REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Yudi Latif
Berdasarkan metode penghitungan cepat berbagai lembaga survei, pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) tampil sebagai pemenang pada putaran kedua Pemilihan Gubernur Jakarta. Kemenangan pasangan ini mengindikasikan bahwa krisis Kota Jakarta sudah melampuai ambang toleransi kesabaran warganya.
Pertama, kekalahan petahana dengan dukungan sumber daya finansial, infrastruktur birokrasi, dan dukungan koalisi kepartaian yang kuat adalah suatu anomali dalam kecenderungan pemilihan. Kedua, sentimen SARA tidak lagi ampuh mencegah dukungan terhadap pasangan penantang. Padahal, kecenderungan orang untuk memilih berdasarkan afinitias primordial hingga taraf tertentu merupakan fenomena yang berlaku di mana pun. Politik Amerika Serikat malah terkenal memiliki dua “dosa bawaan” (original sin): perbudakan kulit hitam dan dominasi anglo-protestan, yang mempersulit orang-orang kulit hitam dan pengikut agama (denominasi) lain untuk menduduki pucuk pimpinan politik.
Seorang Barack Obama hanya bisa terpilih dalam situasi anomali. Ketika krisis Amerika sudah di ambang batas toleransi, warga Amerika memandang perlu hadirnya pemimpin baru yang bisa dipercaya melampaui preferensi mereka terhadap sentimen-sentimen primordial.
Terpilih karena suasana psikologis krisis, pasangan Jokowi-Ahok harus menyadari benar betapa di pundaknya terletak jutaan harapan orang yang dipertaruhkan. Kepercayaan ini harus dibayar oleh kerja keras memikul amanah untuk secara cepat dan tepat mengurai berbagai biang krisis Ibu Kota. Harapan besar tanpa jawaban yang sepadan bisa melahirkan frustrasi sosial dengan ongkos sosial yang tak tepermanai. Warga akan kehilangan kepercayaan pada siapa pun yang bisa berujung pada anarki sosial.
Hal yang pertama-tama harus diingat adalah menghindari perbuatan dan kebijakan yang dapat menguatkan sentimen primordial dengan bertindak sebagai negarawan yang melayani semua pihak tanpa mengistimewakan gologannya sendiri. Selanjutnya, perlu disadari bahwa keberhasilan meraih jabatan politik bukan sekadar kemajuan jenjang karier, melainkan juga memikul amanah pilihan warga. Setiap amanah harus dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, jangan pernah terpikir untuk segera melompat ke jenjang karier politik yang lain sebelum dapat membuktikan janji-janjinya kepada warga Jakarta.
Untuk membantu pasangan ini fokus memikul amanah pemulihan krisis Ibu Kota, warga juga harus ikut membantunya dengan tidak menggoda mereka dengan iming-iming jabatan politik yang lain. Adalah suatu tindakan asusila ketika pasangan Jokowi-Ahok belum juga dilantik sebagai gubernur-wakil gubernur telah muncul keliaran imajinatif untuk mengusungnya sebagai calon presiden pada 2014.
Perlu diingat bahwa Jakarta adalah pusat syaraf politik dan ekonomi nasional. Oleh karenanya, juga menjadi pusat teladan. Keberhasilan mengatasi problem Ibu Kota sudah dapat menyelesaikan lebih dari separuh masalah Indonesia. Memimpin Jakarta secara sungguh-sungguh dan berhasil, bukan saja suatu kerja patriotik yang amat mulia, melainkan bisa menjadi investasi politik yang amat penting.
Meski terpilih lewat situasi anomali (a-nomos, ketidakteraturan), tugas pasangan Jokowi-Ahok mengembalikan Jakarta ke titik “normal” (berlakunya norm). Dengan bantuan perspektif sosiologi dalam menjelaskan krisis sosial, prioritas terpenting dalam usaha pemulihan normalitas (keteraturan) itu adalah peran kepemimpinan dalam mengaktualisasikan kapasitas transformatif dari kekuasaan. Kepemimpinan yang dapat mengakhiri gerak sentripetal dari kekuasaan yang bersifat narsistik menuju gerak sentrifugal yang berorientasi pada kemaslahatan umum.
Meskipun kepemimpinan merupakan faktor permanen yang selalu diperlukan oleh setiap masyarakat dan segala zaman, masa krisis dan kekacauan memerlukan peran kepemimpinan yang lebih besar dibanding masa normal. Masa seperti ini, menurut Max Weber, membuka kesempatan bagi munculnya pemimpin-pemimpin karismatik dengan pesan pembebasan dan pemulihan tertib sosial.
Pemimpin karismatik dalam arti ini bukan sekadar pemimpin yang berwibawa, melainkan pemimpin yang dengan kewibawaannya mampu mengompensasikan kelumpuhan hukum dan institusi sosial sehingga situasi “abnormal” bisa ditransformasikan menjadi situasi “normal” kembali.
Jangan kecewakan harapan publik Jakarta dengan mengedepankan ambisi pribadi. Jangan mengambil jalan pintas pencitraan untuk sekadar mengecoh persepsi publik. Atasilah masalah Jakarta sebagai suatu kenyataan yang harus dihadapi dengan kerja nyata, kerja ikhlas, dan kerja keras.