REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nurul S Hamami, Wartawan Senior Republika
Para pebulu tangkis Indonesia harus pulang lebih awal dari Gold Coast, Australia, pekan lalu. Upaya untuk membawa pulang Piala Sudirman kembali kandas. Mesti menunggu dua tahun lagi untuk merebut trofi lambang supremasi kejuaraan beregu campuran dunia itu ke Tanah Air.
Indonesia menjadi negara pertama yang menjuarai Piala Sudirman ketika dihelat kali pertama di Jakarta pada 1989. Setelahnya, piala tersebut lama bersemayam di Cina dan sesekali di Korea (Selatan). Kali ini pun giliran Korea menjadi jawaranya setelah di final mengalahkan juara bertahan Cina dengan skor 3-2, Ahad (28/5).
Bagi Indonesia, keikutsertaan tahun ini merupakan yang terburuk. Inilah untuk kali pertama skuad nasional langsung terpuruk di babak penyisihan grup. Sebelumnya, penampilan tim Merah Putih minimal sampai perempat final, bahkan berkali-kali mampu mencapai final.
Susy Susanti yang menjadi pahlawan pembuka kemenangan Indonesia atas Korea di final 1989, kali ini harus gigit jari. Tim yang dibawanya, sepuluh putra dan sepuluh putri, harus puas sebagai juru kunci Grup 1D. Mereka meyerah 1-4 kepada India, namun hanya menang 3-2 atas Denmark.
"Hasil ini saya kira akan menjadi suatu pembelajaran yang penting buat semua pihak yang terkait di kepengurusan PBSI untuk berbenah diri dan mengejar ketertinggalan. Karena secara fakta, Indonesia tidak bisa masuk ke putaran berikutnya. Ini adalah hal yang memprihatinkan," kata Achmad Budiharto, pemimpin Kontingen Indonesia, dalam laman resmi PP PBSI.
Semoga apa yang dikatakan Sekjen PP PBSI itu bukan sekadar omongan tanpa ada langkah nyata. Terutama tentu saja dari Bidang Pembinaan dan Prestasi yang dikepalai langsung oleh Susy. Peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992 ini harus mampu mencari formula yang tepat untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara lain.
Melihat hasil di Gold Coast, Indonesia bukan hanya tertinggal tapi juga krisis pemain tangguh. Sektor ganda putra yang “diwajibkan” menyumbang satu poin dalam setiap pertandingan, ternyata gagal memenuhi harapan. Pasangan Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon masih belum stabil. Menang di pertandingan melawan India, namun mereka //keok// di tangan Mathias Boe/Carsten Mogensen saat Indonesia bertemu Denmark.
Agaknya Kevin/Marcus masih belum bisa keluar dari tekanan bila menghadapi poin-poin kritis. Itu pula yang mereka alami ketika kalah dari Boe/Mogensen di semifinal Singapura Terbuka sebulan lalu. Keduanya masih perlu “jam terbang” yang tinggi agar memiliki mental juara yang tangguh.
Gelar juara berturut-turut di All England, India Terbuka, dan Malaysia Terbuka pada Maret-April lalu, semoga saja tidak menjadi beban berat bagi Kevin/Marcus. Justru sebaliknya, hal tersebut semakin memompa semangat juara keduanya di turnamen-turnamen berikutnya. Jangan malah menjadi tekanan mental bagi pasangan masa depan Indonesia ini.
Krisis pemain tangguh di ganda putra terlihat dengan kekhawatiran untuk menurunkan Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi. Susy sebagai manajer tim bersama para pelatih tidak mau mengambil risiko dengan menurunkan pasangan ini menghadapi Denmark. Masalahnya, dalam lima pertemuan yang sudah berlangsung, Angga/Ricky selalu kalah dari Boe/Mogensen. Sedangkan, Kevin/Marcus pernah sekali menang dalam tiga pertemuan terdahulu dengan Boe/Mogensen. Padahal, dari sisi usia, kedua pemain Denmark itu tak lagi muda.
Menjadi pekerjaan rumah bagi PBSI untuk segera membenahi sektor ganda putra. Jangan terlena dan cepat puas dengan prestasi yang diukir Kevin/Marcus dalam semester pertama tahun ini. Mereka harus terus dipoles dan dimatangkan mental juaranya dengan sering tampil di turnamen-turnamen besar dan penting.
PBSI harus berpikir keras untuk segera mengentaskan prestasi pasangan lainnya. Ini agar tidak ada jurang pemisah yang lebar antara Kevin/Marcus dan pasangan yang lain. Angga/Ricky, Mohammad Ahsan/Rian Agung Saputro, dan pemain lainnya harus mendapat perhatian serius. Dengan sasaran merebut medali emas di Olimpiade Tokyo 2020, maka seharusnya Indonesia memiliki dua ganda teratas yang kualitasnya setara satu dengan yang lain.
Sektor ganda campuran sebenarnya juga krisis pemain tangguh. Diharapkan mampu menyumbang poin, justru nomor ini menjadi salah satu penyumbang kegagalan Indonesia di Gold Coast. Satu angka lepas dari tangan Tontowi Ahmad/Gloria Emanuelle Widjaja saat menghadapi India di pertandingan pertama.
