkembang pesat di dunia lantaran mendapat kepercayaan dalam sistem yang dijalankannya. Tentu sangat naif kalau Indonesia masih tidak tergerak untuk menjadi pusat ekonomi syariah dunia. Pasalnya, potensi ekonomi syariah yang diikuti dengan pengembangan perbankan syariah belakangan ini sangat besar. Sangat disayangkan pula kalau peluang itu dilewatkan begitu saja oleh pemangku kepentingan di negeri ini.
Menunggu keberpihakan OJK
Salah satu wacana pemerintah untuk mengembangkan perbankan syariah adalah dengan melakukan merger beberapa bank syariah BUMN. Diharapkan, gabungan tiga bank syariah BUMN, yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri (BSM), dan BNI Syariah dapat meningkatkan permodalan untuk kemudian bisa melakukan ekspansi agar mampu bersaing dengan bank konvensional. Menteri BUMN Rini Soemarno tidak tergerak untuk menambah permodalan perbankan syariah, sebagaimana dilakukannya terhadap tiga bank besar BUMN.
Tentu saja, OJK kurang sependapat dengan rencana panggabungan tiga bank syariah BUMN itu. OJK menilai, merger hanya mengakibatkan penyusutan kapasitas usaha jika tidak diikuti dengan penyertaan modal. Yang terjadi, gabungan bank syariah BUMN makin terbatasi kegiatan usahanya. Alih-alih menambah pangsa pasar, yang terjadi malah bisa mengalami penurunan dan ditinggal nasabah.
Di sinilah peran vital OJK dalam mendorong perbankan syariah untuk bisa lebih aktif dalam percaturan perekonomian nasional. Selain mendorong manajemen agar terus berinovasi dalam meluncurkan produk agar disukai masyarakat, juga penting untuk terus menjalankan edukasi berupa pengertian bahwa ekonomi syariah bersifat universal, tidak milik satu golongan agama tertentu.
Terbukti ketika krisis likuiditas melanda perbankan konvensional, perbankan syariah malah bertahan dan justru mengalami pertumbuhan sekitar 36 persen saat krisis ekonomi menghantui Indonesia pada 2008 lalu. Hal itu terjadi lantaran sistem ekonomi syariah memiliki resistensi tinggi terhadap krisis finansial global karena memiliki jaminan aset (underlying) jelas dalam setiap transaksinya.
Untuk itu, diperlukan kebijaksanaan OJK dalam menyikapi perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Komitmen OJK untuk mendukung perbankan syariah terus dinantikan dalam upaya membuat kebijakan yang pro terhadap sistem ekonomi syariah. Dalam aspek tertentu, idealnya OJK tidak terlalu ketat dalam menerapkan aturan yang bersifat mengikat perbankan syariah.
Keberpihakan OJK terhadap perbankan syariah juga mesti diwujudkan dengan peluncuran beberapa program, misalnya mendorong induk bank menambah modal untuk bank syariah atau unit syariah yang dimiliki. Bisa pula ikut intens melakukan pengenalan dan penyadaran terhadap masyarakat terkait keunggulan perbankan syariah, sembari membantu menyempurnakan kekurangan sistem ekonomi syariah.
Dari tujuh persoalan yang dihadapi perbankan syariah sesuai hasil identifikasi OJK, sepatutnya memperkuat sinergitas antara otoritas dan pemerintah perlu segera diwujudkan. OJK bisa belajar untuk lebih berkomitmen dalam mendukung kemajuan perbankan syariah, demi kebaikan masyarakat dan kemajuan bangsa ini.
Karena dengan kerja sama dengan pihak terkait, kedudukan perbankan syariah bisa ditingkatkan fungsinya dalam memberikan sumbangsih perekonomian Indonesia. Setidaknya roadmap agar ada satu bank syariah bisa bersaing dengan tiga bank BUMN terbesar bisa terwujud dalam waktu tidak sampai empat tahun lagi.