Ahad 03 Jun 2012 09:46 WIB

Cina Bangkit

Azyumardi Azra
Foto: Republika/Daan
Azyumardi Azra

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Azyumardi Azra

Setelah beberapa kali datang ke Beijing, kali ini saya berkesempatan bersama rombongan muhibah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengunjungi Guanzhu, Xi’an, Beijing, dan juga beberapa tempat lain di sekitar wilayah tersebut. Cina lebih daripada sekadar Beijing; dan orang yang ingin melihat kebangkitan Cina sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru pada tingkat internasional perlu melihat kota-kota dan wilayah lain di luar Beijing.

Mengagumkan. Itulah kata paling tepat digunakan untuk menggambarkan transformasi Cina dalam dua dasawarsa terakhir. Transformasi itu lebih daripada sekadar perubahan lanskap di Beijing, khususnya menjelang Olimpiade 2008, tetapi juga mencakup wilayah-wilayah lain di seluruh daratan Cina. Bahkan, dalam hal-hal tertentu Beijing terlihat kalah dibandingkan perubahan pesat kota-kota lain.

Lihat, misalnya, Xi’an. Kota tua berpenduduk sekitar delapan juta jiwa itu terlihat terus sibuk membangun gedung-gedung megah, yang menciptakan kombinasi lanskap kekunoan dengan kemodernan. Hal yang sama juga terlihat di Quanzhou yang lanskap kotanya dipenuhi crane  yang diperlukan untuk membangun gedung-gedung jangkung.

Bisa dipastikan fenomena yang sama juga terjadi di tempat-tempat lain seluruh Cina. Infrastruktur seperti jalan raya juga tidak kalah mengagumkan. Jalan raya antarkota umumnya berlajur empat. Di wilayah kota, jalan-jalan utama umumnya lima sampai enam lajur untuk satu arah, yang dipenuhi mobil-mobil baru; tidak sedikit di antaranya adalah mobil mewah buatan Eropa, Jepang, dan Korea.

Jika dilihat dari segi ini saja seolah tidak ada lagi bekas komunisme di Cina. Ideologi ini tampaknya kini tinggal hanya dalam dokumen dan retorik pemimpin partai dan pejabat pemerintah. Lagi dari sudut ini, lanskap keseharian Cina adalah liberalisme ekonomi yang melebihi kapitalisme di negeri asalnya di Eropa dan Amerika, yang justru tengah tersengal-sengal menghadapi krisis seperti terjadi di Yunani, Italia, Spanyol, Portugal, dan dalam batas tertentu AS sendiri.

Dengan kepesatan pembangunannya di berbagai lini sementara krisis keuangan dan ekonomi melanda eurozone, misalnya, tidak heran jika negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa merasa sangat terancam. Berbagai literatur tentang Cina sedikitnya dalam satu dasawarsa terakhir banyak bicara tentang ancaman Cina yang tengah bangkit. Berbagai tekanan dilakukan Barat untuk memperbaiki posisi ekonomi mereka vis-a-vis Cina, misalnya, melalui liberalisasi mata uang yuan renminbi; tetapi Pemerintah Cina masih tetap bisa berkelit.

Kebangkitan Cina menjungkirbalikkan banyak paradigma tentang pembangunan dan kemajuan ekonomi dan sosial. Secara konvensional, negara dengan wilayah sangat luas dan jumlah penduduk amat besar dan sumber daya alam sangat minim seperti Cina hampir mustahil dapat melakukan dan berhasil dalam modernisasi dan pembangunan.

Dengan penduduk sekitar 1,341 miliar jiwa, beban kependudukan amat berat dipikul Cina. Karena itu, Pemerintah Cina dengan berbagai cara—termasuk paksaan—berusaha menekan laju pertumbuhan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang konstan sekitar 10 persen per tahun dalam waktu hampir dua dasawarsa, angka kemiskinan berhasil dikurangi secara drastis.

Dalam periode ini sekitar 600 juta warga berhasil dikeluarkan dari garis kemiskinan absolut. Tapi, tetap saja penduduk yang berpandapatan sekitar dua dolar AS sehari masih sekitar 400 juta jiwa. Meski angka kemiskinan berkurang drastis, pada saat yang sama kesenjangan pendapatan di antara masyarakat wilayah perkotaan dengan pedesaan juga meningkat tajam.

Pada 2009, penduduk kota mencapai pendapatan per kapita tahunan sekitar 2.600 dolar AS, tiga kali lipat  pendapatan rakyat pedesaan. Meski banyak rakyat miskin dan juga ada jurang pendapatan yang kian tajam, dalam perjalanan ke berbagai kota dengan melintasi daerah pedesaan tidak terlihat perkampungan kumuh kaum miskin (slum) kota dan desa.

Di beberapa tempat di sekitar Xi’an dan Terracotta memang ada pengemis dan pemulung botol plastik minuman. Tetapi, jumlah mereka jelas tidak sebanyak dan semencolok di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia—apalagi dibandingkan dengan Manila atau New Delhi.

Ketika menyaksikan kepesatan pembangunan dan kemajuan Cina dalam berbagai bidang dan membandingkannya dengan Tanah Air sendiri, Indonesia, terus terang saya merasa iri dan sekaligus geram. Geram karena Indonesia yang meski juga mencapai pertumbuhan ekonomi cukup baik, sekitar 6 persen per tahun dalam dasawarsa terakhir, tetap belum beranjak banyak.

Ekonomi tumbuh lebih banyak karena konsumsi yang meningkat, bukan karena kemajuan industri, misalnya. Di sinilah letak masalahnya, yaitu soal kepemimpinan. Di Tanah Air  kepemimpinan politik dan birokrasi lebih sibuk dengan citra. Lebih celaka lagi kian banyak lebih tertarik melakukan korupsi dan manipulasi politik daripada yang lain-lain. Kita agaknya memerlukan revolusi mental dan budaya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement