REPUBLIKA.CO.ID, oleh Friska Yolanda*
Sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ini menyulut kemarahan ratusan atau bahkan ribuan orang tua siswa se-Indonesia. Bagaimana tidak, anak-anak mereka yang berprestasi di sekolah, yang bahkan memperoleh peringkat 10 besar di kelas, tidak diterima di sekolah negeri. Alasannya? Rumahnya jauh dari sekolah.
Tahun ini, PPDB menjadi sekisruh ini karena Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru TK SD SMP SMA SMK dan Sederajat. Secara garis besar, aturan ini mewajibkan siswa bersekolah di sekolah yang tak jauh dari rumah mereka. Bahasa kerennya sistem zonasi.
Kuota zonasi 90 persen diatur dalam Permendikbud 14/2018. Sisanya yang lima persen untuk kuota siswa berprestasi yang rumahnya berada di luar radius zonasi sekolah. Lima persen lagi untuk siswa pindahan yang rumahnya terjadi bencana.
Setiap daerah melalui dinas pendidikan menentukan sendiri radius zonasi sekolahnya. Bergantung kondisi geografis daerah tersebut. Contohnya, kuota zonasi sekolah di Bandung. Dalam petunjuk teknis PPDB Kota Bandung, kuota zonasi SMP sebesar 90 persen. Namun, untuk sekolah yang berada di perbatasan seperti SMPN 12, SMPN 18 dan SMPN 26, kuota luar kotanya 10 persen dari kuota zonasi. Sekolah yang berada di luar permukiman permanen seperti SMPN 2 dan SMPN 5, dilakukan sistem zonasi bertahap 50 persen.
Nah, ini yang menjadi akar masalahnya. Kebanyakan siswa tidak diterima sekolah karena jarak rumahnya terlalu jauh dari sekolah tujuan mereka. Cerita orang tua siswa di Bandung, anaknya gagal masuk sekolah negeri karena rumahnya berjarak lebih dari tiga kilometer. Anaknya sampai misuh-misuh dan tak mau keluar kamar karena tak diterima di sekolah negeri.
Lain lagi cerita di Purwokerto. Orang tua siswa memprotes sistem penerimaan siswa tak mampu di sebuah SMK. Anak-anak ini bisa masuk SMK negeri hanya dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu (SKTM). Bahkan, sekolah tidak membatasi jumlah siswa yang masuk dengan SKTM tersebut sehingga hampir semua siswa melampirkan surat miskin tersebut.
Tak mau anaknya tak keterima di negeri, orang tua siswa pun ramai-ramai bikin SKTM. Setelah semua memakai SKTM, baru para siswa bersaing dengan adil melalui sistem nilai.
Kalau yang ini, menyulut kemarahan kepala daerah. Kok bisa-bisanya orang tua membuat SKTM palsu hanya demi anaknya sekolah di negeri. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sudah mengultimatum agar orang tua siswa mencabut SKTM abal-abal mereka dan bersaing sesuai aturan secara fair.
Terlepas dari itu semua, Mendikbud Muhadjir Effendy punya niat mulia dengan menerapkan sistem zonasi ini. Pemerintah ingin meratakan pendidikan, tidak satu sekolah isinya hanya yang pintar-pintar. Mendikbud juga ingin menghapus yang namanya sekolah favorit.
Pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah soal sistem pendaftaran siswa baru ini. Kalau memang ingin menghapus sekolah favorit, pemerintah harus menjadikan semua sekolah sama kualitasnya, dari perkotaan hingga perdesaan. Jadi, anak-anak tak perlu mengincar sekolah A yang fasilitasnya lebih bagus dari sekolah lain.
Pemerintah juga punya pekerjaan rumah lain yang lebih penting: menyiapkan mental dan karakter siswa untuk menjadi manusia yang jujur, yang tidak menghalalkan segala cara demi mendapatkan keinginannya. Jangan seperti orang tua mereka yang rela pura-pura miskin supaya anaknya bisa masuk sekolah negeri. Kalau miskin beneran, amsyong kan?
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id