REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arif Supriyono/ Wartawan Republika
Usai penghitungan suara dari hasil pemilu presiden pada 9 Juli 2014 lalu, banyak pihak yang memprediksi, bahwa pemerintah akan menemui kendala besar dalam menerapkan kebijakannya. Salah satu kendala itu adalah komposisi kursi di DPR yang lebih banyak menjadi 'oposisi' bagi pemerintahan baru kala itu.
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pemerintah hanya memiliki 207 kursi DPR Pusat. Perinciannya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 109 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 47 kursi, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) 35 kursi, dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 16 kursi.
Di pihak lain, Koalisi Merah-Putih (KMP) memiliki basis dukungan di DPR sebanyak 292 kursi. Mereka berasal dari partai Golongan Karya (Golkar) 91 kursi, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 73 kursi, Partai Amanat Nasional (PAN) 49 kursi, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 40 kursi, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 39 kursi.
Melihat komposisi dukungan dan oposisi di DPR, kemenangan KIH --dengan pasangan calon Joko Widodo dan Jusuf Kalla-- dalam pemilihan presiden (53,15 persen suara) diperkirakan tak akan banyak berarti. Sebaliknya KMP dengan calon Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, meski hanya meraih 45,85 persen suara, akan punya kekuatan dahsyat untuk mengganjal pemerintah di arena legislatif. Kebijakan-kebijakan pemerintah diperkirakan tak akan bisa berjalan dengan mulus lantaran ganjalan dari pihak legislatif.
Apa yang terjadi kemudian, tak selalu linier dengan prediksi semula. Tak membutuhkan waktu terlalu lama, kondisi itu ternyata berubah drastis. KMP yang mencanangkan koalisi permanen di legislatif, nyatanya kekokohan mereka rontok satu per satu.
PPP yang mengawalinya. Partai lama yang lahir setelah fusi dari beberapa partai Islam saat menjelang Pemilu 1977 ini memang pecah menjadi dua kubu. Satunya dipimpin Romahurmuzy dan satunya oleh Djan Faridz. Kubu Romahurmuzy lalu mendekat ke KIH.
Tak lama setelah itu, PAN juga mulai mengalihkan pandangan matanya. Melalui lobi oleh beberapa petingginya, PAN akhirnya merapat dan menyatakan dukungannya bagi pemerintah. Sebagai salah satu kompensasinya, Sutrisno Bachir, ketua Majelis Pertimbangan Partai PAN, mendapat posisi sebagai ketua Komisi Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN).
Kondisi serupa juga menimpa Golkar. Partai ini sempat pecah dengan dua pilot, yakni kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Pemerintah sempat mengakui kepengurusan kubu Agung. Setelah itu, kubu Agung secara terbuka menyatakan dukungannya bagi pemerintahan Jokowi.
Melalui berbagai upaya, termasuk melibatkan Wapres Jusuf Kalla dan mantan presiden BJ Habibie, dibuatlah 'jembatan darurat' untuk menghubungkan kedua kubu yang berseberangan. Kedua belah pihak sepakat untuk islah atau rujuk. Rujuknya kedua kubu ternyata membawa berkah juga bagi pemerintahan Jokowi.
Kubu Golkar yang dinakhodai Aburizal Bakrie ternyata ikut membelokkan arah kemudinya. Mereka tak lagi menginduk pada KMP tetapi malah menyatakan kesiapannya untuk mendukung pemerintah. Praktis, apa pun hasil munas untuk menyusun kepengurusan Golkar nanti tak akan menjadi kerikil lagi bagi pemerintahan Jokowi. Ibaratnya, Jokowi akan bisa tidur dengan nyenyak menyongsong pemilihan kepengurusan baru Golkar.
Tanpa PPP, PAN, dan lebih-lebih Golkar, KMP memang ibarat singa tak bergigi dan tanpa kuku. Mereka hanya bisa mengaum tapi tak ada yang mampu membuat musuhnya ketakutan. Alhasil, praktis koalisi permanen yang digagas KMP itu pun kini layu sudah alias bubar jalan.
Dengan hanya bergandengan tangan bersama PKS, nyaris tak ada isu strategis yang bisa digerakkan Gerindra. Kedua partai ini hanya memiliki kursi DPR sebanyak 113. Suatu jumlah yang jauh dari cukup untuk membuat goncangan atau teriakan nyaring dari kawasan Senayan.
Sebaliknya, posisi Jokowi dan KIH kian kokoh. Dengan modal awal 207 kursi di DPR, kini setelah bergabungnya PPP, PAN, dan Golkar membuat KIH mendapat dukungan tambahan 179 kursi. Total kursi DPR yang siap mendukung Jokowi menjadi 386, dari seluruhnya 560 kursi DPR.
Sementara itu Demokrat yang memiliki 61 kursi DPR masih tetap pada sikapnya semula. Mereka memilih berada di tengah-tengah atau bersikap netral. Keberpihakan Demokrat akan sangat ditentukan atau tergantung kebijakan yang dibuat pemerintah.
Melihat kondisi ini, Jokowi ibaratnya akan melenggang dengan mudah untuk menjalankan roda pemerintahan dan setiap kebijakannya. Ini karena batu sandungan yang selama ini dikhawatirkan akan menjadi penghalang tak akan ada lagi. Hantu belau yang selama ini sering muncul dari Senayan bisa diperkirakan tak akan bergema kuat, kecuali ada kebijakan aneh atau tak masuk akal yang dibuat pemerintah.
Selama ini DPR dianggap sebagai tembok beton yang siap menghalangi rencana strategis pemerintah untuk menggelindingkan program-programnya. Setelah kocar-kacirnya armada di KMP, maka halangan itu pun seolah sirna.
Kendali pemerintahan juga kian dalam genggaman Jokowi. Meski jajaran kabinet berasal dari lintas partai, hampir semuanya akan patuh terhadap instruksi presiden. Kalaupun ada yang punya sikap agak lain, barangkali cuma satu-dua menteri yang memiliki kaitan dengan kelompok atau kepentingannya.
Tugas utama yang diperlukan Jokowi saat ini adalah senantiasa berjalan beriringan dengan wapres. Dalam beberapa kasus, sikap dan pandangan presiden dan wakil presiden tampak berbeda. Ini tak akan luput dari perhatian masyarakat dan mengesankan tak seiringnya mereka berdua.
Penempatan para relawan di jajaran komisaris badan usaha milik negara (BUMN) menjadi kekuatan lain Jokowi. Meski secara teknis belum tentu para relawan itu menguasai permasalahan di lingkungannya, namun mereka bisa membuat tekanan pada para direksi untuk mematuhi apa yang menjadi kehendak pemerintah/presiden.
Semua kendali pemerintahan kini memang ada di tangan Jokowi. Tinggal bagaimana dia menghelanya dan menggerakkan agar roda pemerintahan menggelinding dan menuju arah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tak ada lagi dalih atau alasan untuk menghindar dari tuntutan rakyat karena semua ada dalam kontrol Jokowi.
Ketidakberanian Jokowi untuk bersikap --atau lebih tepatnya pembiaran-- terhadap upaya-upaya menggembosi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya, kini tak boleh lagi terjadi. Toh kekuatan DPR yang selama ini mendukung pengebirian KPK sudah sangat keropos. Saatnya kini rakyat menuntut dan menunggu realisasi janji-janji Jokowi.