REPUBLIKA.CO.ID, oleh Gita Amanda*
Beberapa waktu lalu, saya menonton sebuah drama seri dari Negeri Gingseng. Walau saya bukan pecinta drama Korea, namun film yang saya tonton kemarin itu cukup menarik. Bukan pemainnya, tapi salah satu isu yang mereka angkat.
Dalam salah satu episode dikisahkan, mengenai tokoh yang memiliki memori buruk tentang kekerasan seksual yang pernah menimpa kawannya, kurang lebih belasan tahun silam, saat mereka menginjak kelas 3 Sekolah Dasar. Kala itu ia secara tak sengaja menyaksikan kawan perempuannya dilecehkan secara seksual oleh bapak guru keseniannya.
Sebagai anak, ia tak mampu melaporkan apa yang dilihat. Pun temannya yang menjadi korban. Mereka memendam memori buruk itu hingga dewasa. Namun "kenangan" itu terus menghantui. Si korban memutuskan mengakhiri hidupnya, setelah belasan tahun kejadian pelecehan berlalu. Ia tak sanggup hidup dengan terus dibayangi kejadian buruk tersebut.
Si teman yang menjadi saksi dan tak mampu melapor pun hidup tak tenang. Sementara pelaku, hidup normal bahkan masih sempat disanjung-sanjung sebagai guru yang bijak dan seniman ulung.
Bukan ini saja, beberapa waktu lampau juga saya pernah menonton kisah serupa mengenai pelecehan terhadap anak. Si korban yang masih di bawah umur, sedang pulang sekolah sampai tiba-tiba ada orang mabuk yang lantas memperkosanya dan melakukan kekerasan. Korban masuk rumah sakit dengan ditemani orang tuanya.
Film mengisahkan bagaimana korban yang masih sangat kecil, berjuang dengan trauma hebat, menjalani hari-hari berupaya menyembuhkan diri. Tak hanya itu, kasus yang menyeruak, membuat media memburu korban. Tanpa ampun menyoroti kisahnya, yang mungkin tanpa para awak media itu sadari tindakan tersebut semakin "menelanjangi" korban dan menambah beban psikologis bagi si gadis kecil dan kedua orang tuanya.
Di dunia nyata, kasus pelecehan atau kekerasan pada anak tumbuh subur bak rumput liar. Coba saja ketik di kolom pencarian, "kasus pelecehan seksual anak". Maka deretan berita terkait kasus tersebut akan tersaji dengan mudahnya. Dan selalu ada kasus terbaru disetiap waktunya.
Terakhir yang paling baru kasus pelecehan atau kekerasan dilakukan salah satu guru pria di Tanjungpinang. Korban merupakan murid laki-laki Sang Guru yang "terhormat". Pelaku diancam pisau, hingga penyebaran video asusilannya lewat dunia maya, jika tak memenuhi nafsu bejat pelaku.
Beberapa waktu lalu, seorang anak juga ditemukan tewas. Setelah diselidiki ia mengalami kekerasan seksual dan dibunuh oleh tetangganya sendiri. Dan masih banyak ribuan kasus lain, yang terungkap maupun tersembunyi.
Kasus pelecehan memang kerap dan hampir selalu melibatkan orang terdekat korban. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan dari laporan yang masuk ke LPSK, pelaku kekerasan seksual terhadap anak hampir 80,23 persen adalah orang terdekat atau yang dikenal oleh korban. Mulai dari guru, tetangga, bahkan keluarga terdekat.
Sebagai orang tua, khususnya ibu, kasus pelecehan seksual pada anak tentu membuat geram. Saya selalu mengatakan para pelaku harusnya dihukum mati, atau minimal dikebiri. Hingga mereka tak lagi punya kesempatan mengulangi aksinya.
Jadi apa hukuman yang tepat untuk mereka para pelaku pelecehan seksual anak? Saya pernah iseng membuat polling terkait hal ini di media sosial. Pertanyaannya "Apa hukuman yang pantas untuk pelaku kekerasan/pelecehan seksual anak?". Ada dua pilihan jawaban yang saya ajukan, "terapi kejiwaan" atau "hukuman mati/seumur hidup".
Jawabannya lebih dari 80 persen memilih "hukuman mati/seumur hidup", dominasi pemilihnya ibu-ibu. Sementara kurang dari 20 persen memilih "terapi kejiwaan" untuk pelaku.
Di Indonesia, sejauh ini hukuman terkait pelecehan diatur UU Perlindungan Anak Pasal 81 jo. Pasal 76D dan Pasal 82 jo. Pasal 76E UU 35/2014 dengan ancaman hukuman minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun dengan denda paling banyak Rp 5 miliar.
Apa cukup hukuman maksimal 15 tahun bagi para pelaku yang merusak masa depan, bukan hanya fisik bahkan psikis anak? Apa cukup hukuman penjara tanpa ada pembinaan atau penyembuhan dari sisi kejiwaan bagi para pelaku? Bagaimana kontrol pada para pelaku? Bagaimana jika pelaku menjadi residivis kejahatan kekerasan seksual pada anak? Bagaimana jika pelaku adalah anak-anak yang juga sebelumnya menjadi korban?
Sebab sejatinya mereka yang melakukan aksi pelecehan atau kekerasan seksual pada anak tentu tak memiliki mental yang sehat. Mereka orang-orang yang sakit kejiwaannya. Atau mungkin juga pernah jadi korban pelecehan atau kekerasan. Jika iya, lingkaran setan ini tentu harus diputus. Pemerintah harus memiliki aturan tegas dan berat untuk pelaku kekerasan seksual pada anak.
Pelaku kekerasan seksual pada anak, harus diberi hukuman seberat-beratnya hingga jera. Atau masukkan rumah sakit jiwa, jalani terapi kejiwaaan dan baru boleh keluar jika sudah dipastikan sembuh. Setelah keluar baik dari penjara maupun rumah sakit jiwa jangan dibiarkan begitu saja, mereka harus tetap wajib lapor dan dikontrol. Jangan ada ampun untuk mereka yang merusak tunas-tunas bangsa!.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id