Kamis 01 Sep 2016 06:05 WIB

Tantangan Ekonomi

Hasan Murtiaji
Foto: Republika/ Raisan Al Farisi
Hasan Murtiaji

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Murtiaji

Dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (30/8) malam, Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan tantangan Indonesia dalam menghadapi perekonomian global. Bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi global belumlah berhenti.

Amerika Serikat sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia, walau tumbuh positif pascakrisis 2008, menurut mantan direktur Pelaksana Bank Dunia ini, data pada kuartal I 2015 memperlihatkan tren melemah.

Kondisi berikutnya yang ditunggu adalah Inggris. Dunia sedang menanti apa yang terjadi setelah Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa atau lebih dikenal sebagai Brexit. Australia pun yang cukup kuat, kata Sri Mulyani, akan terpengaruh oleh komoditas yang harganya melemah.

Pelemahan ekonomi juga terjadi pada Brasil dan Rusia. Dua tahun terakhir, perekonomian kedua negara tersebut mengalami kontraksi. Bahkan, Cina sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua terus mengalami penurunan pertumbuhan. Dari sebelumnya delapan persen, kini bertahan di enam persen.

Uniknya, India dan Indonesia memperlihatkan tren yang meningkat. Dalam konteks ini, menarik untuk membuat skenario menstimulasi permintaan produk global. Konsumsi dan investasi mesti distimulasi.

Kendati begitu, kondisi ekonomi global yang sedang melemah ini, cepat maupun lambat, pasti berdampak terhadap perekonomian nasional. Apalagi sejumlah komponen ekspor Indonesia disumbang oleh sektor komoditas yang parahnya kini sedang mengalami stagnasi.

Karenanya, tak heran jika pemerintah memangkas anggaran hingga Rp 137,6 triliun. Pemangkasan ini ditujukan agar defisit tidak melampaui batas yang ditentukan oleh undang-undang.

Tentu pemangkasan anggaran ini merupakan tantangan. Apakah strategi pemangkasan ini bakal menggerus roda perputaran ekonomi masyarakat? Apakah membuat tingkat konsumsi masyarakat menurun drastis?

Pertanyaan ini membutuhkan jawaban karena pemangkasan anggaran jelas berkorelasi dengan belanja pemerintah. Jangan sampai pemangkasan ini menjadikan konsumsi masyarakat tereduksi. Akibatnya, belanja pemerintah sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi pun tak berjalan.

Jika ini yang terjadi, program pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran hanyalah impian. Apalagi, Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin sudah memberi sinyal bahwa penurunan angka kemiskinan sulit terjadi hingga ke level di bawah sembilan persen.

Pemerintah mematok tingkat kemiskinan berada di 10-11 persen. Namun sudah diturunkan lagi di bawah angka tersebut. "Hal ini karena sudah mencapai lapisan intinya, lapisan kerak," kata Suryamin.

Angka kemiskinan secara dominan dipengaruhi dua hal, yakni pendapatan masyarakat dan dinamika nilai inflasi. Faktor pendapatan masyarakat inilah yang bakal terpengaruh oleh tereduksinya pemangkasan anggaran.

Dalam kondisi seperti ini, perlu ada kreativitas ekonomi. Langkah terobosan yang dapat mendorong ekonomi terus bertumbuh. Pemberdayaan ekonomi sektor usaha mikro kecil menengah mesti dengan keberpihakan. Perkembangan teknologi digital harus diarahkan agar memberikan dampak positif terhadap mereka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement