REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kompetisi Liga Champions pada musim 2018/2019 menyajikan beragam drama dan moment yang sangat menarik untuk disaksikan. Mulai dari runtuhnya dominasi raksasa Spanyol Real Madrid, gagalnya dua megabintang dunia Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi membawa tim mereka juara, hingga come back-come back epik berbagai tim.
Namun, ada dua hal yang patut menjadi pelajaran dari persaingan Liga Champions, bukan hanya untuk dunia sepakbola namun juga kehidupan sehari-hari. Pelajaran pertama yang bisa dipetik dari hingar bingar kompetisi paling elit di daratan Eropa adalah sikap pantang menyerah yang ditunjukan Juergen Klopp. Seperti kita tahu, Klopp akhirnya berhasil menuntaskan puasa gelar Liverpool, setidaknya dalam sembilan tahun terakhir. Namun, perjalanan Klopp menuju trofi pertama yang dirinya persembahkan untuk the Reds bukan perkara mudah. Sejak tiba di Anfield, harapan pencinta Liverpool terhadap Klopp sangat tinggi. Tetapi hal itu tidak lantas berbuah keberhasilan.
Klopp harus melewati masa-masa sulit di Liverpool. Mengutip ungkapan lama "Roma tidak dibangun dalam semalam", hal itu yang dilakukan oleh Klopp. Pelatih asal Jerman itu seperti menyusun satu demi satu kepingan puzzle untuk merangkai indahnya gambar kejayaan. Berkali-kali, Klopp gagal membawa Liverpool juara, berkali-kali pula cercaan diterimanya, bahkan julukan spesialis runner up pun sempat disematkan kepada dirinya. Namun, Klopp tidak menyerah, dirinya selalu mampu melakukan evaluasi yang tepat atas kegagalan Liverpool.
Pernah di awal-awal masa kepemimpinannya, Klopp mengajak para pemain Liverpool untuk memberikan penghormatan ke pada para penonton, layaknya baru menyabet trofi juara. Padahal, saat itu Liverpool hanya mampu bermain imbang atas West Brom. Bagi sebagian orang hal ini menggelikan, dan banyak juga yang menertawakan. Namun, saat itu Klopp sedang membangun kepercayaan diri para pendukung Liverpool. Klopp sadar, Kopites atau pendukung setia Liverpool adalah kekuatan besar yang harus dimanfaatkan untuk menambah kepercayaan diri para pemainnya dalam bertanding.
Kegagalan seolah benar-benar menjadi pelajaran berharga bagi mantan pelatih Dortmund itu. Maurizio Sarri, pelatih Chelsea pernah dibuat heran oleh sikap Klopp yang justru tersenyum saat Liverpool tengah tertinggal dari tim asuhannya. "Saya tanya dia: 'Kenapa kamu tersenyum?'. Klopp menjawab: Apakah kamu menikmati ini?'. Saya menjawab: 'Sangat'. Klopp lalu membalas: 'Aku juga'. (Padahal) saat itu Liverpool sedang tertinggal dari Chelsea," ujar Sarri.
Moment lain adalah kala Liverpool kalah telak dari Barcelona di leg pertama semifinal Liga Champions. Di pinggir lapangan, Klopp menyaksikan pasukannya kalah 0-3 dari Barcelona bukan dengan raut muka marah, namun justru sesekali terlihat dirinya tersenyum. Usai laga, Klopp juga tidak melancarkan emosi atas penampilan pasukannya, sebaliknya dengan santai ia menjawab jika dirinya telah mendapat pelajaran berharga. Hasilnya, satu pekan kemudian Liverpool berhasil menyingkirkan Barcelona dengan kemenangan telak.
Dari sisi materi tim, Klopp juga tidak lantas melakukan revolusi besar dengan gila-gilaan belanja pemain. Justru ada saat dirinya juga dikritik karena melepas Philipe Coutinho, yang menjadi pemain penting di Liverpool saat itu. Namun, kritik itu akhirnya juga berhasil ia bungkam, karena justru sepeninggalan Coutinho, Si Merah justru tampil lebih baik. Klopp menunjukan bahwa filosofi permainannya tidak tergantung pada satu orang saja. Itu dibuktikan dengan hampir tidak pernahnya Liverpool bergantung pada satu pemain saja. Tenggok saja di Liga Champions, saat menyingkirkan Barcelona dan di final saat melawan Tottenham. Siapa sangka Divock Origi yang selama ini lebih banyak duduk dibangku cadangan, justru bisa membuat dampak yang positif.
Dari perjalanan Klopp di Liverpool kita bisa memetik pelajaran bahwa jangan pernah menyerah terhadap impian dan cita-cita. Kegagalan bukan akhir dari segalanya, selama kita mau belajar dan bangkit memperbaiki diri.
Pelajaran lain yang bisa dipetik adalah dari Mauricio Pochettino. Pelatih Tottenham Hotspur itu telah menunjukan sikap yang gentleman, pascakekalahan di final Liga Champions dari Liverpool. Tentu menerima kekalahan adalah hal yang sulit bagi siapapun di dunia ini. Namun, Pochettino merespon dengan sangat berkelas kegagalan timnya merebut trofi Liga Champions. Usai final Liga Champions, hampir tidak ada pernyataan dari Pochettino yang menyalahkan siapapun atas kegagalan Tottenham.
Pochettino dengan besar hati justru mengucapkan selamat kepada Liverpool dan mengakui jika lawannya pantas menjadi juara. Pochettino juga tidak menyalahkan siapapun pemain Tottenham yang turun dalam laga final kala itu. Sebaliknya, dirinya justru memuji perjuangan para pemainnya untuk bisa tampil di final.
"Saya merasa sangat bangga dengan upaya mereka (para pemain Tottenham), dan bagaimana mereka berjuang. Kami bertarung dan kami bermain sangat bagus di babak kedua, namun kami tidak beruntung. Ini tentang mencoba, percaya dan membangun perjalanan, jadi kami bisa sesegera mungkin melakukan lagi musim depan," katanya usai pertandingan.
Apa yang dilakukan oleh Pochettino bukan hanya sekedar ikhlas, namun lebih penting adalah membangun kepercayaan diri para pemainnya. Hasilnya, hampir tak ada satupun pemain yang ingin Pochettino hengkang dari the Lily White. "Pochettino telah melakukan hal yang luar biasa bagi kami. Cara kami bermain, rasa percaya diri, dan sikap di lapangan semua bergantung padanya. Semua pemain ingin Pochettino bertahan di Tottenham Hotspur. Dia akan membawa kami ke level yang lebih tinggi lagi," kata bek Tottenham Ben Davies.
Dari Pochettino kita bisa belajar bersikap gentleman dalam menyikapi kegagalan. Tak selamanya kekalahan mendatangkan cacian, namun terkadang kekalahan bisa berbuah sikap penghormatan, selama kita mampu menerimanya dengan lapang dada dan memperbaiki diri. Klopp dan Pochettino telah mengajarkan semua arti pantang menyerah dan menerima apapun hasil dari usaha itu, karena menghargai proses lebih penting dari sekadar merayakan hasil.