REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami *
"Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS al-Anbiya: 30).
Berabad-abad setelah ayat tersebut diterima Nabi Muhammad SAW 14 abad silam, tafsir para mufasir soal ayat tersebut sedikit saja berubah. Ibnu Katsir dan Imam Suyuti menyepakati bahwa ayat itu menerangkan bahwa langit dan bumi mulanya lapisan-lapisan yang menumpuk dan kemudian dipisahkan dan disusul turunnya hujan yang menghijaukan dan menghidupkan bumi.
Belakangan, sejak pertengahan abad ke-20, ayat itu punya konotasi lain. Tak sedikit ulama dan ilmuwan Muslim yang meyakini bahwa ayat itu mengindikasikan soal peristiwa Big Bang. Teori yang kini diakui secara meluas oleh mayoritas ilmuwan fisika itu menerangkan soal awal terciptanya alam semesta dari setitik noktah tunggal yang meledak dengan akbar miliaran tahun lampau dan terus mengembang menjadi galaksi-galaksi, bintang-gemintang di dalamnya, serta planet-planet yang mengitari bintang-bintang tersebut.
Saat kemunculannya pada 1920-an, teori tersebut sempat tak dianggap di kalangan ilmuwan yang kebanyakan memercayai teori keadaan tetap alam semesta tanpa awal dan tanpa akhir. Namun, pada 1959 terjadi titik balik.
Itu bermula saat seorang mahasiswa Universitas Oxford, Inggris, bernama Stephen Hawking menyadari bahwa ia terkena penyakit syaraf motorik amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang mengancam melumpuhkan tubuhya. Dibayangi penyakit tersebut, Hawking mencurahkan pikiran pada bidang fisika teoritis, terutama terkait kosmologi.
Seperti dilansir BBC, ia kemudian mengambil PhD di Universitas Cambridge. Di Cambridge, Hawking diampu Dennis Sciama, yang mendorongnya memelajari teori Big Bang.
Hawking mengambil saran itu dan kemudian mempelajari dengan tekun juga soal teori spekulatif tentang lubang hitam alias black hole, sebuah keadaan saat bintang tertentu mati dan menjadi objek dengan daya tarik gravitasi dahsyat yang menyedot segala materi, bahkan cahaya serta ruang dan waktu.
Dari telaahannya terhadap teori tersebut, Hawking menyimpulkan bahwa Big Bang adalah semacam kebalikan lubang hitam. Pada 1970, di tengah penyakitnya yang kian parah dan mulai membuat lumpuh, Hawking bersama fisikawan matematis Roger Penrose kemudian menerbitkan teori yang menyimpulkan bahwa alam semesta pasti bermula dari sebuah keadaan yang disebut singularitas.
Keadaan saat ruang dan waktu sedemikian padat sehingga tak mematuhi hukum-hukum fisika konvensional. Dari keadaan itulah kemudian alam semesta meledak dan terus mengembang.
Teori singularitas tersebut, meski belakangan dikoreksi Hawking, kemudian dianggap para fisikawan meneguhkan keberadaan lubang hitam dan kebermulaan alam semesta melalui peristiwa Big Bang. Saat ini, teori Big Bang sedemikian kuat mengakar di komunitas ilmiah sampai-sampai dipakai menafsirkan ayat ke-30 surah al-Anbiya di atas.
Bukan itu saja teori Hawking yang belakangan digunakan menguatkan kedekatan dan akurasi Alquran terkait sains. Pada 1980, ia bersama fisikawan Alan Guth menelurkan perhitungan soal inflasi kosmik yang menguatkan teori alam semesta yang terus meluas sejak ledakan pertama.
Hawking adalah orang pertama yang menghitung fluktuasi quantum yang tercipta bersamaan dengan inflasi kosmik dan menunjukkan bagaimana mereka bisa memunculkan penyebaran galaksi-galaksi. Perhitungan itu melengkapi tesis yang ditulis Hawking pada 1969 soal properti alam semesta yang selalu mengembang.
Para penggagas tafsir saintifik Alquran, seperti Maurice Bucaille dari Prancis, Harun Yahya dari Turki, Abdul Basith Jamal dari Pakistan, atau Abduldaem Al-Kaheel dari Suriah dan banyak lagi lainnya meyakini bahwa teori ekspansi alam semesta tersebutlah yang dimaksud dalam ayat ke 47 Surah Adz-Dzariyat. “Dan langit itu, Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya,” bunyi ayat tersebut.
