REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Ahmad Syafii Maarif
Jika kita jadikan titik tolak tindakan kekerasan dari masa Adam maka adalah Qabil yang memulainya. Tidak tanggung-tanggung karena urusan perempuan, dia tega membunuh adiknya, Habil. Qabil adalah prototipe manusia biadab, sedangkan Habil adalah manusia berkebudayaan.
Saya belum punya informasi bagaimana sikap Adam melihat perilaku anaknya yang me - nempuh jalan pintas untuk menghabisi nyawa manusia yang tidak lain adalah adiknya sendiri.
Kini, setelah berlangsung ribuan tahun sejak drama Qabil-Habil itu, tindakan kekerasan malah semakin menjadi-jadi di muka bumi, termasuk yang berlaku di Indonesia. Tampaknya benturan antara manusia yang berbudaya dan mereka yang biadab akan terus berlangsung sepanjang abad.
Sebab, manusia pengikut Qabil selalu memilih jalan kekerasan un tuk menyelesaikan masalah. Tetapi, kita harus yakin bahwa yang menjadi pemenang terakhir adalah tipe manusia Habil, sekali pun harus mela lui pengorbanan demi pengorbanan.
Keyakinan inilah yang selalu memberi harapan bahwa hari depan umat manusia tidaklah kelam, sebagaimana yang diper kirakan oleh mereka berakal pendek. Tetapi, untuk memenangkan keyakinan itu, kita tidak boleh diam berpangku tangan. Inisiatif harus selalu diambil agar tindakan kekerasan itu dapat dihalau sampai ke ujung bumi. Barisan terdepan yang bertugas untuk menghalau perilaku biadab ini terutama terpikul di bahu aparat penegak hukum, khususnya kepolisian.
Namun, masyarakat luas harus pula membantu pihak kepolisian melalui cara-cara yang sesuai dengan porsinya masing-masing. Tugas untuk mengamankan negara dari segala bentuk keonaran dan kebiadaban adalah kewajiban setiap warga negara. Ruang gerak Qabil-Qabil harus ditutup mati. Maka, adalah sebuah tindakan amoral jika seseorang membinasakan orang lain atas nama agama, apa pun agama yang dipeluk.
Pada tahun-tahun terakhir ini, kenyamanan hidup kolektif kita sangat terganggu oleh berba- gai corak perbuatan brutal yang dilakukan oleh ci cit-cicit Qabil. Tidak jarang karena alasan sepele, negara seperti sudah kewalahan mengatasinya. Kasus Ahmadiyah di Lombok, tragedi Sampang yang masih hangat, pembakaran kantor bupati di Papua, teror di Solo, dan 1001 tindakan kekerasan yang lain sungguh amat menguras energi spiritual kita sebagai bangsa yang ber-Pancasila.
Sila kedua Pancasila dengan kemasan yang amat padu berupa "Kemanusiaan yang adil dan beradab" sudah lama tak berfungsi, dilumpuhkan oleh pengikut-pengikut Qabil ini. Tetapi, kematian Habil jangan sekali ditafsirkan bahwa kekerasan itu pasti berujung dengan kemenangan. Lalu, harus diulang melakukannya agar dunia ini semakin kacau.
Habil adalah simbol kemenangan bagi kebenaran, sekali pun harus ditebus dengan nyawanya. Artinya, jika ada aparat penegak hukum yang dibunuh oleh pengikut Qabil, darahnya akan menjadi saksi bahwa perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan hukum sering mengundang risiko maut.
Tetapi, itulah drama hidup yang berlaku dalam berbagai periode sejarah umat manusia. Selama manusia tipe Qabil dibiarkan berkeliaran, selama itu pulalah semua kekuatan pewaris Habil tidak boleh lengah sedetik pun. Yang perlu juga diawasi adalah agar Qabil-Qabil tidak menyusup ke aparat penegak hukum. Jika itu terjadi maka kewibawaannya akan jatuh tersungkur sampai ke dasar yang paling bawah.
Polisi Indonesia de ngan moto "pelindung dan pelayan" harus selalu melakukan instrospeksi agar wibawanya dapat dipulihkan secepat mungkin.