Setelah pasangan Tontowi/Liliyana Natsir dan Praveen Jordan/Debby Susanto, Indonesia masih belum menemukan pasangan lainnya yang bisa berdiri sejajar dengan kedua pasangan itu. Usai merebut medali emas ganda campuran Olimpiade Rio 2016 bersama Tontowi, Liliyana memang mengisyaratkan mundur. Belakangan dia juga dibekap cedera sehingga Tontowi mulai dipasangkan dengan Gloria. Namun, mereka belum menunjukkan performa yang mengesankan. Termasuk, menyumbang satu kekalahan saat bertemu India. Permainan keduanya tampak belum padu.
Dengan tidak lagi tetap memasangkan Tontowi/Liliyana, sektor ganda campuran kini cuma bertumpu pada Jordan/Debby. Itu pun keduanya belum memperlihatkan prestasi mengagumkan usai menjuarai All England tahun lalu. Di turnamen yang sama Maret lalu, Jordan/Debby terhenti di babak pertama. Prestasi tertinggi mereka tahun ini adalah mencapai final Swiss Terbuka yang digelar seusai All England.
Krisis pemain tangguh masih berkepanjangan di ganda putri. Dalam dua pertandingan di Piala Sudirman lalu, sektor ini tak sekalipun menyumbang kemenangan. Padahal, saat berjumpa dengan India, nomor ini diharapkan bisa mempersembahkan angka. Kalau dengan Denmark, mereka memang tidak diunggulkan untuk memenangkan pertandingan.
Di luar Nitya Khrishinda Maheswari/Greysia Polii, sektor ganda putri memang belum menunjukkan prestasi. Nomor ini jelas kehilangan kekuatan dengan masih absennya Nitya. Dia masih belum pulih benar pascaoperasi lutut bulan Desember lalu. Sepanjang tahun ini Nitya belum turun di turnamen-turnamen yang digelar Federasi Bulu Tangkis Dunia.
Selain Greysia, Susy membawa empat pemain ganda putri. Mereka masing-masing Della Destiara Haris, Rosyita Eka Putri Sari, Anggia Shitta Awanda, dan Apriani Rahayu. Pasangan main Anggia, Ni Ketut Mahadewi Istarani tidak disertakan karena masih belum fit 100 persen akibat cedera lutut. Posisinya digantikan oleh pemain muda Apriani Rahayu.
Della/Rosyita yang diharapkan bisa merebut angka dari tangan India, justru kalah. Begitu pun dengan Greysia/Apriani yang dipasang untuk menghadapi Denmark. Mereka belum bisa mengimbangi ganda senior Kamilla Rytter Juhl/Christina Pedersen. Siapa pun yang diturunkan saat melawan Denmark, peluangnya memang kecil.
Tunggal putra juga belum keluar dari krisis pemain tangguh. Jonatan Christie masih belum memperlihatkan tajinya. Dia tak bisa berbuat banyak ketika menghadapi Kidambi Srikanth yang menjadi wakil India. Fisiknya masih harus ditingkatkan sehingga bisa tampil dengan //endurance// yang stabil.
Harapan mulai terlihat dari Anthony Sinisuka Ginting. Di luar dugaan dia mampu menjinakkan Peter Axelsen dan menyumbang satu kemenangan Indonesia atas Denmark. Dia menunjukkan mental bermain yang cukup kuat sehingga membuat Axelsen pontang-panting di dalam lapangan. Dengan memberi pengalaman lebih banyak lagi di turnamen-turnamen di luar negeri, suatu hari Anthony akan menjadi pemain tangguh.
Tunggal putri juga masih mengalami krisis pemain. Belum ada yang bisa berada di deretan elite dunia. Sejauh ini baru Fitriani yang bisa diandalkan. Itu dibuktikannya ketika mempersembahkan satu angka bagi Indonesia saat melawan Denmark. Walaupun, dia gagal mengatasi PV Sindhu ketika melawan India. Itu merupakan kekalahan ketiga Fitriani dari Sindhu dalam tahun ini.
Di antara stok pemain pelatnas tunggal putri yang ada sekarang, Fitriani memang paling menjanjikan. Tahun ini dia mampu menembus perempat final Malaysia Masters serta semifinal Syed Modi International dan Swiss Terbuka. Peringkat dunia Fitriani saat ini merupakan yang tertinggi di antara pemain tunggal putri Indonesia lainnya, yakni 23.
Secara umum Indonesia memang masih krisis pemain tangguh. Mungkin saat ini ada Kevin/Marcus di ganda putra dan Jordan/Debby di ganda campuran yang sudah sejajar di elite bulu tangkis dunia. Namun, kedua pasangan ini juga belum menunjukan performa yang stabil. Semoga dalam dua tahun ke depan Anthony, Jonatan, dan Fitriani sudah “jadi”, sehingga Indonesia juga punya andalan di tunggal putra dan tunggal putri. Ini modal untuk merebut kembali Piala Sudirman dua tahun mendatang.