Sedangkan pada 2006, Hawking bersama ilmuwan CERN Thomas Hertog mengembangkan teori singularitas. Hawking kemudian mematangkan idenya guna menjelaskan alam semesta melalui Teori Umum Relativitas serta Fisika Quantum. Hasilnya, seperti yang sudah disarankan Hawking bertahun-tahun sebelumnya, ia mengusulkan model yang secara garis besar menunjukkan bahwa alam semesta yang kita tinggali saat ini bisa jadi bukan satu-satunya yang ada.
Menurut Hawking, dalam kutipan pidatonya yang dirangkum di hawking.org.uk”, pada awal “penciptaan”, muncul semacam gelembung gelembung singularitas yang tak terhingga jumlahnya. Sebagian gelembung ini pecah dan lenyap pada kondisi awalnya, sebagian lainnya berhasil meledak dan mengembang jadi alam semesta-alam semesta.
Para saintis ateis menggunakan teori ini guna menafikkan adanya Tuhan pada awal penciptaan. Namun di lain pihak, ada juga yang menggunakannya untuk tujuan yang sama sekali berbeda. Mereka menilai, konsep “multiverse” alias “alam semesta jamak” sudah diisyaratkan dalam salah satu kalimat dari Alquran yang tergolong paling sering diucapkan umat Islam: “Alhamdulillahirobbilalamin”
Dalam kalimat tersebut, Allah disebut sebagai penguasa dari “alamin” alias “alam-alam”. Bahkan sejak awal-awal kelahiran Islam, takwil atas kata “alam” dalam bentuk jamaknya sudah merujuk pada semacam multiverse. Sahabat Nabi Abu Sa’id Lakhudri misalnya, terekam menyatakan “sesungguhnya Allah memiliki empat puluh ribu jagad raya. Dan dunia dari timur ke barat hanya satu jagad saja”. Jumlah empat puluh kerap disandingkan dengan ketakterhinggaan dalam numerologi Islam
Abu Sa’d tak sendirian. Tabiin, Wahb bin Muhabbih juga sempat mengatakan, “sesungguhnya Allah memiliki delapan belas ribu jagad raya, dan dunia hanyalah salah satu dari sekian banyak jagad tersebut”.
Moutasem Atiya, direktur Al-Madina Institute, Amerika Serikat, juga mengutip kutipan Imam Suyuti atas komentar sahabat Nabi Ibnu Abbas soal kemungkinan alam semesta jamak. “Ada tujuh bumi. Di tiap-tiap bumi ada rasul seperti Rasulmu. Adam seperti Adam di bumi kita, Nuh seperti Nuh-mu, Ibrahim seperti Ibrahim-mu, dan Isa seperti Isa-mu”. Seperti angka 40, tujuh juga kerap diasosiasikan dengan jumlah yang banyak sekali.
Menurut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Prof Thomas Djamaluddin, hingga akhir hidupnya pada Rabu (14/3), Hawking belum berhasil menjelaskan dari mana asal hukum-hukum alam yang ia temukan melalui perhitungan-perhitungannya. "Logika orang beriman segera mengarahkan bahwa pasti ada Tuhan Sang Pencipta yang menciptakan hukum-hukum di alam," ujar Thomas memaparkan.
Cita-cita Hawking menemukan sebuah “Teori Segala” yang secara mandiri bisa menjelaskan bagaimana alam semesta bekerja tak berhasil ia capai.
Bukan rahasia bahwa Hawking kerap mengaku sebagai seorang ateis. Ia bersikeras, agama dan ilmu pengetahuan adalah dua entitas yang semestinya dipisahkan. Ia juga menilai keberadaan alam semesta tak perlu konsep soal tuhan guna menjelaskan keberadaannya. Bagaimanapun, buat banyak lainnya, yang dihitung Hawking dan teori-teori yang ia hasilkan jadi jalan meneguhkan apa yang mereka percayai sejak lama soal keagungan Sang Maha Pencipta.
*) Penulis adalah sarjana ilmu komputer Universitas Islam Indonesia, sekaligus redaktur Republika.